Diva Prancis kelahiran Indonesia, Anggun C Sasmi, mengambil bagian dalam proyek album Thérèse – Vivre d’amour yang digarap oleh Grégoire bersama dengan sejumlah penyanyi Prancis dan Kanada dan diluncurkan pada Mei 2013. Album ini berisi lagu-lagu hasil musikalisasi puisi-puisi karangan Santa Thérèse dari Lisieux (Santa Theresia dari Kanak-Kanak Yesus), seorang biarawati Karmelit yang hidup di Prancis pada abad ke-19. Di dalamnya Anggun berduet dengan Natasha St-Pier asal Kanada di dua buah lagu, yaitu “Vivre d’amour” (hidup dalam cinta) dan “La Fiancée” (sang tunangan). Meskipun seorang Muslimah, Anggun mengaku tidak berkeberatan untuk membawakan lagu-lagu yang mengungkapkan rasa cinta santa Katolik ini pada Yesus. Dalam salah satu wawancara di bulan yang sama, Anggun menegaskan, “Je ne suis pas catholique. Je suis musulmane. Je ne connaissais pas du tout Thérèse avant qu’on me parle de ce projet.” (Saya bukan Katolik. Saya Muslimah. Saya sama sekali tidak mengenal Theresia sebelum saya diberitahu tentang proyek ini.) Namun, setelah membaca teks-teks puisi tersebut dan mendengarkan lagu-lagunya, ia tidak merasakan konotasi religious yang begitu kental (“Je n’ai pas senti de forte connotation religieuse”). Teks-teks St. Theresia tersebut bercerita tentang Allah, cintanya pada Allah, khususnya Yesus. Itulah mengapa ia menyanggupi permintaan untuk bergabung dalam proyek ini. [caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Anggun"][/caption] Lebih jauh, dalam lagu “La Fiancée” (sang tunangan), Anggun berkata bahwa seandainya dia tidak mengenal hidup St. Theresia, bahwa dia masuk biara Karmelit di usia 14 tahun, dia akan mengira puisi ini sebuah surat cinta (une lettre d’amour). Baginya, Kekuatan teks ini terletak pada emosi spiritual dan universalnya. “L’amour, c’est un sujet intemporel et très vaste, qu’on chante encore aujourd’hui.” (Cinta adalah subyek yang abadi dan akbar, yang masih kita nyanyikan pada masa kini.) Sadar bahwa keterlibatannya mungkin mengundang tanda tanya bagi sebagian orang, Anggun berkata bahwa banyak yang memandang Islam sebagai sebuah agama teror yang menakutkan, meskipun sesungguhnya “c’est une très belle religion qui prêche la tolerance” (Islam adalah agama yang begitu indah yang mewartakan toleransi). Buktinya, ia belajar selama sepuluh tahun di sebuah sekolah Katolik pada masa mudanya, di bawah asuhan suster-suster, dan ia pernah tampil dan bernyanyi untuk sri paus di Vatikan. Selain itu, tidak hanya penyanyi Katolik terlibat dalam proyek ini, tetapi juga Muslim (Sonia Lacen) dan Yahudi (Elisa Tovati). Ini menunjukkan bahwa pesan yang disampaikan St. Theresia menyentuh sanubari mereka, terlepas dari apa agama yang mereka anut. (“Ça prouve que, bien que l’on soit de confession différente, le message de Thérèse a su nous toucher.”) Dalam konteks masyarakat Indonesia, Anggun dan para penyanyi dalam album ini memperlihatkan satu hal: Seseorang selalu dapat menimba inspirasi, entah itu tentang cinta pada Tuhan atau sesama, dari ungkapan religius mana pun. Hal ini terasa semakin relevan ketika pelbagai kelompok warga di sana-sini malah semakin menutup diri dari pergaulan dengan sesama, hanya karena mereka tidak seiman. Ketika sebagian orang menunjukkan jarinya pada yang lain dan berseru, “Kafir!”, album ini hadir untuk menyerukan cinta pada Tuhan, dan, tentunya, pada sesama manusia. [caption id="" align="alignnone" width="400" caption="Natasha St-Pier dan Anggun"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H