Jadi begini, dalam suatu narasi politik, ada dua terminologi; ideologi dan komoditas.
Ideologi mengawali retorika, yang dengan cerdas menusuk emosi dasar dan nurani. Menjelajah dalam angan dan harapan, yang kesederhanaannya menempati rumah euforia konsep demokrasi. Bergumul dengan falsafah.
Baik, karena hal ini yang menjadi landasan dasar bangsa ini. Menjadi pemicu dasar kelahiran partai politik.
Kedua, komoditas. Ini jelas, singkat dan main sikat. Ya, dipercaya atau tidak masyarakat kita masih menerima politik sebagai bukan bagian pribadi yang merdeka.
Bagi mereka konsepsi demokrasi hanya sebagai retorika kekuasaan yang hingga hari ini lupa untuk didefinisikan. Tak nyata, apalagi berdampak sistemik terhadap taraf kehidupan. Itu persepsinya.
Sehingga ada beberapa orang yang memanfaatkan kesenjangan nurani ini untuk berpikir mendayagunakan potensi suara. Bisnis lima tahun sekali. Enam tahunan untuk kelas desa.
Untuk ini, bekal kemampuan psikoanalisis penting dimiliki. Observasi partisipatif menjadi teknik ampuh yang hampir tidak lupa digunakan.
Sungguh, lebih dari peraduan, skeptisme menjadi rujukan ketika logika bergerak tak linier.
Bedanya, politisi kawakan, bernyanyi sambil memeluk biduan. Sementara, politisi karbitan, ikut bergoyang sembari nyawer kanan kiri.
Pasuruan, 21 Oktober 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H