Mohon tunggu...
Sevi Nur Widihastuti
Sevi Nur Widihastuti Mohon Tunggu... -

writing talk my stories :)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Cerita Bersama Abang Ojeg

13 Februari 2011   14:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:38 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sendiri bingung harus bercerita seperti apa, dari mana, dan untuk apa. Hanya satu yang pasti, ironis dan menggetarkan hati ketika saya mendengarnya. Entah karena apa itu, padahal kalau ditarik sebuah garis, itu hanya kewajaran semata. Saya punya harapan, ketika tulisan ini selesai dibaca, mereka yang membaca mengerti ada satu sudut, di tengah globalisasi yang membabi buta ini, yang sulit untuk disadari tapi memaksa penghuni sudut tersebut untuk bertahan memperjuangkan hidupnya, walau mereka masih gamang, tak jelas bagaimana menpuh jalanan hidup tersebut. Satu hal lagi yang harus ditekankan, ini hanya pandangan saya, seseorang yang peduli tapi belum bisa diakui.

Belajar dan tinggal di ibu kota bukan suatu hal yang pernah saya dambakan. Saya hanya pernah bermimpi, kalau saya mau diperhitungkan diantara mereka yang menghuni Jakarta. Dan takdir mengajak saya untuk belajar di kota yang keras itu. Banyak hal baru, yang sungguh, baru pertama kali saya lihat dan rasakan. Bukan hanya bagaimana memandang ratusan gedung-gedung pencakar kaki, bukan karena tahu ratusan mall yang menawarkan berbagai kepuasan, juga bagaimana balapan liar kopaja atau metro mini. Ada lagi hiruk pikuk bajaj yang berputar arah semaunya, atau jalanan TransJakarta yang dipadati kendaraan pribadi. Puluhan manusia tanpa pakaian dan tempat berteduh yang layak tidak mau kalah bersaing memenuhi jalanan ibu kota. Ini semua adalah pemandangan klasik yang sering diperbincangkan namun tak pernah berujung solusi.

Kawan, globalisasi menanjak pesat tiap satuan waktu. Seperti Jakarta, pusat dari segala pusat di Indonesia; pemerintahan, perbelanjaan, perkantoran, tamsya, dll, menuntut kota ini untuk pesat tumbuh menghadapi globalisasi, termasuk terjangan budaya dari negeri asing. Pertanyaannya adalah, apakah bangsa atau sumber daya manusianya sudah siap menghadapi semuanya?

Ini cerita sederhana yang saya alami sendiri. Katakanlah, suatu hari saya bersama teman-teman berencana bertolak dari Jakarta menuju kampung halaman. Kami menunggu bis kota untuk nantinya transit ke bis tujuan kampung halaman kami. Seperti seharusnya, kami menunggu di halte. Dan setiap bis yang lewat, dipastikan penuh berdesakkan, berdiri sudah tak asing, termasuk berdiri di depan pintu masuk. Kami memilih untuk menunggu bis yang lebih lenggang. Ketika itu kami menunggu cukup lama di halte, dan banyak pasukan ojeg yang menawarkan jasanya, tapi kami menolak. Alasannya simple, menghemat biaya. Karena dekatnya lokasi halte dengan pangkalan ojeg, maka abang ojeng itu mengajak kami berbincang.

Abang tersebut hanya betanya-tanya hal sepele, mau kemana kami, kenapa tidak naik ojeg, dll. Jujur saja, ketika berbincang saya ketakutan. Tapi tentu saya berusaha untuk tidak menampakkan ketakutan tersebut, ini untuk mengharagai bagaimana keramahan mereka. Saya takut bukan tanpa alasan, banyak korban yang tertipu atau terkena hipnotis dari perbincangan simple dengan orang yang tidak dikenal seperti itu, jadi apa salahnya saya waspada.

Satu kata yang terngiang dan membekas di hati saya ketika abang itu menawarkan untuk menggunakan jasa travel (baca: trevel). Kawan, kalian tahu apa yang dia katakan? “Pakai travel (baca: travel) saja de, biar cepat.” Lihatlah, bagaimana mereka yang sedikit kurang beruntung mendapat pendidikan yang layak berusaha mensejajarkan dirinya agar tidak kalah bersaing. Inilah faktanya, ketika globalisasi memaksa penggunaan Bahasa Inggris sementara mayoritas masyarakat belum siap menghadapi itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun