Sudah dengar status tersangka dua calon walikota malang kan?
Jika boleh jujur, saya harus menahan diri beberapa hari untuk menuliskan komentar dalam opini. Khawatir dianggap membuat kritikan yang disebut nyinyir. Juga tidak ingin disindir oleh Pak Jokowi, seperti ketika mengutip pesan kepada Pak Amien.
Dua calon pimpinan Kota Malang kini telah ditetapkan sebagai orang yang disangka terlibat kasus korupsi, oleh lembaga rasuah Indonesia, KPK.
Sebagai warga dan kera ngalam, kok saya cukup kesulitan mencari sudut pandang melihat kasus ini ya, yang sebenarnya juga tak berdampak apapun, apalagi dampak ekonomis terhadap diri saya. Justru, hal ini jadi semacam topik menarik untuk diulas, hingga saya mencapai orgasme otak. Atau dijadikan pemicu mematikan untuk obrolan hangat kelas warung kopi.
Dua kata yang sungguh berat untuk dipilih, mencela atau membela. Menyoal kasus korup tenaga outsource lima tahunan ini. Sungguh hebat kabar ini, bahkan bisa mengalahkan pasar merjosari dalam topik warga bumi arema. Eh sudah tahu kan pasar di merjosari dalam itu hilang?
Jika saja diperbolehkan mengajukan pertanyaan tentang kasus korupsi, saya tidak ingin memulai dengan motif, nominal atau hal remeh soal korupsi. Satu kalimat yang ingin saya tanyakan "what's the plan?". Ya, itu saja.
Kok gunakan bahasa inggris? Ya, karena saya berharap bisa mendapat jawaban cerdas. Juga karena kata serapan dan bahasa inggris sudah menjadi ciri intelektualitas tokoh di negara ini. Saya harus menghargai stereotip ini.
Sudah saatnya berkata jujur dalam artian sesungguhnya. Mereka para oknum pimpinan daerah yang sekarang disangka melakukan aksi korupsi wajib menjawab dengan sebenar-benarnya. Kita harus prihatin, substansi kejujuran sudah terdegradasi dewasa ini.
Berikan kami jawaban logis dan dapat dicerna akal sehat. Bukan jawaban normatif yang menjadi lipstik khas politikus.
Disisi lain, entah kata apa yang paling tepat untuk menggambarkan fenomena pimpinan daerah akhir-akhir ini. Sudah kadung seringnya Mas Febri dan pimpinannya konpers Operasi Tangkap Tangan kasus korupsi. Kok jadi bukan lagi jadi hal mengejutkan jika mendapati ada indikasi korupsi, kolusi, dan nepotisme ya. Atau saya pribadi saja yang parno?
Karena begini, butuh cukup banyak energi untuk tidak meyakni praktek nyleneh semacam ini nyata terjadi. Kelainan mental dari orang yang sebelumnya baik, namun jika sudah masuk arena politik, berubah menjadi baik-baik saja terhadap aksi korup.
Aneh, nalar saya tidak sampai. Atau butuh pendidikan formal berstrata minimal dua untuk memahami?
Malang, 23 Maret 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H