Saking terpesonanya dan menikmati perjalanan menuju rumah Ojan, kami bertiga, saya, Annisa dan Ednadus sampai kebablasan lepas dari rombongan. Kami terus berjalan jauh ketinggalan sampai tiba di pertigaan dan baru sadar setelah melihat ke depan kok rombongannya beda orang hahaha, ternyata kami salah mengikuti rombongan. Untungnya Ojan cukup terkenal di kalangan penduduk sekitar, jadi kami tinggal bertanya saja di mana rumah Ojan dan ada seorang bapak-bapak yang mengantarkan kami ke rumah Ojan yang sebenarnya.
Selepas makan siang, kami melanjutkan perjalanan menuju jembatan Akar yg terletak di desa Cikeum. Perjalanan menuju ke sana cukup menantang dan menguras tenaga. Belum lagi kontur tanah yang naik turun dan terkadang menjumpai jurang di kanan atau kiri jalan. Tidak percuma saya membeli tongkat kayu yang dijual seorang bapak di pintu masuk desa Ciboleger tadi seharga 5k. Dengan tongkat kayu tersebut membantu saya menyusuri jalan.
Uji dengkul jalur Jembatan Akar Baduy Luar
Kalau perjalanan naik angkot dari stasiun Rangkasbitung menuju desa Ciboleger termasuk mulus dengan jalanan beraspal, tidak dengan perjalanan menuju desa Cikeum tempat di mana Jembatan Akar berada. Kondisi jalanan menuju desa Cikeum turun naik dengan kontur tanah berbatu yang cukup menguji baik penumpang maupun kondisi angkot yang kami naiki. Sempat kami turun dari angkot karena kondisi jalanan yang menurun dan berbatu yang membuat bagian bawah bergesekan dengan batu di bawah karena besarnya batu-batu yang ada. Sayang sekali padahal jalur itu termasuk menjadi jalur yang sering dilewati oleh pengendara lain namun kondisinya sangat tidak mulus dan belum beraspal.
Setelah menempuh perjalanan dengan angkot selama kurang lebih 1 jam, kami melanjutkan perjalanan menuju Jembatan Akar dengan berjalan kaki. Nah disinilah perjalanan uji dengkul dimulai. Memakan waktu kurang lebih 1 jam dengan berjalan kaki dengan kontur tanah yang naik turun, terkadang di sisi kiri atau kanan jurang membuat saya beberapa kali menyeimbangkan diri supaya tidak terjatuh atau terpeleset. Bisa dibayangkan bagaimana mereka para penduduk suku Baduy yang menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki hampir tiap hari untuk sekedar mengambil kayu di hutan atau mencari madu dan buah duren.
Tidak jarang kami berpapasan dengan ibu-ibu yang bukan hanya menggedong kayu tapi juga menggendong anaknya berjalan kaki tanpa alas kaki, dan mereka terlihat tidak tampak kelelahan. Ya Allah jadi malu rasanya melihat mereka yang hidup dalam kesederhanaan namun tetap menjalani dengan penuh kebahagiaan. Apalah hamba yang masih sering suka mengeluh padahal segala fasilitas yang tersedia cukup memadai. Ibarat pepatah Alah bisa karena biasa, begitu pula dengan para penduduk Baduy Luar maupun Baduy Dalam yang sudah terbiasa dengan keseharian mereka berdampingan dan menjaga alamnya.
Namun semua perjuangan, perjalanan dan kelelahan yang kami hadapi terbayar begitu tiba di Jembatan Akar yang indah dan menakjubkan. Kebayang bagaimana sebuah jembatan dapat terbentuk hanya dengan akar pohon yang saling bertautan dan akhirnya membentuk sebuah jembatan penghubung yang dapat menjadi akses penghubung antar dua kampung yaitu Kampung Panyelarangan dan Kampung Nungkulan. Dibawah jembatan terbentang aliran sungai yang cukup jernih dengan bebatuan besar di mana kita bisa berisitirahat menikmati pemandangan jembatan dari bawah.
Menurut info, dari Jembatan Akar tersebut untuk menuju pemukiman Baduy Dalam masih harus ditempuh jarak 3 jam berjalan kaki. Kalau membayangkan saja sudah cape tapi kami peserta trip KPK dan KOTeKA ini malah pengen suatu hari nanti bisa lanjut menuju Baduy Dalam dan merasakan bermalam di sana bersama penduduk setempat. Walau mereka hidup jauh dari perkembangan teknologi tapi mereka sangat menjaga kultur mereka. Walau tidak seperti Baduy Dalam yang masih tidak mengijinkan teknologi masuk, Baduy Luar yang sudah mulai mengikuti perkembangan jaman tapi mereka tetap menjaga dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur nenek moyang mereka yang sangat sederhana, menjaga sopan santun, ramah, jujur dan menjaga alam tempat mereka tinggal.