Menyebut nama penyair Abdul Hadi WM, seorang penyair era 70-an yang karya-karyanya banyak dijadikan referensi dalam mempelajari sastra Indonesia, membuat saya teringat akan karya-karyanya yang sangat kuat dan estetis. Karya sastra beliau bukan sekedar karya puisi tapi juga karya sastra sufi. Seangkatan dengan Sutardji Calzoum Bachri yang didapuk sebagai Presiden Penyair Indonesia, maka Abdul Hadi WM layaknya pantas menyandang gelar sebagai Guru Penyair Indonesia, seperti yang diusulkan oleh Isbedy Setiawan ZS.
Sebagai konseptor gerakan sastra Angkatan 70, gerakan sastra sufi dan gerakan kembali ke akar, Abdul Hadi WM mencetuskan gerakan sastra sufi yang berhasil menjadi gerakan sastra yang masif dan terus menggeliat hingga hari ini. Berikut salah satu pemaparan Agus R. Sarjono dalam diskusi sastra mengenang 40 hari wafatnya Prof Abdul Hadi WM di Teater Kecil, Kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat, Senin (26/2) lalu.
Gerakan kembali akar Abdul Hadi WM
Agus R. Sarjono mengutarakan bahwa gerakan kembali ke akar yang dicetuskan Abdul Hadi WM menjadi jawaban atas kondisi di mana jejak kolonialisme barat begitu kuat tertanam di Nusantara. Gerakan kembali ke akar bahkan menjadi tren bukan hanya sastra namun juga bidang lain. Sudah seharusnya kita menanamkan gerakan tersebut agar terus tumbuh dan berkembang.
Selain kehadiran Agus R, Sarjono, diskusi yang dipandu Riri Satria ini juga dihadiri oleh pemateri lain seperti Maman S. Mahayana yang mengulas bahwa pada era ini muncul karya sastra yang membawa ciri baru, yang memiliki perbedaan mencolok dengan karya-karya sebelumnya.
"Pangkal-tolaknya adalah karya-karya yang merintis pembaharuan, yang kemudian melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru sebagai hasil dari proses interaksi dengan kehidupan sosial, moral, intelektual, dan spiritual lingkungan dan zamannya," tambah Kang Maman, sapaan akrab kritikus sastra itu.
Pada karya-karya sastrawan tahun 1970-an, tak ada lagi semboyan seni untuk rakyat atau seni untuk seni, tak ada lagi slogan cinta tanah air, humanisme universal atau pertentangan Timur Barat. Semangat yang tampak berkenaan dengan wawasan estetik, pandangan, sikap hidup pengarang, semangat dan orientasi kebudayaannya.
Acara diskusi yang berlangsung mulai pukul 14.00 siang itu menampilkan insight baru tentang karya Abdul Hadi WM termasuk keterkaitan Abdul Hadi WM dengan genre puisi sufi. Almarhum sanga berpegang teguh pada prinsip penting hidupnya yang dia perjuangkan dari awal hingga akhir yaitu jembar atau lapang dada, seperti yang diulas Sofyan RH Zaid.
"Jembar atau samahah atau bisa juga disebut al-shafh merupakan ajaran vital dalam kesufian, sehingga menjadi salah satu puncak tertinggi capaian seorang sufi. Jembar adalah rasa puas, rasa tenang, hilangnya rasa cemas, serta terus menerus merasa gembira. Tidak sedih kala kehilangan, tidak terlalu bahagia saat mendapatkan," terang Sofyan.
Selain kegiatan diskusi pada acara "Mengenang 40 hari wafatnya Prof. Abdul Hadi WM ini juga diisi dengan pembacaan puisi oleh Giyanto Subagyo, Feri Putra, Piet Yuliakhansa, Nurhayati & Rokhana, Boyke Sulaiman, Narima Berly Ivana, Dyah Kencono Puspito Dewi, Guntoro Sulung, Sihar Ramses Simatupang, Trilogi, Nina Karenina, Evan YS, Wig SM, dan Tatan Daniel, serta musikalisasi puisi "Lagu Dalam Hujan" oleh Rinidiyanti Ayahbi.
Mengenang Abdul Hadi WM
Acara mengenang almarhum Abdul Hadi WM ini merupakan bagian dari penghormatan atas sumbangan dan dedikasi almarhum pada kesusastraan. Acara ini juga dapat terselenggara berkat dukungan berbagai komunitas sastra diantaranya Komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM), Komunitas Forum Sastrawan Indonesia (FSI), Komunitas Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), Komunitas Sastra Reboan, Komunitas Satarupa (Perempuan Pekerja Seni), Komunitas Lukisan Daun & Kopi Teddy Arte.Â
Juga Komunitas Literasi Betawi (KLB), Komunitas Srikandi (Komunitas Seni Budaya), Komunitas Literasi Kompasiana (LitKom), Komunitas Sastra Jakarta Timur (KSJT), Komunitas Istana Puisi, Komunitas Cakra Budaya Indonesia, Komunitas Planet Senen, Forum Literasi Muda, dan Komunitas RK Production.
Kehadiran perwakilan dari Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta, Unit Pelaksana Teknis (UPT) PDS HB Jassin, dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ),semakin menguatkan keberadaan almarhum sebagai tokoh penyair Indonesia yang memang patut dikenang dan diapresiasi karya-karyanya. Penonton dari kalangan satrawan, penggiat sastra dan budaya, komunitas serta masyarakat umum hadir di acara tersebut.
Disesi malam hari acara mengenang wafatnya almarhum Abdul Hadi WM ini diisi dengan pementasan tari sufi oleh Imam Ma'arif dan kawan-kawan dari RK Productiaon. Kemudian masih dilanjutkan pembacaan puisi oleh Jose Rizal Manua, Oktavianus Masheka, Sutardji Calzoum Bachri, Emi Suy, Arief Joko Wicaksono, Asrizal Nur, dan M. Subhi Ibrahim dari Paramadina. Juga testimoni dari Gayatri Muthari, putri dari almarhum Abdul Hadi WM.
Seperti yang dipaparkan Nanang R. Supriyatin selaku Ketua Panitia acara, harapannya dedikasi dan sumbangsih karya-karya almarhum pada dunia kesusastraan Indonesia akan terus dipertahankan, dirawat dan dijaga sebagai salah satu aset seni budaya bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H