First impression saya ketika mendengar kata Baduy yaitu Madu dan Orang Baduy yang berpakaian hitam-hitam yang berjalan tanpa alas kaki. Ketika bertemu dengan sosok Baduy ini, saya merasa terkesan dengan mereka yang mampu menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki dan masih mempertahankan budaya warisan nenek moyang mereka. Ternyata suku di Baduy yang berlokasi di Rangkas Bitung, Banten ini ada Baduy Luar yang ditandai dengan berpakaian hitam-hitam dan Baduy Dalam yang ditandai dengan berpakaian putih-putih.
Kesempatan untuk berkunjung langsung ke tanah Baduy ini datang dari KPK (Komunitas Penggila Kuliner) dan KOTeKA (Komunitas Traveller Kompasiana) yang berkolaborasi mengadakan perjalanan one day trip ini. Perjalanan mengeksplor Baduy ini bukan cuma sekedar perjalanan semata. Buat saya, perjalanan kali ini sekaligus menguji daya tahan fisik saya untuk menjalani rute yang disinyalir lumayan memicu adrenalin dan menguji dengkul karena kontur tanah yang akan kami lalui nanti lumayan cukup menantang.Â
Makan siang bersama Baduy
Hari Sabtu (22/07) pukul 7.15 WIB kami berdelapan yang terdiri dari Bozz Madyang aka mas Rahab, Bang Aswin, Kang Bugi, Ednadus, Bule Tauhid, saya, Annisa dan Amelya bertemu di stasiun Tanah Abang di jalur 5 untuk menuju stasiun Rangkasbitung. Minus mas Daniel yang berangkat dari stasiun Daru karena tempat tinggalnya lebih dekat dari stasiun tersebut ketimbang harus ke stasiun Tanah Abang. Tidak perlu menunggu lama, pukul 7.30 WIB kereta dengan relasi stasiun Tanah Abang - Rangkasbitung pun datang dan kami berangkat dengan menempuh perjalanan sekitar 2 jam.
Sesampai di stasiun Rangkasbitung, kami sudah dijemput Ojan Soekarno, pemandu kami yang asli anak suku Baduy Luar dengan mang Cecep sang pemilik angkot sekaligus pengemudinya yang akan membawa kami ke desa Ciboleger tempat di mana lokasi suku Baduy berada. Oiya, Ojan ini adalah anak asli Baduy Luar. Kalau dilihat dari penampakannya, Ojan ini terlihat sederhana, ramah, dan sangat membantu selama kami dalam perjalanan. Perawakannya yang terlihat biasa saja ini ternayta menyimpan kekuatan yang tidak dimiliki orang biasa, mungkin karena Ojan sudah terbiasa dengan kehidupannya sebagai anak dari suku Baduy Luar yang harus mentaati peraturan dan kebiasaan yang ada sejak dulu.
Setelah menempuh perjalanan dengan kereta selama 2 jam dan lanjut dengan angkot selama kurang lebih 2 jam juga, kami pun tiba di desa Ciboleger. Perjalanan awal yang cukup menyita waktu ini belum seberapa dibanding perjalanan menuju Jembatan Akar nanti. Setelah beristirahat sejenak  kamipun lanjut memasuki desa Baduy Luar menuju rumah Ojan untuk menikmati makan siang yang sudah disiapkan oleh istrinya, Pani.Â
Oiya selama di angkot menuju desa Ciboleger, kami memutuskan untuk mengunjungi jembatan Akar setelah menikmati makan siang di rumah Ojan. Walau sederhana tapi menu masakan yg dihidangkan sangat menggugah selera. Ada nasi hangat dalam bakul anyaman, ikan asin,tempe tahu goreng,lalapan, petai bakar dan pastinya sambel. Duuh dimakan ketika sedang lapar-laparnya tuh rasanya nikmat banget dan jadi terlihat mevvah. Belum lagi diakhiri dengan segelas kopi asli Baduy yang melengkapi hidangan makan siang kami.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Ojan kami bertemu dengan para penduduk Baduy Luar yang cukup ramah. Sama seperti di tempat kediaman Ojan dan keluarganya, terlihat di depan rumah panggung mereka, mereka menjajakan hasil kerajinan mereka yang berupa kain tenun, gelang anyaman, madu hutan, gula aren, tas anyaman, ikat kepala dan masih banyak lagi. Senangnya, walaupun desa mereka terlihat sederhana tapi mereka sangat menjaga sekali kebersihan desa mereka. Hampir tiap rumah menyediakan kantong besar bekas karung beras sebagai tempat sampah, jadi tidak ada tuh sampah berserakan di sana. Hal ini menandakan salah satu budaya leluhur mereka yang cinta akan kebersihan dan selalu menjaga alam tempat mereka tinggal.