Mohon tunggu...
HiQudsStory
HiQudsStory Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Writer, Full time Blogger

Pemilik blog https://mlaqumlaqu.com. Akun instagram @hiquds, twitter @hi_quds

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Uji Dengkul di Jalur Jembatan Akar Baduy Luar bareng KPK dan KOTeKA

29 Juli 2023   06:24 Diperbarui: 29 Juli 2023   06:37 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
keseharian anak-anak Baduy Luar,dok: Ameliya

First impression saya ketika mendengar kata Baduy yaitu Madu dan Orang Baduy yang berpakaian hitam-hitam yang berjalan tanpa alas kaki. Ketika bertemu dengan sosok Baduy ini, saya merasa terkesan dengan mereka yang mampu menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki dan masih mempertahankan budaya warisan nenek moyang mereka. Ternyata suku di Baduy yang berlokasi di Rangkas Bitung, Banten ini ada Baduy Luar yang ditandai dengan berpakaian hitam-hitam dan Baduy Dalam yang ditandai dengan berpakaian putih-putih.

Kesempatan untuk berkunjung langsung ke tanah Baduy ini datang dari KPK (Komunitas Penggila Kuliner) dan KOTeKA (Komunitas Traveller Kompasiana) yang berkolaborasi mengadakan perjalanan one day trip ini. Perjalanan mengeksplor Baduy ini bukan cuma sekedar perjalanan semata. Buat saya, perjalanan kali ini sekaligus menguji daya tahan fisik saya untuk menjalani rute yang disinyalir lumayan memicu adrenalin dan menguji dengkul karena kontur tanah yang akan kami lalui nanti lumayan cukup menantang. 

Makan siang bersama Baduy

Hari Sabtu (22/07) pukul 7.15 WIB kami berdelapan yang terdiri dari Bozz Madyang aka mas Rahab, Bang Aswin, Kang Bugi, Ednadus, Bule Tauhid, saya, Annisa dan Amelya bertemu di stasiun Tanah Abang di jalur 5 untuk menuju stasiun Rangkasbitung. Minus mas Daniel yang berangkat dari stasiun Daru karena tempat tinggalnya lebih dekat dari stasiun tersebut ketimbang harus ke stasiun Tanah Abang. Tidak perlu menunggu lama, pukul 7.30 WIB kereta dengan relasi stasiun Tanah Abang - Rangkasbitung pun datang dan kami berangkat dengan menempuh perjalanan sekitar 2 jam.

Ojan, pemandu asli penduduk Baduy Luar,dok: Ameliya
Ojan, pemandu asli penduduk Baduy Luar,dok: Ameliya

Sesampai di stasiun Rangkasbitung, kami sudah dijemput Ojan Soekarno, pemandu kami yang asli anak suku Baduy Luar dengan mang Cecep sang pemilik angkot sekaligus pengemudinya yang akan membawa kami ke desa Ciboleger tempat di mana lokasi suku Baduy berada. Oiya, Ojan ini adalah anak asli Baduy Luar. Kalau dilihat dari penampakannya, Ojan ini terlihat sederhana, ramah, dan sangat membantu selama kami dalam perjalanan. Perawakannya yang terlihat biasa saja ini ternayta menyimpan kekuatan yang tidak dimiliki orang biasa, mungkin karena Ojan sudah terbiasa dengan kehidupannya sebagai anak dari suku Baduy Luar yang harus mentaati peraturan dan kebiasaan yang ada sejak dulu.

di stasiun Rangkasbitung menuju Baduy, dok: tim KPK KOTeKA
di stasiun Rangkasbitung menuju Baduy, dok: tim KPK KOTeKA

Setelah menempuh perjalanan dengan kereta selama 2 jam dan lanjut dengan angkot selama kurang lebih 2 jam juga, kami pun tiba di desa Ciboleger. Perjalanan awal yang cukup menyita waktu ini belum seberapa dibanding perjalanan menuju Jembatan Akar nanti. Setelah beristirahat sejenak  kamipun lanjut memasuki desa Baduy Luar menuju rumah Ojan untuk menikmati makan siang yang sudah disiapkan oleh istrinya, Pani. 

Oiya selama di angkot menuju desa Ciboleger, kami memutuskan untuk mengunjungi jembatan Akar setelah menikmati makan siang di rumah Ojan. Walau sederhana tapi menu masakan yg dihidangkan sangat menggugah selera. Ada nasi hangat dalam bakul anyaman, ikan asin,tempe tahu goreng,lalapan, petai bakar dan pastinya sambel. Duuh dimakan ketika sedang lapar-laparnya tuh rasanya nikmat banget dan jadi terlihat mevvah. Belum lagi diakhiri dengan segelas kopi asli Baduy yang melengkapi hidangan makan siang kami.

makan siang mevvah ala Baduy Luar di rumah Ojan, dok: tim KPK KOTeKA
makan siang mevvah ala Baduy Luar di rumah Ojan, dok: tim KPK KOTeKA

Sepanjang perjalanan menuju rumah Ojan kami bertemu dengan para penduduk Baduy Luar yang cukup ramah. Sama seperti di tempat kediaman Ojan dan keluarganya, terlihat di depan rumah panggung mereka, mereka menjajakan hasil kerajinan mereka yang berupa kain tenun, gelang anyaman, madu hutan, gula aren, tas anyaman, ikat kepala dan masih banyak lagi. Senangnya, walaupun desa mereka terlihat sederhana tapi mereka sangat menjaga sekali kebersihan desa mereka. Hampir tiap rumah menyediakan kantong besar bekas karung beras sebagai tempat sampah, jadi tidak ada tuh sampah berserakan di sana. Hal ini menandakan salah satu budaya leluhur mereka yang cinta akan kebersihan dan selalu menjaga alam tempat mereka tinggal.

Saking terpesonanya dan menikmati perjalanan menuju rumah Ojan, kami bertiga, saya, Annisa dan Ednadus sampai kebablasan lepas dari rombongan. Kami terus berjalan jauh ketinggalan sampai tiba di pertigaan dan baru sadar setelah melihat ke depan kok rombongannya beda orang hahaha, ternyata kami salah mengikuti rombongan. Untungnya Ojan cukup terkenal di kalangan penduduk sekitar, jadi kami tinggal bertanya saja di mana rumah Ojan dan ada seorang bapak-bapak yang mengantarkan kami ke rumah Ojan yang sebenarnya.

keseharian anak-anak Baduy Luar,dok: Ameliya
keseharian anak-anak Baduy Luar,dok: Ameliya

Selepas makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju jembatan Akar yg terletak di desa Cikeum. Perjalanan menuju ke sana cukup menantang dan menguras tenaga. Belum lagi kontur tanah yang naik turun dan terkadang menjumpai jurang di kanan atau kiri jalan. Tidak percuma saya membeli tongkat kayu yang dijual seorang bapak di pintu masuk desa Ciboleger tadi seharga 5k. Dengan tongkat kayu tersebut membantu saya menyusuri jalan.

the power of tongkat kayu Baduy, dok: Ameliya
the power of tongkat kayu Baduy, dok: Ameliya

Uji dengkul jalur Jembatan Akar Baduy Luar

Kalau perjalanan naik angkot dari stasiun Rangkasbitung menuju desa Ciboleger termasuk mulus dengan jalanan beraspal, tidak dengan perjalanan menuju desa Cikeum tempat di mana Jembatan Akar berada. Kondisi jalanan menuju desa Cikeum turun naik dengan kontur tanah berbatu yang cukup menguji baik penumpang maupun kondisi angkot yang kami naiki. Sempat kami turun dari angkot karena kondisi jalanan yang menurun dan berbatu yang membuat bagian bawah bergesekan dengan batu di bawah karena besarnya batu-batu yang ada. Sayang sekali padahal jalur itu termasuk menjadi jalur yang sering dilewati oleh pengendara lain namun kondisinya sangat tidak mulus dan belum beraspal.

Jembatan Akar Baduy Luar, dok: Ameliya
Jembatan Akar Baduy Luar, dok: Ameliya

Setelah menempuh perjalanan dengan angkot selama kurang lebih 1 jam, kami melanjutkan perjalanan menuju Jembatan Akar dengan berjalan kaki. Nah disinilah perjalanan uji dengkul dimulai. Memakan waktu kurang lebih 1 jam dengan berjalan kaki dengan kontur tanah yang naik turun, terkadang di sisi kiri atau kanan jurang membuat saya beberapa kali menyeimbangkan diri supaya tidak terjatuh atau terpeleset. Bisa dibayangkan bagaimana mereka para penduduk suku Baduy yang menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki hampir tiap hari untuk sekedar mengambil kayu di hutan atau mencari madu dan buah duren.

Tidak jarang kami berpapasan dengan ibu-ibu yang bukan hanya menggedong kayu tapi juga menggendong anaknya berjalan kaki tanpa alas kaki, dan mereka terlihat tidak tampak kelelahan. Ya Allah jadi malu rasanya melihat mereka yang hidup dalam kesederhanaan namun tetap menjalani dengan penuh kebahagiaan. Apalah hamba yang masih sering suka mengeluh padahal segala fasilitas yang tersedia cukup memadai. Ibarat pepatah Alah bisa karena biasa, begitu pula dengan para penduduk Baduy Luar maupun Baduy Dalam yang sudah terbiasa dengan keseharian mereka berdampingan dan menjaga alamnya.

Namun semua perjuangan, perjalanan dan kelelahan yang kami hadapi terbayar begitu tiba di Jembatan Akar yang indah dan menakjubkan. Kebayang bagaimana sebuah jembatan dapat terbentuk hanya dengan akar pohon yang saling bertautan dan akhirnya membentuk sebuah jembatan penghubung yang dapat menjadi akses penghubung antar dua kampung yaitu Kampung Panyelarangan dan Kampung Nungkulan. Dibawah jembatan terbentang aliran sungai yang cukup jernih dengan bebatuan besar di mana kita bisa berisitirahat menikmati pemandangan jembatan dari bawah.

Akhirnya sampai juga di Jembatan Akar, dok: KPK KOTeKA
Akhirnya sampai juga di Jembatan Akar, dok: KPK KOTeKA

Menurut info, dari Jembatan Akar tersebut untuk menuju pemukiman Baduy Dalam masih harus ditempuh jarak 3 jam berjalan kaki. Kalau membayangkan saja sudah cape tapi kami peserta trip KPK dan KOTeKA ini malah pengen suatu hari nanti bisa lanjut menuju Baduy Dalam dan merasakan bermalam di sana bersama penduduk setempat. Walau mereka hidup jauh dari perkembangan teknologi tapi mereka sangat menjaga kultur mereka. Walau tidak seperti Baduy Dalam yang masih tidak mengijinkan teknologi masuk, Baduy Luar yang sudah mulai mengikuti perkembangan jaman tapi mereka tetap menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur nenek moyang mereka yang sangat sederhana, menjaga sopan santun, ramah, jujur dan menjaga alam tempat mereka tinggal.

Sungguh suatu perjalanan yang memberikan saya rasa bersyukur atas kehidupan ini, bahwa sesungguhnya apa yang sudah alam berikan sejatinya kita pelihara dan kita jaga. Satu catatan untuk para pengunjung agar untuk selalu menghargai dan menghormati apa yang penduduk Baduy jaga dan pertahankan selama ini. Kuy Saba Baduy!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun