Mohon tunggu...
M. Historya Ayanda
M. Historya Ayanda Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Kelahiran Teluk Bayur Sum-Bar, SD di Irian Jaya, SMP di Kalimantan Selatan, SMA di Jawa Timur, kuliah di Sulawesi Selatan, ber-istri Maluku dan kini bermukim di Depok Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sumatera Barat, "Pemberontak" yang Takluk...

9 Maret 2010   01:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:32 877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumatera Barat adalah daerah luar Jawa yang paling banyak menyumbang tokoh di panggung politik nasional, sejak era kolonial sampai era Soeharto. Tokoh-tokoh Sumatera Barat itu juga mewakili semua spektrum ideologi politik, mulai dari Tan Malaka hingga Hamka. Karena itu, Sumatera Barat memiliki tempat tersendiri dalam sejarah politik Indonesia.

Sumatera Barat pernah menggelorakan pemberontakan terhadap penguasa pusat yang dianggap otoriter dan sentralis, baik di era kolonial maupun di masa Indonesia merdeka. Namun, ketika penguasa paling sentralis dan otoriter berkuasa di Indonesia, yaitu rezim militer Orde Baru, Sumatera Barat menjadi anak manis.

Dari Sumatera Barat, kita dapat melacak sejarah visi Indonesia merdeka, terutama dalam hal hubungan pusat dengan daerah. Sejarah Sumatera Barat memperlihatkan bahwa hubungan pusat dengan daerah adalah hubungan yang saling mencemburui karena pusat selalu bernafsu menguasai dan menundukkan, sementara daerah cenderung menuntut lebih. Audrey Kahin mengkaji hubungan saling mencemburui itu dari perspektif lokal dengan kacamata sejarah politik. Elaborasinya tersaji dalam buku ini dengan sangat memikat.

Audrey mengemukakan asal - muasal ketegangan integrasi Sumatera Barat dengan pusat, bukan sekadar masalah porsi pembagian kue ekonomi atau jabatan, melainkan perbedaan visi mengenai Indonesia merdeka. Budaya politik Minang di Sumatera Barat yang egaliter meyakini keutuhan Indonesia ditentukan oleh kerelaan pemerintah pusat memberikan otonomi seluas-luasnya kepada setiap daerah. Sementara budaya politik Jawa yang sentralistis hierarkis meyakini keutuhan dan kemakmuran Indonesia tergantung pada kuatnya kontrol pusat.

Menggagas dan Membela Indonesia

Masyarakat Minang yang tinggal di Sumatera Barat melihat pemimpin hanyalah orang yang”ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah”, bukanlah penguasa tunggal yang mengambil kata putus. Masyarakat Minang memandang bahwa kekuasaan menyebar dalam nagari-nagari karena nagari, di Sumatera Barat berfungsi sebagai kesatuan adat dan sekaligus politik. Cara untuk mengambil keputusan adalah musyawarah antara seluruh unsur nagari.

Watak politik Minang itu kemudian mewarnai watak nasionalisme Indonesia yang tumbuh di Sumatera Barat. Ideologi yang diusung untuk Indonesia merdeka merupakan paduan dari pandangan Islam modern dan sekuler radikal, misalnya marxisme.

Aktornya datang dari kalangan ulama, guru-guru, dan murid-murid perguruan swasta (Perguruan Diniyah dan Sumatera Thawalib), komunitas pedagang, pemimpin nagari yang berpadu dengan aktivis politik. Perpaduan ketiga unsur itu membuat nasionalisme Indonesia di Minang menjadi tidak elitis dan menghargai keotonoman para pihak dalam menentang kolonial Belanda.

Dengan sikap yang otonom itulah Sumatera Barat menjadi benteng bagi Republik ketika terancam agresi Belanda. Bersama Syafruddin Prawiranegara (Menteri Kemakmuran RI), segenap tokoh politik dan birokrasi sipil dan militer di Sumatera Barat menjalankan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia tahun 1948 sebagai pemerintahan yang sah (hal 213). Berkat sokongan masyarakat Minang di Sumatera Barat, Pemerinta Darurat Republik Indonesia berhasil menjaga integrasi Republik. Sekaligus berhasil pula menjaga eksistensi Republik di mata dunia. Berkat kerja sama itu, rencana Belanda untuk mendirikan negara Minangkabau sebagai daerah otonom dalam Negara Federasi Sumatera berhasil digagalkan (hal 234).

Memberontak dan kalah

Setelah tahun 1955, orang Minang melihat otonomi daerah hanya tinggal omongan. Orang Minang melihat Soekarno menjalankan kekuasaan secara draconian (keras dan kejam) baik terhadap institusi sipil maupun militer. Di era ini visi Sumatera Barat yang demokratis dan egaliter berhadapan dengan konsep kekuasaan Jawa yang feodal dan sentralistis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun