Pembacaan nukilan novel Kelir karya mas Yon Bayu Wahyono yang dibacakan mbak Retno Budiningsih sempat membuat saya terhanyut. Untaian kata yang dilantunkan seakan mendongengkan isi dari novel Kelir tersebut, apalagi mbak Retno membacakannya dengan penuh penghayatan membuat penonton nyaris terdiam mendengarkan dengan khusuk. Pembacaan nukilan novel Kelir ini merupakan salah satu kegiatan dari peluncuran dan bedah novel buah karya mas Yon, di mana untuk pembedahan isi dari novel tersebut dibawakan oleh bang Isson Khairul.
Dua perempuan muda mengenakan kebaya putih, bawahan jarik batik kuning dengan motif bunga-bunga kecil, menghampiri Paksi dan Dyah. Salah satunya membawa nampan berisi dua bungkus nasi dan air minum dalam gelas. Lainnya membawa air dalam kobokan dan satu sisir pisang ambon.
"Silakan," ujarnya setelah selesai menata makanan di meja.
Paksi terpaku menatap hidangan di depannya. Nasinya dibungkus daun jati, dikat dengan tali bambu. Tidak punya piring, atau bagian dari tradisi padepokan?
Bukan cuma satu buah novel yang dihasilkan oleh mas Yon dan diluncurkan sekaligus dibedah oleh rekan-rekan penulis, tapi juga  ada novel PRASA (Operasi Tanpa Nama). Acara peluncuran dan bedah novel diselenggarakan di Aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin di Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat pada Minggu siang (29/10) lalu. Selain dihadiri oleh rekan-rekan penulis dari Kompasiana, tapi juga rekan-rekan komunitas lain seperti PPBN (Perempuan Pelestari Budaya Nusantara) juga rekan penulis lainnya.
Novel Kelir mengambil cerita dan kisah Kejawen, klenik dan intrik-intrik perdukunan yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat kita. Terkait novel ini pula mas Yon melakukan riset ke berbagai tempat-tempat keramat yang ada di pulau Jawa dan juga Lampung. Berbekal pengalamannya sebagai wartawan senior dan juga penulis cerita misteri, menulis novel Kelir ini tentu saja tidak jauh berbeda dengan menulis cerita misteri. Bersetting lokasi sebuah desa yang bernama Desa Wangkal di mana tokoh Ki Lanangalas menjadi tokoh yang dikeramatkan dan kelak menjadi pusat ziarah bagi para penganut kepercayaan di Desa Wangkal tersebut. Walau sering bergelut dengan kisah fakta sebagai wartawan senior, namun di novel Kelir ini mas Yon mampu melukiskan dan menyelipkan cerita fiksi yang mengalir. Jadi cerita yang dihadirkan di novel Kelir ini banyak terinspirasi dari hasil reportase di lapangan.
Sedangkan untuk novel PRASA ini, ibu Devi Mentari membacakan nukilannya sebelum pak Sunu Wasono yang membedah isi dan cerita novel yang berbau politik ini. Pengambilan setting cerita novel PRASA ini sarat dengan situasi kondisi perpolitikan Indonesia yang penuh dengan ketimpangan di mana banyaknya penggusuran, intrik politik di era 1998 yang diceritakan dalam bentuk fiksi. Pergolakan batin terasa sekali di isi cerita novel PRASA ini yang mengisahkan tentang pencarian jati diri seorang anak bernama PRASA.