Mohon tunggu...
Historypedia
Historypedia Mohon Tunggu... Lainnya - Akun Kompasiana Historypedia

Akun Kompasiana Historypedia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kronologi Lengkap Pertempuran Magelang (1945)

30 Mei 2023   23:15 Diperbarui: 2 Juni 2023   14:22 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hotel Montagne di Magelang; 1945 (Sumber: NIMH)

Meski kalah terkenal dari Palagan Ambarawa atau Pertempuran Lima Hari Semarang, Pertempuran Magelang (31 Oktober — 2 November 1945) memiliki peran yang cukup signifikan dalam alur perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran ini hanya berakhir setelah mediasi langsung oleh Presiden Sukarno, dan berdampak pada kebijakan Inggris di Jawa Tengah, serta mendahului dan mempengaruhi jalannya Palagan Ambarawa.

Pendahuluan

Penyerahan Jepang kepada Blok Sekutu pada 15 Agustus 1945 dimanfaatkan tokoh-tokoh nasionalis Indonesia, antara lain Sukarno dan Hatta, untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun, kedaulatan Republik Indonesia belum diakui oleh dunia internasional, sedangkan administrasi militer Jepang masih berada di Indonesia serta puluhan ribu prajurit mereka.

Dalam buku sejarah resmi Inggris, The War Against Japan, Volume V: The Surrender of Japan (1969) oleh S.W. Kirby, ia menerangkan Inggris dan pasukan Indianya datang ke Indonesia untuk melaksanakan tiga tujuan utama: mengamankan bekas tahanan perang Sekutu, melucuti lalu memulangkan pasukan Jepang, dan menjaga ketertiban umum. Namun, Belanda masih diakui secara de jure  berdaulat atas Indonesia, sehingga Inggris terjepit antara kewajibannya kepada Belanda dan dorongan untuk berkooperasi dengan pihak Indonesia demi melancarkan tugas-tugas mereka.

Di sisi yang lain, merespons proklamasi kemerdekaan Indonesia dan kedatangan pasukan Inggris-India, kaum nasionalis dan para pemuda di Jawa mengambil alih pemerintahan lokal atas nama Republik, antara lain di Semarang, Ambarawa, dan Magelang.

Buku Sejarah Pertempuran Lima Hari Semarang (1977) mencatat pemerintahan daerah Semarang mulai disusun sejak Agustus 1945, sebelum kaum nasionalis setempat mulai mengambil alih kota. Han Bing Siong, dalam artikel "The Secret of Major Kido" (1996), mengungkap bahwa perebutan senjata Jepang oleh pemuda berujung pada Pertempuran Lima Hari Semarang, 15—19 Oktober 1945, ketika Mayor Kido dan pasukannya menyerbu Semarang. Meski pasukannya Kido kalah dalam jumlah, mereka berhasil merebut Kota Semarang dan mempertahankannya melawan gempuran BKR, polisi, dan pemuda dari luar dan dalamSemarang.

B.R. Mullaly, dalam Bugle and Kukri (1957), menuliskan bahwa Pertempuran Semarang berakhir ketika pasukan Inggris-India mendarat pada pagi hari dari 19 Oktober di Semarang. Pasukan Inggris-India ini adalah dari Batalyon Ke-3 dari Resimen Gurkha Ke-10 ("Batalyon 3/10"). Kedatangan Batalyon 3/10 mendorong pihak Indonesia dan Jepang untuk mengadakan gencatan senjata, namun tujuan utama batalyon tersebut adalah untuk mengamankan para bekas tahanan perang Sekutu di Jawa Tengah.

Kiri ke kanan: seorang penerjemah, Kapten Tomlison, dan Mayor Kido; Semarang, 1945. (Sumber: NIMH) 
Kiri ke kanan: seorang penerjemah, Kapten Tomlison, dan Mayor Kido; Semarang, 1945. (Sumber: NIMH) 

T.S. Tull, seorang perwira Inggris, melaporkan (1946) bahwa ada 14 ribu orang-orang sipil dan militer Sekutu yang sebelumnya ditahan perang Jepang ("bekas interniran") di wilayah Ambarawa, Magelang, dan sekitarnya. Menimpali Tull, R. McMillan dalam The British Occupation of Indonesia 1945-1946 (2005) menyebutkan bekas interniran di Semarang berjumlah kurang lebih sama. McMillan (2005) dan Kirby (1969) menjelaskan jika organisasi RAPWI (Repatriation atau Recovery of Allied Prisoners of War and Internees) bertugas mengurus para bekas interniran ini, dan tim-tim kecil RAPWI telah diterjunkan Inggris ke Jawa sejak September 1945.

Tull sendiri adalah seorang perwira organisasi RAPWI: ia beserta unitnya tiba di Magelang pada 18 September 1945, tetapi harus bekerja sama dengan satuan Jepang setempat demi menjamin keamanan ribuan bekas interniran di sana. Dalam hal ini, Tull kurang mujur. Tidak seperti Mayor Kido yang bertempur di Semarang, pasukan Jepang di Ambarawa dan Magelang dengan cepat menyerah kepada para pemuda (Siong [1996]). Bahkan, Mayor Jenderal Nakamura Junji — pemimpin pasukan Jepang di Jawa Tengah — ditangkap para pejuang di Magelang pada 13 Oktober 1945. Maka, posisi para bekas interniran di Ambarawa dan Magelang dapat dibilang terancam.

Perjuangan merebut senjata tentunya tidak hanya terjadi di kedua area tersebut. Buku Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro (1968) karya tim Sedjarah Militer, menuliskan bahwa di berbagai wilayah Jawa Tengah sepanjang September—Oktober 1945, satuan-satuan Jepang lainnya menyerahkan senjata mereka ke polisi, Badan Keamanan Rakyat (BKR), atau pemuda. Hal ini terkadang terjadi secara damai, atau setelah adanya desakan dari massa rakyat dan pemuda setempat.

Dibekali senjata-senjata hasil rampasan ini, satuan-satuan tempur di Jawa Tengah tersusun, baik yang tergabung dalam berbagai badan perjuangan dan kelaskaran rakyat, atau yang mengatasnamakan pemerintah, seperti BKR — yang pada 5 Oktober diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

Menuju Magelang

Di Magelang sendiri, pemerintahan lokal telah, sejak cukup lama, memegang kendali. Dalam bukunya yang berjudul Magelang pada Masa Revolusi Phisik Periode 1945–1949 (1985), D. Harnoko mencatat bahwa kabar proklamasi kemerdekaan sampai di Magelang pada 25 Agustus 1945. Ada dua satuan militer Jepang di Magelang: markas Mayjen Nakamura dan unit Kempeitai (polisi militer) setempat, dan hubungan antara pihak Indonesia dan Jepang di Magelang tergolong damai hingga akhir September 1945. Namun, terjadi dua insiden di penghujung September: pertama, beberapa orang Jepang merobek bendera merah-putih pada 24 September; dan kedua, prajurit Kempeitai menembaki massa yang sedang berupacara bendera pada 25 September, yang menewaskan empat orang.

Tak lama sehabis kedua insiden ini terjadi, Nakamura dan markasnya dipaksa para pejuang untuk menyerahkan sejumlah senjata, dan pada 7 Oktober, sejumlah pasukan Jepang — kemungkinan Kempeitai — pun mundur ke Ambarawa. Tak sampai seminggu kemudian, Mayjen Nakamura ditangkap pihak Indonesia pada tanggal 13 Oktober 1945, dan dua hari setelahnya, pasukan Jepang di Ambarawa juga menyerah. Di sekitar waktu yang sama, satuan BKR di Magelang telah diorganisasikan menjadi Resimen Magelang, yang dipimpin Letnan Kolonel Sarbini.

Pada titik ini, Tull mulai khawatir. Selaku perwira RAPWI yang bertugas mengurus belasan ribu bekas interniran di Magelang dan Ambarawa, melalui laporannya, Tull (1946) menjelaskan kekhawatirannya: karena pasukan Jepang di kedua daerah tersebut telah dilucuti senjatanya, mereka tidak mampu menjaga keamanan para bekas interniran lagi. Tull menaruh perhatian khusus pada Magelang, sebab ia telah memindahkan bekas interniran yang sedang sakit dari Ambarawa ke Magelang, yang memiliki fasilitas kesehatan yang lebih baik.

Di saat yang bersamaan di Semarang, Batalyon 3/10 baru tiba pada 19 Oktober. Batalyon tersebut meredam Pertempuran Lima Hari Semarang dengan membantu mendamaikan pihak Jepang yang dipimpin Mayor Kido, dengan pihak Indonesia yang dipimpin Gubernur Jawa Tengah, Wongsonegoro. Tull (1946) mencatat jika pimpinan batalyon tersebut, Letnan Kolonel H.G. Edwardes, mengirimkan satu peleton yang dipimpin oleh Letnan Hardcastle ke Ambarawa. Peletonnya Letnan Hardcastle tiba di Ambarawa pada 21 Oktober 1945, sebelum disusul salah satu kompi Batalyon 3/10 pada 24 Oktober. Lantas, Hardcastle dan peletonnya berangkat ke Magelang hari itu juga.

Brigadir R.B.W. Bethell; Jawa, akhir 1945. (Sumber: Connor [2015])
Brigadir R.B.W. Bethell; Jawa, akhir 1945. (Sumber: Connor [2015])

Tak lama setelahnya, Brigade Commander Royal Artillery (Brigade C.R.A.) mendarat di Semarang (Kirby. Kedatangan brigade yang dipimpin Brigadir R.B.W. Bethell (Siong [1996]) itu berarti Batalyon 3/10 kini berada di bawah komando Brigadir Bethell. Sang brigadir lalu menyuruh Batalyon 3/10 untuk bergerak, pertama ke Ambarawa dan nantinya ke Magelang. Harnoko (1985) mencatat bahwa Batalyon 3/10 tiba di Magelang pada 26 Oktober, namun Kirby (1969) menuliskan perpindahan ini terjadi secara bertahap; Mullaly (1957) menyebutkan salah satu kompi milik Batalyon 3/10 tetap berada di Ambarawa.

Awalnya tidak ada percekcokan besar antara Batalyon 3/10-nya Letnan Kolonel Edwardes dengan pihak Indonesia di Magelang, tetapi berbagai faktor akhirnya mendorong baik pemuda maupun TKR untuk menyerbu batalyon Gurkha tersebut.

  • Tull (1946) menduga bahwa kejadian di Surabaya pada akhir Oktober berdampak besar pada Magelang: Pertempuran Tiga Hari Surabaya (28–30 Oktober 1945) antara para pejuang Indonesia melawan brigadenya A.W.S. Mallaby turut memicu pecahnya Pertempuran Magelang. Koran The Daily Telegraph meliput, dalam artikel "British in Heavy Java Action" (1945), bahwa mobil-mobil dengan pengeras suara mengitari Magelang dan menyiarkan, "We have defeated the British at Sourabaya[sic]. Now is the time to rise." Insiden mobil siar ini dibenarkan oleh Tull (1946) dan Mullaly (1957).
  • McMillan (2005) membeberkan kalau pertemuan antara Letkol Edwardes dengan pimpinan Indonesia di Magelang tidak berjalan lancar akibat kecurigaan: pihak Indonesia menuduh Inggris disusupi NICA (Netherlands Indies Civil Administration), namun tidak bisa membuktikan hal ini kepada Inggris. Selain itu, beberapa mobil tim RAPWI juga dirampas oleh pemuda.
  • Laporan unit Kido Butai (1946), yang berjudul "Defence of Semarang", menyebutkan jika pihak Indonesia dengan sengaja memusatkan kekuatan di Magelang terlebih dahulu sebelum menyerang Inggris.
  • Beberapa aktivitas Inggris di Magelang dianggap melanggar kedaulatan Indonesia, seperti membebaskan bekas tahanan perang Sekutu dan Belanda, menduduki berbagai bangunan penting di Magelang, serta menambah jumlah pasukan mereka di Magelang (Harnoko [1985]). Walau benar terjadi, perlu diingat salah satu tujuan Inggris ialah untuk mengamankan bekas interniran di sana. Harnoko (1985) bahkan menyebutkan pasukan Gurkha melakukan penembakan dan perampokan terhadap rakyat, walau hal ini tidak disebutkan dalam sumber-sumber lain.
  • S. Amin dan G.F. Kurniawan, dalam artikel "Percikan Api Revolusi di Kampung Tulung Magelang 1945" (2018), menyatakan kalau orang-orang bekas tahanan yang berkebangsaan Belanda malah dipersenjatai pasukan Inggris. Ini kemungkinan besar tidak pernah terjadi, sebab seorang komandan kemah interniran di Ambarawa yang bernama A. Nooteboom — dalam berkas-berkas laporannya (1946) — malah terus-menerus mengeluh sebab dirinya dan interniran lainnya tidak kunjung diberikan senjata. Lagipula, sebagian besar bekas interniran di Magelang adalah orang-orang sakit (Tull [1946]).
  • Sedjarah Militer (1968) dan Harnoko (1985) menuduh ada unsur NICA yang ikut memasuki Magelang bersama Batalyon 3/10. Namun, menyadur dari British Military Administration in the Far East 1943–46 (1956) karya F.S.V. Donnison, terungkap bahwa personel NICA umumnya baru tiba di suatu tempat sekitar dua minggu setelah pasukan Inggris-India datang ke sana. Dengan kata lain, tidak masuk akal ada anggota NICA di Magelang sebelum terjadinya Pertempuran Magelang. Bahkan, tuduhan ini mungkin saja akibat salah sangka: McMillan (2005) dan Tull (1946) membenarkan ada segelintir perwira Belanda di Magelang, tetapi B.R.O. Anderson dalam Java in a Time of Revolution (1972) menjelaskan mereka adalah anggota tim RAPWI, bukan NICA.

Dalam bukunya, Harnoko pun menyimpulkan bahwa, "Kota Magelang akhirnya menjadi kota NICA." Pernyataan ini agaknya berlebihan sebab tidak ada sumber yang menyebutkan bahwa Inggris mencoba mengambil alih pemerintahan atas Magelang ataupun melemahkan kendali pemerintahan daerah Indonesia di sana. Walau begitu, dapat disimpulkan bahwa Pertempuran Magelang pecah akibat perpaduan dari insiden-insiden tersebut: kecurigaan kaum nasionalis setempat terhadap pasukan Gurkha mempersulit Inggris, yang sebaliknya juga mencurigai pihak Indonesia. Pola ini terjadi terus-menerus hingga akhirnya, terdorong pertempuran di Surabaya, berkobarlah pertempuran terbuka di Magelang.


Merebaknya Pertempuran

Pertempuran Magelang akhirnya pecah pada pagi hari, 31 Oktober 1945, dengan serangan mendadak para pejuang Indonesia terhadap pasukan Inggris-India di Magelang.

Peta Pertempuran Magelang.
Peta Pertempuran Magelang.

Seperti yang telah sebelumnya dijelaskan, pasukan Inggris-India di Magelang adalah dari Batalyon 3/10. Tersusun dalam tiga kompi ditambah unit markas mereka, kekuatan Batalyon 3/10 di Magelang adalah sekitar 300-an prajurit menurut Mullaly (1957), meski koran The Argus dalam artikel "RAF Helps Gurkhas in Java Battle" (1945) melaporkan 700-an prajurit Gurkha ikut bertempur. Sebaliknya, di pihak Indonesia, Harnoko (1985) menyebutkan bahwa lima batalyon dari Resimen Magelang terlibat, dan didukung laskar rakyat dan badan perjuangan seperti BPRI, Pesindo, Hisbullah, dan lainnya (Sedjarah Militer [1968]).

Pertempuran dimulai dengan dikepungnya Kompi A dari Batalyon 3/10 di Hotel Montagne oleh pejuang Indonesia pada jam 8 pagi (Mullaly [1957]), beberapa jam sebelum Pertempuran Magelang benar-benar meletus. Tull (1946) melaporkan bahwa unit-unit Batalyon 3/10 terisolasi karena dikepung para pejuang, sehingga tak mampu menolong satu sama lain.

Kekhawatiran pihak Inggris berfokus pada bekas interniran yang berada di beberapa rumah sakit di Magelang. Suplai ke para bekas interniran kian memburuk, dan Tull (1946) menulis bahwa tenaga kesehatan dan orang-orang sipil Belanda dan Eurasia diserang pihak Indonesia, seperti pekerja Palang Merah dan pendeta Katolik.

Hotel Montagne di Magelang; 1945 (Sumber: NIMH)
Hotel Montagne di Magelang; 1945 (Sumber: NIMH)
Berita berkobarnya pertempuran di Magelang pun sampai di Semarang. Baik Gubernur Wongsonegoro dan Brigadir Bethell sepakat untuk menghentikan pertempuran. Wongsonegoro, Bethell, beserta beberapa orang lainnya pun berangkat ke Magelang, termasuk di antaranya seorang perwira Inggris, A.J. Leland. Dalam surat-suratnya, Leland (1946) menuliskan bahwa rombongan Wongsonegoro dan Bethell dihentikan di area Ambarawa oleh pemuda, dan dilarang pergi ke Magelang. Ketika Wongsonegoro menanyakan atas wewenang siapa rombongannya dihentikan, para pemuda menjawab bahwa kini pihak militer yang kini berkuasa di daerah tersebut.

Keadaan di Magelang kian memanas. Menanggapi merebaknya pertempuran, kedua belah pihak mengirim bala bantuan ke Magelang. Setelah gagal mencapai Magelang, S.B. Connor dalam Mountbatten's Samurai (2015) mengungkapkan bahwa Brigadir Bethell lalu mengirim pasukan gabungan untuk menolong Batalyon 3/10. Pasukan ini terdiri dari sebuah unit Inggris-India bersenjatakan empat mortir (Leland [1946]) dan sebuah kompi Jepang. Kompi Jepang ini dipimpin Kapten Yamada, yang merupakan bagian dari pasukan Mayor Kido yang sebelumnya bertempur di Semarang; laporan Kido Butai (1946) mencatat kompi ini berkekuatan 100 orang.

Berangkat dari Semarang pada pagi hari, 1 November 1945, laporan Kido Butai (1946) menyatakan pasukan Inggris-Jepang ini ditembaki mortir para pejuang Indonesia saat mereka berada lima kilometer dari Magelang. Menanggapi serangan ini, pasukan gabungan tersebut menyerbu dan mematahkan pertahanan pihak Indonesia di utara, dengan bantuan tembakan mortir Inggris (Kido Butai [1946]; Leland [1946]).

Pada fase pertempuran ini pula, terjadilah tragedi Kampung Tulung. Amin & Kurniawan (2018) menjelaskan bahwa pasukan Jepang bergerak menuju Magelang melalui Kampung Tulung, yakni lokasi dapur umum para pejuang (Harnoko [1985]). Kampung itu lalu diserbu pasukan Jepang, yang menembaki pemuda dan pelajar di sana. Walau Amin & Kurniawan (2018) menuliskan tragedi Kampung Tulung terjadi pada 28 atau 31 Oktober, lebih memungkinkan bahwa tragedi tersebut terjadi pada 1 November 1945. Serangan Jepang pada Kampung Tulung menewaskan 16 pemuda dan 26 anggota TKR, sedangkan 12 orang lainnya mengalami luka-luka (Amin & Kurniawan [2018]).

Tak hanya Inggris, TKR dan pejuang di Magelang juga menerima bala bantuan. Menurut Harnoko (1985) dan Sedjarah Militer (1986), empat batalyon TKR datang dari Purwokerto dan Yogyakarta, beserta unit Polisi Istimewa-nya Oni Sastroatmodjo. Tidak hanya TKR dan polisi, laskar rakyat lainnya juga turut berperan, seperti Tentara Rakyat Mataram pimpinan Bung Tardjo. Kini, sebanyak 9 batalyon TKR terlibat dalam Pertempuran Magelang, serta para kelompok pemuda dan rakyat. Mullaly (1957) dan Kirby (1969) memperkirakan kekuatan pihak Indonesia berjumlah 5.000 orang.

Pesawat P-47 Thunderbolt yang digunakan Inggris; Bandara Kemayoran, Nov. 1945. (Sumber: IWM)
Pesawat P-47 Thunderbolt yang digunakan Inggris; Bandara Kemayoran, Nov. 1945. (Sumber: IWM)

Sayangnya, meski unggul dalam jumlah lima banding satu, para pejuang Indonesia belum mampu mengalahkan pasukan Inggris-India. Tull (1946) menulis pasukan Gurkha di Magelang, yang mulai kehabisan amunisi, mendapatkan pengiriman suplai lewat udara; koran The Sydney Morning Herald dalam artikel "New Flare Up in Java Feared" (1945) menyebutkan penyuplaian ini dilakukan pesawat C-47 Dakota. Selain penyuplaian udara, enam pesawat P-47 Thunderbolt Inggris juga dikirim. Artikel "British in Heavy Java Action" (1945) menerangkan bahwa pesawat-pesawat Thunderbolt tersebut diperintahkan berpatroli di angkasa di atas area Magelang, untuk membantu pergerakan pasukan Inggris-India dan Jepang serta menghambat pergerakan TKR dan pejuang Indonesia.

Dukungan angkatan udara dan kedatangan pasukan gabungan Inggris-Jepang memperkuat posisi Inggris, yang mampu mempertahankan posisi mereka. Laporan Kido Butai (1946) menyebutkan bahwa kompi Kapten Yamada berhasil membebaskan 120 orang Eropa dan 220 orang Jepang yang ditawan pihak Indonesia. Mullaly (1957) menimpali laporan ini, menyebutkan Kompi Yamada diperintahkan membersihkan area di utara Magelang dan berusaha mencapai Kompi A yang terkepung di Hotel Montagne. Akhirnya, setelah merebut sejumlah senjata dan menawan beberapa pejuang, Kompi Yamada berhasil memaksa para pejuang di Hotel Nitaka menyerah (Kido Butai [1946]).

Berakhirnya Pertempuran

Walaupun Gubernur Wongsonegoro dan Brigadir Bethell gagal mencapai Magelang, usaha menghentikan pertempuran tidak berhenti di situ. Leland (1946) menulis bahwa Presiden Sukarno meminta melalui radio agar pertempuran dihentikan, tanpa hasil. Esoknya, pada jam 1 siang, Sukarno sampai di Semarang lalu bertemu dengan Wongsonegoro dan Bethell. Meski Sukarno, Wongsonegoro, dan Bethell ingin langsung pergi ke Magelang, para petinggi TKR ingin mereka pergi ke markas TKR di Yogyakarta untuk berunding. Usul untuk bertemu di Salatiga gagal terlaksana karena pimpinan TKR bersikeras bertemu di Yogyakarta. Sukarno dan Wongsonegoro pun berangkat ke Yogyakarta tanpa Bethell, yang khawatir akan keselamatannya mengingat nasib naas Brigadir Mallaby di Surabaya.

Sukarno dan Wongsonegoro tiba di Yogyakarta sore itu juga. Mereka bertemu dengan Mayor Jenderal Urip Sumoharjo, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Pakualam VII, serta pimpinan lokal Magelang di sana (Amin & Kurniawan [2018]). Leland (1946) menyebutkan bahwa para pemimpin Indonesia kemudian memutuskan Pertempuran Magelang harus berhenti pada 2 November 1945; malam harinya, rombongan Sukarno kembali ke Semarang. Kabar keputusan tersebut sampai ke Magelang pada jam 10, 2 November, dan setelahnya Sukarno, Wongsonegoro, Bethell, dan rombongan dari kedua belah pihak akhirnya berangkat ke Magelang.

Iring-iringan Presiden Sukarno, Brigadir Bethell, dan Gubernur Wongsonegoro tiba di markas Batalyon 3/10 di Magelang pada sore hari (Mullaly [1957]). Harnoko (1985) dan Sedjarah Militer (1968) menuliskan kedua belah pihak menyepakati sejumlah 12 pasal kesepakatan antara pihak Inggris dan Indonesia.

Persisnya apa isi pasal-pasal tersebut kurang jelas. Sedjarah Militer (1968) memuat isi Pasal 2: "Sekutu akan tetap menempatkan pasukan² jang setjukupnja di Magelang untuk melakukan kewadjibannja … Besarnja pasukan ini ditetapkan oleh Panglima Sekutu; djumlah ini tidak akan lebih besar dari apa jang Panglima Sekutu pandang perlu untuk mendjalankan pekerdjaanja." Inti pasal ini kurang lebih sesuai dengan yang dikabarkan Leland (1946), yang menyebutkan bahwa pihak Indonesia akan membantu menjaga para bekas interniran hingga dapat dievakuasi ke Semarang. Selebihnya, kedua belah pihak juga sepakat Kompi Yamada akan diperintahkan kembali ke Semarang secepatnya dan suatu komite kontak akan dibentuk untuk mempermudah komunikasi antara kedua belah pihak (Mullaly [1957]; Harnoko [1985]). Disepakatinya pasal-pasal ini menandakan usainya Pertempuran Magelang.

Pertempuran Magelang mengakibatkan korban dengan jumlah yang signifikan. Leland (1946) menyebutkan 30-an hingga 40-an korban di pihak Inggris-India dan Jepang: 8 tewas dan 25 luka-luka dari antara prajurit Gurkha, dan 2 tewas dan beberapa luka-luka dari antara Kompi Yamada. Kerugian pihak Indonesia jauh lebih besar: Tull (1946) menyebut angka 200 korban dan Leland (1946) memperkirakan 300 korban dari pihak Indonesia. Bahkan, Nooteboom (1945) menuliskan total korban di pihak Indonesia mencapai 600 orang. Di antara ratusan korban ini, tidak lupa disebutkan kembali 54 orang yang menjadi korban tragedi Kampung Tulung.

Tank ringan M3 Stuart yang digunakan Inggris di area Semarang-Ambarawa; 1945. (Sumber: IWM)
Tank ringan M3 Stuart yang digunakan Inggris di area Semarang-Ambarawa; 1945. (Sumber: IWM)

Kesepakatan antara Inggris dan Indonesia yang dimediasi oleh Sukarno memuat ketentuan bahwa pihak Inggris diperbolehkan menempatkan pasukan yang dianggap wajar di Magelang sampai tugas Inggris di Magelang terpenuhi. Oleh karenanya, setelah pasukan Kapten Yamada kembali ke Semarang, Mullaly (1957) menuliskan bahwa dua peleton transportasi dan empat tank ringan dikirim ke Magelang.

Dalam waktu tiga minggu seusainya Pertempuran Magelang, Inggris pun merampungkan evakuasi 2.500 bekas tahanan perang dari Magelang ke Ambarawa (McMillan [2005]). Meski Sedjarah Militer (1968) dalam hlm. 41 menyebutkan, "Agaknja karena sudah tak tertahan lagi bagi Sekutu, maka pada … 21 Nopember 1945 malam hari, setjara diam-diam mereka meninggalkan kedudukannja dan mundur kedjurusan Ambarawa," ternyata hal ini malahan sesuai dengan kesepakatan Inggris-Indonesia: sebagaimana dimuat dalam berkas ke-13 dari Leland (1946), paragraf 36 menyebutkan Inggris berjanji akan menarik diri dari Magelang setelah evakuasi para bekas interniran selesai.

Sayangnya, pada saat itu, Palagan Ambarawa telah dimulai dan akan berkobar selama nyaris sebulan berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun