Meskipun demikian, tidak dapat disimpulkan bahwa Konfusius tidak menaruh minat pada politik. Dalam ajarannya, Konfusius lebih mengarah kepada sosok pemimpin ideal. Sebagaimana pemimpin adalah pemimpin, maka ia harus bertindak sesuai dengan nama dan statusnya tersebut. Ajaran Konfusius di sini lebih mengedepankan tindakan atau perbuatan seorang pemimpin. Sebab, jika sebutan atau nama tidak sesuai dengan sikap atau tindakan, maka sebutan apa pun yang melekat pada seseorang tidak akan cocok. Demikian halnya seorang pemimpin. Sebagai seorang pemimpin, hendaknya berlaku adil, bijaksana dan tentu menganyomi rakyatnya. Rakyat pun demikian, semestinya mereka harus menaruh hormat kepada pemimpinnya.
Singkat kata, konsep Zhèngmíng ( 正名 ) memiliki nilai timbal balik. Artinya setiap nama akan sama-sama mendapatkan keuntungan dalam kehidupannya. Konsep ini semestinya perlu diterapkan dalam suatu pemerintahan. Sebab Konfusius dalam ajarannya mengatakan bahwa jika jalan pemerintahan yang benar berlaku, dalam hal ini sesuai dengan konsep pembetulan nama-nama, maka:
- Tata aturan, sopan santun, upacara, musik dan keselarasan, perang dan hukuman, semuanya akan berada dalam kendali penguasa. Hal ini bukan berarti penguasa bertindak sewenang-wenang. Melainkan ia mengatur dan menggunakan hal tersebut dengan bijak dan tidak berlebihan.
- Kebijakan kenegaraan tidak akan berada di tangan atau dipengaruhi oleh para menteri.
- Rakyat biasa tidak akan membicarakan persoalan kenegaraan dan politik.
Pandangan politik Konfusius terpusat pada penguasa. Namun, perlu diingat bahwa Konfusius menghendaki seorang penguasa yang memimpin dalam jalan yang benar. Menjadi penguasa berarti menjadi pemimpin yang hendak meluruskan pandangan rakyatnya.
Konfusius berkata:
“Memerintah berarti meluruskan sesuatu. Bila kau memimpin rakyat dengan lurus, siapa yang berani mengambil jalan yang bengkok? Jadilah teladan; tunjukkan pada mereka bahwa kau bekerja keras, dan mereka pun akan bekerja keras tanpa mengeluh.” (Clara, H.K, (penterj.), The Sayings of Confucius, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011, 130-132)
Ajaran ini mengindikasikan bahwa menjadi pemimpin, bukan sekedar menjadi seorang yang hanya tahu menyuruh saja. Melainkan, pemimpin juga harus bertindak. Ia mesti bertindak dengan benar dan jujur. Tindakan yang mencerminkan suatu sikap bijak.
Sebab, “ Bila pemimpin bersifat jujur, rakyat akan patuh meskipun ia tidak memberi perintah. Tetapi bila ia tidak jujur, meskipun ia memberi perintah, rakyat tidak mematuhinya.”. Jika demikian adanya, apalah artinya gelar (nama) penguasa jika tidak diikuti dengan tindakan yang lurus, benar, dan jujur. Menyandang nama sebagai penguasa maka mestinya ia harus bertindak sebagai penguasa dan bukan seperti rakyat biasa.
Konfusius meyakini bahwa kualitas ketertataan sebuah masyarakat bergantung pada sejauh mana setiap warganya mengejawantahkan fungsi, peran, karya, tanggung jawab, dan kewajiban yang terangkum dalam nama yang melekat pada diri masing-masing. (Limas Sutanto, Cheng-Ming, Intisari, XXXVII No. 450, 2001, 146.). Lalu, apa yang menjadi tolok ukur untuk menjadi seorang pemimpin? Konfusius menekankan pentingnya pendidikan bagi calon pemimpin. Pada jaman Konfusius ujian negara pertama kali diadakan. Hal ini bertujuan untuk mencari pemimpin yang benar-benar adil, lurus, jujur, benar, dan bijaksana. Jadi semua warga dalam negara tersebut boleh mengikuti ujian negara tersebut. Tetapi, tentu yang berhak lolos hanyalah orang-orang yang benar-benar teruji, serta dinyatakan layak oleh yang menilai. Yang memberi penilaian terhadap hasil ujian negara tersebut adalah raja sendiri.
Penutup
Suatu negara dikatakan ideal jika semua elemen di dalamnya bertindak sebagaimana ia disebut. Jika ia seorang penguasa maka ia harus bertindak selayaknya penguasa. Jika ia rakyat maka ia harus bertindak sebagai rakyat. Janganlah dicampuradukan, karena itu akan menimbulkan kekacauan.
Selain itu, tindakan menjadi satu hal penting dari seorang penguasa. Ia mesti menunjukkan tindakannya yang sopan, benar, lurus, dan jujur di depan rakyatnya. Agar rakyat mencontohi pemimpinnya. Juga, perlu adanya sikap menghormati pemimpin oleh rakyat, dan pemimpin hendaknya berlaku adil dan bijaksana kepada rakyatnya.
Perspektif pembetulan nama-nama menyadarkan kita, betapa pentingnya sebuah nama. Semestinya nama tidak dipandang remeh, karena ia merangkum fungsi, peran, karya, tanggung jawab, dan kewajiban asali tertentu yang harus diejawantahkan demi relasi antar insan yang harmonis dan masyarakat yang tertata dengan baik. Yang pasti nama bukanlah sekadar label kosong yang dangkal.