Mohon tunggu...
Rivaldy Satria Perdana
Rivaldy Satria Perdana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi mendaki gunung dan traveling sambil belajar sejarah serta kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Trias Van Deventer dan Politik Etis Hindia Belanda

28 Juni 2023   21:52 Diperbarui: 28 Juni 2023   21:54 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Conrad Theodore van Deventer

Van Deventer akrab disapa oleh para sejarawan lahir di Dordrecht, Belanda pada 29 September 1857 dan meninggal pada usia ke-57 di Den Haag, Belanda. Beliau merupakan seorang pengacara Belanda, penulis tentang Hindia Belanda dan sekaligus anggota Dewan Negara Belanda. Ia dikenal sebagai juru bicara Gerakan Politik Etis Belanda. Dia tinggal di Surinamestraat 20, Den Haag (1903--1915). Van Deventer adalah putra dari Christiaan Julius van Deventer dan Anne Marie Busken Huet. Pamannya adalah penulis Conrad Busken Huet. Ia menikah dengan Elisabeth Maria Louise Maas. Ia meraih gelar doktor pada bulan September 1879 dengan tesis: "Zijn naar de grondwet onze kolonin delen van het rijk" (menurut konstitusi, daerah jajahan kita bagian dari kerajaan Belanda). Pada tanggal 20 Agustus 1880 ia dipekerjakan untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Kementerian Koloni untuk diangkat sebagai pejabat layanan sipil. Bersama istrinya Van Deventer melakukan perjalanan pada bulan September 1880 ke Batavia dengan kapal uap Prins Hendrik. Ia diangkat sebagai panitera di Raad van Justitie (Dewan Kehakiman) di Amboina (sekarang Ambon) pada bulan Desember 1880.

Latar Belakang Munculnya Politik Etis

Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel merupakan salah satu kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang membuat rakyat Indonesia sangat sengsara. Aturan ini mulai diterapkan oleh gubernur jenderal Johannes Van Den Bosch pada tahun 1830. Penindasan serta penekanan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial saat itu membuat rakyat mengalami kerugian baik dalam segi materi maupun tenaga. Tanam paksa yang diterapkan tak hanya mewajibkan rakyat menanam komoditas ekspor yang berharga bagi pemerintah kolonial. Salah satu aturan tanam paksa adalah mewajibkan setiap desa untuk menyisihkan sekitar 20 persen tanahnya untuk dikuasai dan ditanami tanaman komoditas ekspor. Sementara masyarakat yang tidak memiliki kebun wajib bekerja di kebun milik pemerintah dengan gaji kecil dan kondisi yang berat.

Akibat sistem tanam paksa tersebut, kualitas dan hasil tanaman pangan juga berkurang dan menimbulkan masalah baru yaitu kelaparan. Hal ini karena petani tidak sempat mengurusi sawah dan ladang karena harus mengurus tanaman perkebunan yang diwajibkan oleh pemerintah kolonial. Kondisi kurangnya pangan juga menimbulkan wabah penyakit mulai merajalela. Di Cirebon dan Grobogan jumlah kematian meningkat sehingga jumlah penduduk menurun tajam. Sistem tanam paksa juga memunculkan sistem premi atau cultuur procenten yakni pemberian untung kepada penguasa pribumi dan bupati atau kepala daerah yang produksinya melebihi target. Hal ini menyebabkan adanya pemerasan tenaga rakyat demi bisa mendapatkan premi sebesar-besarnya. Pieter Brooshooft yang saat itu berkegiatan mengelilingi wilayah Jawa pada tahun 1887 turut mendokumentasikan bagaimana kesengsaraan yang dialami oleh rakyat pribumi Hindia Belanda pada saat itu. Kondisi ini ternyata menggugah hati nurani dan memunculkan berbagai kecaman dari warga Belanda karena menganggap kebijakan ini tidak berkemanusiaan.

Van Deventer kemudian mengisahkan dalam majalah De Gids dengan judul Eeu Ereschuld atau Hutang Budi tentang bagaimana perjuangan dari rakyat Indonesia yang hasilnya justru dinikmati oleh rakyat Belanda. Gagasan Van Deventer kemudian mendapatkan dukungan Ratu Wilhelmina yang juga disebutkan di dalam pidatonya pada tahun 1901, yang kemudian dibuktikan melalui terbitnya kebijakan baru.

Trias Van Deventer

Program-program yang dilakukan pada politik etis ini atau lebih dikenal dengan Trias van Deventer berfokus pada 3 bidang yaitu diantaranya edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan), dan transmigrasi (perpindahan penduduk). Politik Etis dicetuskan oleh Conrad Theodor van Deventer dan Pieter Brooshooft, yang mulai diberlakukan pada 17 September 1901.

1. Edukasi (Pendidikan)

Salah satu isi Trias Van Deventer adalah edukasi, yakni program peningkatan mutu sumber daya manusia dan pengurangan jumlah buta huruf. Pelaksanaan program ini adalah dibuatnya sekolah dengan dua tingkatan. Pertama, sekolah kelas I untuk golongan bangsawan dan tuan tanah, dan yang kedua sekolah kelas II untuk pribumi dengan mata pelajaran membaca, menulis, ilmu bumi, berhitung, sejarah, dan menggambar. Sekolah-sekolah yang dibangun sebagai bagian dari pelaksanaan Politik Etis di antaranya, OSVIA (sekolah calon pegawai), STOVIA atau sering disebut Sekolah Dokter Jawa, Sekolah Pertukangan, Sekolah Teknik, Pendidikan Dangang, Pendidikan Pertanian, Pendidikan Keguruan, dan Pendidikan Tinggi Hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun