Buku tabungannya sekarang sudah tak lagi ada di tangan. Sayang sekali, padahal aku tak sempat mendokumentasikannya dengan lengkap. Minimal memfotonya dengan lebih jelas sebagai peganganku. Tapi tidak apa apa. Kalau orang orang jahat di sekolah itu mau main main denganku, akan aku layani.
Cerita ini bermula dari hari Sabtu (31/3) kemarin. Teteh mengirimkan pesan singkat tentang uang yang harus dibayar adik sepupuku di sekolahnya. Sebuah sekolah dasar negeri di dekat tempat orangtuaku tinggal. Saat itu aku belum tertalu melihatnya dengan masalah. Pikirku hanya urusan pembayaran sekolah saja.
Namun ceritanya menjadi lain saat keesokan harinya saat aku menginap di rumah orangtuaku. Senin pagi Ibuku menjelaskan tentang tulisan di buku tabungan adikku yang ditulis gurunya. Tulisan yang menurutku lebih tepat disebut sebagai tagihan pembayaran.
Dari sinilah keningku mulai berkerut. Aku mulai mempertanyakan uang apa sebetulnya yang harus dibayarkan. Yang semakin aku menjadi tidak senang adalah, ibuku pun tidak tahu. Ketika aku menanyakan surat edaran resmi dari sekolahnya pun, ibuku geleng.
“Ngga ada lal. Cuma tulisan di buku tabungan itu saja”
Sayang nya buku tabungan tidak ada di rumah. Adikku membawanya ke sekolah. Lalu ibuku meminjam buku tabungan milik Rita (bukan nama sebenarnya) teman sekelas adikku yang kebetulan juga merupakan tetanggaku.
Catatan yang ditulis sang guru di buku tabungan teman adiku
“Isinya sih kurang lebih sama kaya gini lal. Cuma ditulis kurang berapa supaya total jadi 720 ribu” jelas ibuku.
Aku semakin gemas. Kembali mengulang pertanyaan yang sama pada ibuku terkait surat edaran yang mungkin ditujukan pada orangtua yang berisi rincian tagihan pembayaran. Juga kemungkinan khilafnya adikku dengan menghilangkannya. Namun ibuku kembali memberikan jawaban sama. Tidak ada edaran. Ia sudah menanyakan juga pada orangtua Rita. Idem. Tidak ada. Dari sini aku langsung merasa ada yang tidak beres.
“Emang uangnya untuk apa de?” Tanyaku pada adikku Unyilwati (bukan nama sebenarnya)
“kata bu guru untuk ujian” Jawabnya polos.
“Ujian apa ujian nasional?”
“iya ujian nasional” jawabnya.
Adikku memang terlihat tidak ragu saat menjawabnya. Sepertinya memang itulah yang didengar dari gurunya. Namun pertanyaan selanjutnya muncul di kepalaku. Apa benar ujian SD masih dipungut biaya? Dan kalau benar, apa iya sebesar itu?
Aku ingat aku ada kenalan anggota DPRD Kota Tangerang. Aku tanyakan via BBM kepadanya. Aku juga tanyakan soal BOS kepadanya. Intinya dia menjawab soal BOS adalah urusan pemerintah pusat. Dan Soal biaya ujian sudah seluruhnya ditanggung pemerintah. Artinya tidak boleh ada lagi pungutan biaya yang mengatasnamakan ujian. Nah lho… Lalu aku ceritakan soal ini kepada Aleg tersebut. Dan dia dengan segera menindaklanjutinya.
Hari senin (2/4) siang, ada wartawan menanyakan soal pungutan ini. Aku ceritakan saja apa adanya. Dan kemudian aku pertegas, bahwa apa yang aku lakukan ada klarifikasi terkait biaya ujian dan menceritakan adanya pembayaran di sekolah adikku dengan kronologis apa adanya, serta surat edaran yang kuharapkan bisa kudapatkan dari sekolah sebagai bentuk kejelasan dari sekolah.
Pada hari yang sama, ibu dan istriku mendatangi sekolah yang bersangkutan untuk meminta rincian tertulis biaya yang harus dibayarkan dari sekolah. Ia bertemu dengan sang wali kelas. Dengan tak dipersilahkan duduk, ibu dan istriku hanya berbicara sambil berdiri di dekat pintu. Ibuku dijanjikan oleh sang guru akan diberikan rinciannya besok yang akan dititipkan melalui adikku. Alasannya, orang TU (Tata Usaha) sedang tidak ditempat. Sang walikelas hanya memperjelas bahwa total yang harus dibayar adalah 720 ribu. Ibuku mengiyakan lalu pulang.
Agak sore, wartawan lain menelponku. Aku kembali menceritakan kronologisnya apa adanya dan harapan akan datangnya klarifikasi/surat edaran dari sekolah terkait rincian biaya.
Malamnya, Aleg temanku di DPRD mengirimkan link berita online melalui BBM. Rupanya beritanya sudah naik tayang. Ada beberapa kesalahan kutip, namun pesannya sampai. Bahwa ada usaha klarifikasi terkait pungutan di sekolah adik (sepupu)ku.
Keesokan harinya, Selasa (3/4), Ibuku menelponku. Ia menceritakan bahwa Unyilwati disuruh kembali pulang begitu sampai di sekolah. Ia disuruh mengambil buku tabungannya. Siangnya, ada wartawan yang menelponku. Ia bercerita bahwa ia sudah menelpon kepala sekolahnya dan mempertanyakan soal pungutan ini. Seperti sudah kuduga, kepala sekolah membantah adanya pungutan tersebut.
Saat adikku kembali dari sekolah, baru aku tahu. Rupanya ada orang dinas pendidikan (klo tidak salah info, kepalanya langsung) datang ke sekolah adikku dan mempertanyakan soal pungutan ini. Rupanya dinas pendidikan menindaklanjuti info ini.
Namun ada yang mengejutkan. Adikku pulang dengan membawa uang tabungan. Buku tabungan adikku tak lagi di tangan. Sudah dipegang pihak sekolah. Adikku dipesankan bahwa nanti kalau ada acara perpisahan atau piknik, kalau mau ikut, adikku boleh bayar nanti saja. Yang jelas, sekarang uang tabungannya dikembalikan. Tidak ada lagi yang harus dibayar. Termasuk tagihan kekurangan biaya untuk menggenapi sampai 720 ribu kemarin, dikatakan sudah tidak ada lagi.
Aku bersyukur sekaligus merasa aneh. Padahal yang aku harapkan adalah surat edaran resmi dari sekolah yang berisi rincian biaya dengan nominal 720 ribu tersebut. Yang aku dapat malah pengembalian uang tabungan.
Yang lebih aneh lagi adalah ketika aku tahu bahwa, beberapa teman adikku yang aku tahu, tidak (atau belum) menerima pengembalian uang. Aku sempat mengobrol dengan salah satu orangtua siswa, bahkan ia baru melunasi uangnya selasa itu. Saat ada “kunjungan” dari dinas. Hari yang sama ketika uang tabungan adikku dikembalikan. Yang sama adalah, setiap pembayarannya tidak menerima kwitansi. paling banter ditulis lunas di buku tabungannya. Buku tabungannya pun dipegang (ditahan?) pihak sekolah.
Pertanyaanku adalah, Kenapa tidak pernah ada edaran resmi dari sekolah terkait tagihan ini? kenapa adikku mendapat “keistimewaan” ga perlu bayar 720 ribu sedang temannya tetap harus melunasi? Kenapa buku tabungan harus dipegang sekolah? Kenapa beberapa orang tua yang aku kenal tidak mendapat kwitansi resmi dari sekolah setelah melunasi pembayarannya? Apa yang sebenarnya terjadi?
Sampai saat ini aku masih menunggu. Apa yang akan terjadi di sekolah adikku ini…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H