Mohon tunggu...
Historypedia
Historypedia Mohon Tunggu... Lainnya - Akun Kompasiana Historypedia

Akun Kompasiana Historypedia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kronologi Lengkap Pertempuran Magelang (1945)

30 Mei 2023   23:15 Diperbarui: 2 Juni 2023   14:22 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Brigadir R.B.W. Bethell; Jawa, akhir 1945. (Sumber: Connor [2015])

Meski kalah terkenal dari Palagan Ambarawa atau Pertempuran Lima Hari Semarang, Pertempuran Magelang (31 Oktober — 2 November 1945) memiliki peran yang cukup signifikan dalam alur perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran ini hanya berakhir setelah mediasi langsung oleh Presiden Sukarno, dan berdampak pada kebijakan Inggris di Jawa Tengah, serta mendahului dan mempengaruhi jalannya Palagan Ambarawa.

Pendahuluan

Penyerahan Jepang kepada Blok Sekutu pada 15 Agustus 1945 dimanfaatkan tokoh-tokoh nasionalis Indonesia, antara lain Sukarno dan Hatta, untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, kedaulatan Republik Indonesia belum diakui oleh dunia internasional, sedangkan administrasi militer Jepang masih berada di Indonesia serta puluhan ribu prajurit mereka.

Dalam buku sejarah resmi Inggris, The War Against Japan, Volume V: The Surrender of Japan (1969) oleh S.W. Kirby, ia menerangkan Inggris dan pasukan Indianya datang ke Indonesia untuk melaksanakan tiga tujuan utama: mengamankan bekas tahanan perang Sekutu, melucuti lalu memulangkan pasukan Jepang, dan menjaga ketertiban umum. Namun, Belanda masih diakui secara de jure  berdaulat atas Indonesia, sehingga Inggris terjepit antara kewajibannya kepada Belanda dan dorongan untuk berkooperasi dengan pihak Indonesia demi melancarkan tugas-tugas mereka.

Di sisi yang lain, merespons proklamasi kemerdekaan Indonesia dan kedatangan pasukan Inggris-India, kaum nasionalis dan para pemuda di Jawa mengambil alih pemerintahan lokal atas nama Republik, antara lain di Semarang, Ambarawa, dan Magelang.

Buku Sejarah Pertempuran Lima Hari Semarang (1977) mencatat pemerintahan daerah Semarang mulai disusun sejak Agustus 1945, sebelum kaum nasionalis setempat mulai mengambil alih kota. Han Bing Siong, dalam artikel "The Secret of Major Kido" (1996), mengungkap bahwa perebutan senjata Jepang oleh pemuda berujung pada Pertempuran Lima Hari Semarang, 15—19 Oktober 1945, ketika Mayor Kido dan pasukannya menyerbu Semarang. Meski pasukannya Kido kalah dalam jumlah, mereka berhasil merebut Kota Semarang dan mempertahankannya melawan gempuran BKR, polisi, dan pemuda dari luar dan dalamSemarang.

B.R. Mullaly, dalam Bugle and Kukri (1957), menuliskan bahwa Pertempuran Semarang berakhir ketika pasukan Inggris-India mendarat pada pagi hari dari 19 Oktober di Semarang. Pasukan Inggris-India ini adalah dari Batalyon Ke-3 dari Resimen Gurkha Ke-10 ("Batalyon 3/10"). Kedatangan Batalyon 3/10 mendorong pihak Indonesia dan Jepang untuk mengadakan gencatan senjata, namun tujuan utama batalyon tersebut adalah untuk mengamankan para bekas tahanan perang Sekutu di Jawa Tengah.

Kiri ke kanan: seorang penerjemah, Kapten Tomlison, dan Mayor Kido; Semarang, 1945. (Sumber: NIMH) 
Kiri ke kanan: seorang penerjemah, Kapten Tomlison, dan Mayor Kido; Semarang, 1945. (Sumber: NIMH) 

T.S. Tull, seorang perwira Inggris, melaporkan (1946) bahwa ada 14 ribu orang-orang sipil dan militer Sekutu yang sebelumnya ditahan perang Jepang ("bekas interniran") di wilayah Ambarawa, Magelang, dan sekitarnya. Menimpali Tull, R. McMillan dalam The British Occupation of Indonesia 1945-1946 (2005) menyebutkan bekas interniran di Semarang berjumlah kurang lebih sama. McMillan (2005) dan Kirby (1969) menjelaskan jika organisasi RAPWI (Repatriation atau Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) bertugas mengurus para bekas interniran ini, dan tim-tim kecil RAPWI telah diterjunkan Inggris ke Jawa sejak September 1945.

Tull sendiri adalah seorang perwira organisasi RAPWI: ia beserta unitnya tiba di Magelang pada 18 September 1945, tetapi harus bekerja sama dengan satuan Jepang setempat demi menjamin keamanan ribuan bekas interniran di sana. Dalam hal ini, Tull kurang mujur. Tidak seperti Mayor Kido yang bertempur di Semarang, pasukan Jepang di Ambarawa dan Magelang dengan cepat menyerah kepada para pemuda (Siong [1996]). Bahkan, Mayor Jenderal Nakamura Junji — pemimpin pasukan Jepang di Jawa Tengah — ditangkap para pejuang di Magelang pada 13 Oktober 1945. Maka, posisi para bekas interniran di Ambarawa dan Magelang dapat dibilang terancam.

Perjuangan merebut senjata tentunya tidak hanya terjadi di kedua area tersebut. Buku Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro (1968) karya tim Sedjarah Militer, menuliskan bahwa di berbagai wilayah Jawa Tengah sepanjang September—Oktober 1945, satuan-satuan Jepang lainnya menyerahkan senjata mereka ke polisi, Badan Keamanan Rakyat (BKR), atau pemuda. Hal ini terkadang terjadi secara damai, atau setelah adanya desakan dari massa rakyat dan pemuda setempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun