Mohon tunggu...
Risma Sekar Rahmani
Risma Sekar Rahmani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

I'm not perfect, but stories are always better with a touch of imperfection

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Secercah Harapan dalam Kartini

4 April 2023   16:56 Diperbarui: 4 April 2023   17:05 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kartini adalah nama yang sering dikaitkan dengan emansipasi wanita. Beliau yang kerap dipanggil R.A. Kartini adalah putri dari Bupati Jepara, R.M. Adipati Ario Sosroningrat dan Ibunya yang bernama Ngasirah. Beliau lahir di Jepara, pada tanggal 21 April 1879. Sejak dini Kartini sudah diajari dengan pendidikan Barat. Karena kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro meramalkan tentang apa yang diperlukan di masa yang akan datang. Supaya anak-anaknya mendapatkan pelajaran Barat.

Majunya keluarga Kartini sudah tak dapat diragukan lagi, baik dalam bidang pendidikan maupun politik. Sebagai contohnya adalah Paman Kartini, Pangeran Ario Hadiningrat. Beliau adalah seorang yang berpendidikan. Beliau yang pernah menjabat sebagai Bupati Demak sangat pandai dalam menguraikan pikiran dan pendapatnya. Begitu juga Ibu Kartini yang bekerja sebagai seorang guru agama di sekolah yang terdapat di Telukawur, Jepara.

Selain keluarga Kartini yang terkenal akan kemajuannya, keluarga Kartini juga terkenal akan sopan santunnya. Seperti yang biasa dilakukan Kartini misalnya, pada orang yang lebih tua selalu hormat dan santun. Semua anggota keluarga Kartini menggunakan Bahasa Jawa Halus atau yang biasa kita kenal dengan "Basa Krama". Tidak saja mengenai hal berbahasa dan penghormatan, bahkan dalam hal berjalan, seorang gadis bangsawan seperti Kartini harus berjalan dengan pelan-pelan dan anggun.

Hadirnya Kartini di dalam kehidupan keluarga bangsawan menuntut Kartini agar selalu menuruti adat istiadat. Ketika Kartini berumur 12 tahun, beliau dipaksa untuk melakukan tradisi "dipingit". Tradisi ini merupakan tradisi Jawa yang dilakukan sebelum menikah. Umur Kartini yang masih belia itu sangat jelas menolak tradisi itu. Menurut beliau, tradisi itu sangatlah mengekang keinginan beliau. Kartini yang masih ingin bersekolah dan bermain layaknya seorang anak pada umumnya justru dihalang oleh tradisi itu.

Sahabat-sahabat Kartini dari Belanda turut berusaha agar Kartini tidak mengikuti tradisi tersebut. Namun, orang tua Kartini tetap memegang teguh adat memingit. Meskipun dalam hal-hal lain sudah maju, tetapi tetap saja keluarga Kartini memegang teguh adat tersebut yang menurut Kartini sangat tidak adil bagi kaum wanita. Empat tahun berlangsung Kartini tidak diperbolehkan keluar-keluar. Kartini pernah mencurahkan pikirannya, betapa tersiksanya beliau dikurung di dalam rumahnya sendiri kepada kawannya Nona Zeehandelaar. 

"Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau serupa itu. Bukan Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman yang luas sekelilingnya, tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah yang menjadi penjara Kami. Bagaimana juga luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal disana, sesak juga rasanya. 

Teringat aku, betapa aku, oleh karena putus asa dan sedih hati yang tiada terhingga, lalu mengempaskan badanku berulang-ulang kepada pintu yang senantiasa tertutup itu, dan kepada dinding batu bengis itu. Arah kemana juga aku pergi, setiap kali putus juga jalanku oleh tembok batu atau pintu terkunci". Dalam rintihan Kartini selalu ada perjuangan dalam meraih kebebasan. Pada tahun 1895, Kartini diperbolehkan keluar, namun nyatanya itu hanya sementara saja. Dan akhirnya Kartini benar-benar diperbolehkan keluar pada tahun 1898. Namun celakanya, dengan keluarnya Kartini ke dunia luar, justru membuat Kartini mendapat celaan-celaan dari masyarakat.

Dari sekian tahun Kartini menjalani penderitaan itu, di setiap waktunya beliau selalu berusaha untuk mendapatkan ilmu. Meskipun waktu itu tidak ada kesempatan untuk menuntut ilmu dan keluar, tetapi diperbolehkan Kartini berkomunikasi dengan surat-menyurat. Kartini juga diperbolehkan untuk membaca buku yang terdapat di rumahnya. Tetapi meskipun begitu, belajar tanpa berguru tidaklah seenak belajar di sekolah pada umumnya. Akhirnya dari kebebasan untuk mengirim surat, Kartini banyak mengirim surat kepada teman-teman Belanda. Dari kegiatan surat-menyurat tersebut, Kartini bisa bertukar ilmu dan mencurahkan isi hatinya.

Meskipun secara simbolik tradisi itu telah usai, rasa kepuasan dan lega belum memenuhi hati Kartini. Kartini masih ingin berdiri sendiri diusianya yang masih belia, agar masih bisa menuntut ilmu. Beliau tidak ingin bergantung pada orang lain, kartini masih ingin bermanfaat bagi sesamanya. " Tiada berguna kitab Hilda van Suylenburg diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Siapa yang membaca Bahasa itu, kecuali orang laki-laki? Masih sedikit sekali perempuan Jawa yang pandai membaca Bahasa Melayu", kutipan surat ini menandakan bahwa pendidikan wanita di Indonesia khususnya Jawa pada saat itu masih rendah.

Hingga suatu hari, Kartini ditanyai oleh salah satu teman beliau, hendak kemana dia nanti setelah mendapat surat tamat belajar. Pertanyaan itu selalu terngiang di telinga Kartini. Kemudian ditanyakanlah hal itu kepada ayahanda. Tiba- tiba saudaranya datang dan langsung menjawab pertanyaan Kartini "Apa lagi jika tidak menjadi "Raden Ayu". Mendengar jawaban dari saudaranya langsung menyelidiki "Raden Ayu" tersebut. Mengetahui nasib "Raden Ayu", timbullah rasa benci Kartini terhadap gelar tersebut. Karena gelar tersebut mengatarkan seorang gadis Jawa kepada tradisi memingit itu.

Bekas luka yang masih tertanggal dalam sanubari Kartini mengantarkan Kartini pada pemikiran yang berbeda dari pemikiran-pemikiran orang lain. Kartini beranggapan bahwa para wanita dan laki-laki memiliki perbedaan yang sangat jauh. Dan beranggapan bahwa nasib gadis Jawa adalah menikah dengan orang yang tak dikenalnya. Kartini sangat prihatin melihat keadaan para gadis. Kartini percaya bahwa zaman "Kartini" akan berubah. Walaupun begitu, Kartini masih merasakan bahwa zaman itu masih lama.

Ingin hati Kartini seperti para gadis Eropa yang tidak terikat oleh adat istiadat, yang bisa menuntut ilmu dan bisa berkarier. Kartini yang merasa bahwa dia tidak hidup di zamannya melainkan di zaman baru. Beliau punya keinginan akan zaman baru dan tinggal di zaman baru. Dimana zaman itu sudah tidak ada kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Dimana keduanya mendapatkan derajat yang sama di mata masyarakat.

Dalam jalan perjuangan Kartini, selalu ada rintangan-rintangan yang menyertai Kartini. Kartini memiliki kemauan hati untuk merdeka tetapi ada kelemahan hati yang menambatnya, Kartini juga sangat sayang terhadap kedua orang tuanya yang menyebabkan Kartini sulit untuk menolak tradisi itu. Jadilah rasa kebimbangan di dalam benak Kartini. Antara berjuang melepaskan diri dari tradisi itu atau mempertahankan rasa sayangnya terhadap kedua orang tuanya. "Kembali ke lingkunganku yang lama tiada aku dapat, maju lagi masuk dunia baru itu tiada pula dapat, ribuan tali mengikat aku erat-erat kepada duniaku yang lama" (kutipan surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 6 November 1899).

Kutipan surat tersebut, ada beberapa orang yang beranggapan Kartini hanya pandai berkata-kata tetapi kurang dalam tindakan. Bagi orang yang beranggapan seperti itu terhadap Kartini, berarti orang seperti itu kurang mengerti akan sifat Kartini. Kartini hanya mampu mempelajari buku di rumahnya dan hanya mampu merasakan derita para gadis Jawa. Dari situlah banyaklah angan-angan, cita-cita akan merdeka. Namun, ketahuilah Kartini yang pengangan-angan tiadalah berdaya. Kartini seolah-olah menaruh jiwanya kepada masyarakatnya. Kartini seorang seorang penunjuk jalan. Beliau menunjukkan jalan dan hasrat untuk bebas melalui suratnya.

Hingga saat ini, nama dan cita-cita Kartini selalu membekas rasa kagum di dalam hati masyarakat. Bercak kagum itu selalu diperingati disetiap tanggal kelahiran Kartini. Namun jangan salah! cita-cita Kartini bukan hanya keinginan Kartini semata. Melainkan cita-cita semua wanita di dunia, yaitu mendapatkan pengakuan persamaan derajat dengan laki-laki. Sebagai salah satunya adalah Dewi Sartika. Dewi Sartika adalah pejuang wanita yang pernah mendirikan "Sekolah Istri". Maka haruslah dengan sadar dalam memaknai Hari Kartini itu sendiri.

Kartini adalah sosok wanita yang patut dijadikan teladan bagi semua orang. Dilihat dari cara pandangnya, beliau melihat keadaan disekelilingnya, melihat penderitaan rakyat dan memasukkan jiwanya terhadap jiwa-jiwa rakyatnya, seakan- akan merasakannya. Dilihat cara beliau mengutarakan perasaanya, beliau adalah sosok yang mampu jadi pendengar yang baik bagi orang disekelilingnya. Dilihat dari caranya berangan-angan, beliau adalah orang yang suka bermimpi, mempunyai mimpi-mimpi besar lalu diusahakan untuk mencapai apa yang diinginkannya. Dilihat dari keberaniannya dalam menumpas segala yang menurutnya adalah hal buruk dan merugikan orang, sekalipun menentang tradisi yang telah turun-temurun. Beliau adalah orang yang pekerja keras. Meskipun saat sedang dipingit, beliau masih saja terus membaca buku. Dilihat cara lemah lembutnya seorang wanita yang justru menjadi ciri khasnya dan kekuatannya.

Bukan saja para wanita yang boleh mencontoh sosok Kartini, tapi laki-laki juga. Semua para pemuda pemudi Indonesia patutlah mencontoh nilai-nilai positif yang terdapat dalam diri Kartini. Memahami karakter Kartini haruslah dengan sadar jangan pernah mengagungkan Kartini sebagai wanita paling sempurna. Bahkan ada yang mengatakan kebajikan yang yang dilakukan Kartini padahal tak dilakukannya. Oleh karena itu jangan dilebih-lebihkan, cukup diambil nilai positifnya saja.

Generasi bangsa tentunya telah menjadi aset serta masa depan bangsa, haruslah mencontoh nilai positif dalam jiwa-jiwa pahlawan seperti Kartini. Sikap pemuda pemudi yang harusnya mempunyai cita-cita kemudian saling belajar demi mendapat ilmu untuk masa depan, belajar, belajar, dan belajar. Sopan santun yang dicontohkan Kartini haruslah diterapkan dengan menghormati orang tua, guru, dan menyayangi teman. Sosok Kartini yang peduli, saling membantu dan menghormati sesama mengajarkan kita untuk lebih peduli lagi, lebih mengembangkan jiwa positif untuk melangkah menjadi generasi yang lebih, lebih, dan lebih bermanfaat serta menginspirasi masyarakat. Dan sebagai generasi bangsa jangan pernah bawa zaman "Kartini" tetapi bawalah jiwa postif Kartini dalam diri kita

Sumber:  Armijn Pane. (2006). Habis Gelap Terbitlah Terang : Balai Pustaka

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun