Ketika manusia mampu membagikan kebahagiaan kepada sesamanya, apa yang mesti manusia bagikan atau berikan? Yang perlu diberikan, sebagaimana manusia adalah makhluk sosial adalah pemberiaan diri. Lantas, mengapa pemberian diri?
      Dalam kesehariannya manusia tidak bisa hidup sendirian. Ia hidup dengan sesamanya dalam suatu lingkungan tempatnya tinggal. Begitu pun dalam proses manusia mencari kebahagiaan, Ia tidak berjalan sendirian dalam mencapai kebahagiaan itu. Masih ada orang yang peduli kepada sesamanya, apalagi hal ini berkaitan dengan mencari tujuan utama dari kehidupan. Karena itu, sebagai wujud hormat dan terima kasih manusia kepada sesamanya manusia perlu memberi dirinya. Sebab itu merupakan pemberian yang paling mulia.
      Pemberian diri itu merupakan balas jasa kita kepada sesama yang telah lebih dahulu memberikan dirinya kepada Aku. Niscaya aku tidak akan dapat mencapai kebahagiaan tanpa campur tangan orang lain. Ini merupakan wujud dari kehadiran manusia dalam membantu proses pencarian makna hidup dari sesamanya.
Memberi merupakan sebuah penyeberangan diri dari kepentingan sendiri kepada orang lain. Memberi memungkinkan aku sebagai manusia yang menjadi, atau semakin menjadi manusiawi. Memberi-diri identik dengan membagi diri (Armada Riyanto. Menjadi Mencintai, 2013: 110).
      Ketika bahagia manusia tidak perlu membutuhkan apa-apa lagi. Karena apa yang menjadi tujuan hidupnya telah tercapai. Maka, dengan tidak melakukan banyak perhitungan, manusia yang telah mencapai kebahagiaan itu semestinya memberi dirinya untuk membantu Liyan dalam peziarahannya mencapai kebahagiaan.
      Jika manusia telah mencapai kebahagiaan, manusia akan menjadi makhluk yang bebas. Tentu saja bebas yang tidak merugikan orang lain, merugikan siapa pun, atau pun merugikan apa pun. Melainkan bebas yang identik dengan tanggung jawab. Jika manusia bertanggungjawab ia telah turut memperbaiki sendi-sendi kehidupan yang semakin hari, semakin tergerus oleh rakus dan angkuhnya manusia.
2.3. Konsekuensi dari Manusia yang Bahagia
      Jika manusia telah mencapai kebahagiaannya, lalu apa konsekuensi dari pencapaiannya itu? Ada banyak hal yang didapatkan dari manusia yang bahagia itu. Ini terutama nian berkaitan erat dengan manusia sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, tentu apa yang didapatkan atau dicapai oleh seseorang akan turut dirasakan oleh orang lain. Tentu hal ini terjadi jika, manusia mampu membuka dirinya terhadap Liyan, sesama, atau siapa saja.
      Manusia yang bahagia akan menjadi, pertama makhluk yang bebas. Sebagaimana kebahagiaan merupakan kepenuhan dari semua peziarahan manusia dalam mencari tujuan utama hidup. Itu berarti bahwa manusia telah memperoleh arti hidup yang sesungguhnya. Jika semuanya itu telah tercapai, maka manusia akan menjadi makhluk yang bebas. Dalam arti, manusia tidak lagi menjadi manusia yang cemas dan gelisah. Tidak lagi menjadi manusia yang dikungkung oleh kehidupannya sendiri. Ia menjadi manusia yang merdeka. Ia bebas mengekspresikan dirinya, sebagai kepenuhan eksistensinya.
      Kedua, menjadi manusia yang bertanggung jawab. Setelah mencapai kebahagiaan dan menjadi makhluk yang bebas, masih ada tugas lain yang harus diemban oleh manusia. Manusia tidak hanya bebas, tetapi bagaimana ia mampu mempertanggungjawabkan kebebasannya itu. Dalam arti bahwa, manusia tidak dengan serta-merta bebas melakukan apa saja yang diinginkannya. Hanya manusia pecundang yang melakukan kebebasan tanpa mempertanggungjawabkan kebebasannya itu.
      Ketiga, menjadi manusia yang adil. Manusia semestinya adil. Ketika manusia bahagia tentu ia menjadi pribadi yang bebas dan pribadi yang tanggungjawab terhadap kehidupannya dan terhadap orang lain. Namun, tidak sebatas itu saja. Manusia harus menjadi makhluk yang adil. Makhluk yang tidak pilih kasih. Ia harus memandang sesamanya sebagai Aku-nya yang lain. Dalam hal apakah manusia adil dan kepada siapakah ia harus adil?