Hanya dalam waktu 1 bulan, kasus bayi Debora sudah tenggelam tanpa kelanjutan yang jelas. Euforia komentar para pejabatpun hilang, mereka sibuk mengkomentari isu-isu baru terkini untuk tetap bisa eksis di media.
Seperti biasa juga, hanya komentar, bukan tindakan apalagi kebijakan yang tuntas.
Sebagai contoh, ternyata ribuan bayi di Indonesia selama ini bernasib sama seperti bayi Debora, mereka meninggal di tahun pertama kehidupan mereka karena Penyakit Jantung Bawaan (PJB).
Bukan hanya ribuan, tetapi minimal 13.500 nyawa dan itu terjadi berulang setiap tahun!Miris sekali bukan?Dari sekitar 4juta bayi yang lahir di Indonesia setiap tahun, sekitar 32-40ribu diantaranya lahir dengan PJB, dan 50%nya harus dioperasi.
Tetapi karena SDM dokter dan fasilitas yang kurang, setiap tahun hanya 1500 anak yang tertangani, dan sisanya, yaitu sekitar 13.500-18.500 anak, "DIBIARKAN" meninggal dunia tanpa sempat dioperasi, dimana sebagian besar dari mereka meninggal dunia di tahun pertama seperti Debora, sebagian lagi bertahan dan harus menghadapi komplikasi seperti Hipertensi Paru, suatu penyakit yang fatal dan menyebabkan disabilitas saat mereka beranjak dewasa.
Mengapa terkesan "dibiarkan?" Karena kondisi sdm dan fasilitas operasi jantung anak yang memprihatinkan. Masuk akalkah jumlah Dokter Bedah Jantung Anak < 10 jari untuk negara sebesar dan penduduk sebanyak Indonesia? Dimana pemerintah dan semua pihak terkait (wakil rakyat, institusi kedokteran itu sendiri) selama puluhan tahun ini? Mengapa mereka hanya muncul saat ada kasus yang sedang heboh di media saja?Â
Muncul hanya untuk basa basi..
Supaya terlihat seakan-akan turut peduli..
Dan tidak lupa, pura2 mengeluarkan sanksi..
Setelah itu? Bye bye... kami sibuk, urusan kami banyak, yang penting anak cucu kami kalo kena PJB kan masih ada dokter di Singapura, haha.
Anak orang lain meninggal dunia ya hamil lagi, gitu saja kok repot. Itukah yang mungkin berada di benak mereka? Entahlah, karena sangat tidak masuk di akal bila selama puluhan tahun hanya ada <10 Dokter Bedah Jantung Anak, bila bukan "sengaja" dihambat oleh banyak hal.
Negara tetangga mati-matian memberi beasiswa dan mengirim SDM dokter mereka ke luar negeri untuk menjadi dokter spesialis, sedangkan disini? Jangankan beasiswa, yang ada malah mati-matian menghambat orang menjadi dokter spesialis dengan segala regulasi yang ada.
Itu kita bicara SDM, fasilitas operasi jantung jdan ICU anak tidak kalah memprihatinkan, hanya ada di kota-kota super besar seperti misalnya Jakarta dan Surabaya, itupun dengan antrian operasi ribuan anak dimana perlu waktu tunggu 1-2 tahun dan seringkali akhirnya sudah meninggal terlebih dahulu karena terlambat.
Apa yang dilakukan wakil rakyat kita? Mereka sibuk merencanakan dan bermimpi akan gedung DPR baru dan proyek-proyek lainnya. Mereka tidak sadar, atau bahkan tidak mau peduli bila anggaran "menyamankan" dan "memewahkan" ruangan mereka = Â kesempatan pembangunan ruang operasi untuk anak-anak ini, dimana secara tidak langsung merenggut kesempatan mereka hidup (nyawa anak-anak ini).
Anak-anak adalah prioritas pertama dalam hal dan situasi apapun juga, itu sudah etika umum yang tertulis di hati nurani manusia. Bila sebuah kapal tenggelam dan jumlah sekoci tidak cukup, anak-anaklah yang pertama ditolong.Â
Tapi kita beda, saat kapal tenggelam (anggaran terbatas), anak-anak kita buang ke laut (dikorbankan) dan para dewasa berpesta pora (korupsi).
Finalnya yang lebih lucu lagi, adalah alat kesehatan, termasuk didalamnya kebutuhan operasi, yang ternyata kena pajak barang mewah!Kesehatan dan nyawa orang menjadi komoditas sexy bahkan mafia-mafia di bidang kesehatan sudah menjadi rahasia umum yang tidak pernah bisa tersentuh selama ini, jauh lebih sakti daripada mafia minyak.
Negara memilih menyelamatkan para dewasa, perokok, pemakan lemak yang kena koroner, dst daripada anak-anak ini melalui sistem BPJS yang ada.
Kita menyalahkan sebuah RS swasta karena kasus Debora, tanpa menyadari bahwa negara inipun menganut sistem "swasta". Semua kebijakan diambil berdasarkan untung saya apa? Untung kelompok kami apa?
Minimal 40 bayi/anak meninggal dalam diam setiap harinya, sebuah jumlah yang cukup luar biasa.
Mereka memang tidak mempunyai kekuatan media, tetapi nyawa mereka akan ditanggungkan kepada para pembuat kebijakan dan siapapun kita, orang dewasa yang hanya duduk diam melihat ini semua.
#saveBayiPJB
29Sep-Hari Jantung Sedunia
Yayasan Hipertensi Paru IndonesiaÂ
www.HipertensiParu.org
Sumber :http://lifestyle.kompas.com/read/2015/10/28/114000323/Indonesia.Kekurangan.Dokter.Bedah.Jantung.Anak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H