Mohon tunggu...
Hindharyoen Nts
Hindharyoen Nts Mohon Tunggu... profesional -

Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Joko Widodo, Bukan Presiden Berdaulat

2 November 2015   12:43 Diperbarui: 2 November 2015   13:02 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Selamat Datang Ibu Presiden Megawati Soekarnoputri di Busan Indonsesia Center, October,18, 20I5 “ Spanduk ucapan selamat datang kepada Megawati Presiden of Indonesia itu terpampang di atas pintu dan jendela Kantor Consular Afrfairs Office of The Republic Indonesa di Busan, Korea Selatan. Lha kok Presiden NKRI Megawati. ?

Lucu bukan ? Atau kocak sekaligus konyol dan memalukan . Rakyat Indonesia, anak-anak sekolah dasar pasti tahu bahwa Presiden Indonesia adalah Joko Widodo . Bukan Megawati . Megawati itu mantan Presisen. Kalau saja yang bikin spanduk itu bukan orang konsuler Indonesia, tapi orang Korea bolehlah dimaklumi . Boleh jadi karena ketidaktahuannya. Tapi itu spanduk kan yang bikin orang konsuler ini. Jadi boleh dong bila ada yang menafsirkan bahwa spanduk tersebut sengaja dibikin untuk melecehkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden NKRI, Presiden pilihan rakyat ” yang seharusnya berdaulat” dan 20 Oktober 2015 genap satu tahun menjabat Presiden.

Jokowi Presiden berdaulat ? jawaban jujurnya. Belumlah. Presiden yang fenomenal iya.Tapi berdaulat kah dia ? Sejak dari masa kampaye Pemilu Presiden hingga dilantik menjadi Presiden bahkan sampai saat ini banyak orang menyebut Jokowi sebagai sosok yang fenomenal. Fenomenal karena dukungan rakyat yang luar biasa dan fenomenal karena sampai saat ini ia terus dihujat, disindir, dihina, difitnah. Hujatan paling fenomanal mungkin bias dibaca di media cetak seperti Tabloid Obor Rakyat. Di media sosial fitnah dan hinaan terhadap Jokowi lebih keja, tidak beretika.

Presiden negar berpenduduk hampirr 250 oleh pembencinya digambarkan sebagai manusia berbadan anjing. Betapa hinanya Presiden Jokowi . Oleh rakyatnya sendiri itu dilukiskan sebagai anjing berkepala manusia (Jokowi) yang leher dirantai dan sedang dituntun Megawati sang “majikan” yang menyuruh Jokowi sebagai “petugas partai”.

Ratusan status hinaan di media social sejak “tukang mebel” ini dicalonkan sebagai kandidat Presiden RI sampai saat ini tidak pernah berhenti. Bahkan serangan oleh pembenci, penentang dan lawan-lawan politiknya semakin bertubi-tubi. Dari tuduhan anak sebagai perempuan Cina, anak dari keluarga PKI sampai hinaan dalam bentuk karikatur, Jokowi yang dimasukkan ke dalam tas kresek yang ditentengn seseorang dan dikomentari ,” Punya Presiden tapi tidak berguna. Jual saja ke toko bagus,com “.

Bahwa Jokowi dilecehkan dan dianggap sebagai Presiden yang tidak berdaulat dapat dilihat misalnya saat pembukaan Kongres PDIP di Denpasar. Jokowi yang datang ke upacara pembukaan sama sekali tidak disambut sebagai seorang Presiden tapi sebagai “petugas partai”. Lalu pada acara puncak Sail Tomini 2015, di Pantai Kayu Bura, Kabupaten Par8igi Maoutong, Sulawesi Tengah, Sabtu (19/9),  Jokowi yang hadir bersama Megawati dn tentuanya Puan Maharani seperti dibawah bayang-bayang Megawati. Inilah salah tantangan yang harus dihadapi Jokowi, bagaimana mampu menunjukkan bahwa dia adalah seorang Presiden yang berdaulat.

Seperti dikatakan Harsoko Soediro seorang politisi senior Partai Nasional Indonesia/Front Marhaenis-PNI/FM dan eks anggota Badan Pekerja KonggresPNI/FM 1963-1966, kedepan tantangan Jokowi menjadi semakin berat dan bervariasi. Bukan hanya firnah-fitnah yang menyerang pribadi akan tetapi tekanan, intrik-intrik serta manuver politik dari lawan-lawan politik dan penentangnya akan tetapi juga justru datang dari politikus partai pengusung, terutama PDI-P. Satu tahun menjadi Presiden, katanya  ia mendapat legacy masa-masa sebelumnya yang tidak semuanya mengenakkan . Apalagi Jokowi awal-awalnya menabur TRI SAKTI untuk pedoman kerja kabinetnya.

Padahal titik dari TRI SAKTI adalah apa yang disebut BERDAULAT. Berdaulat di bidang politik, berdaulat di bidang ekonomi dan berdaulat di bidang budaya.Tentu semuanya harus di atas dasar Pancasila. Harsoko mencatat Jokowi telah selamat dari berbagai “perangkap politik” yang dipasang oleh oposisi (KMP) misalnya masalah DUO PARLEMEN yang diawali dengan lahirnya UU MD3 tentang MPR, DPR,DPD, DPRD yang merupakan manuver politik tentu untuk kepentingan KMP pendukung Prabowo-Hatta.

Lalu ada kasus Komjen Budi Gunawan, disusul kemudian Dana Aspirasi, kenaikan gaji anggota DPR, wacana mega proyek gedung baru DPR RI. Jokowi juga berhasil menepis tuduhan bahwa dia bukan kader PDI- P, tidak mengerti ajaran Soekarno, tidak paham TRI SAKTI dll.Yang   menjadi tanda tanya adalah kritik-kritik sarkasme justru dipandegani oleh oleh tokoh-tokoh pengusung Jokowi.

Pemenang tapi tidak berdaulat

Satu tahun menjabat sebagai Presiden tantangan yang dihadapi Jokowi semakin luas membentang. Joko Widodo dan Jusuf Kala memang telah memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden sebagai peraih suara terbanyak. Jokowi-JK memperoleh suara 70.9976.65 suara atau 53,15 persen dan hanya terpaut 8.421.389 suara dari pasangan Prabowo-Hatta Rajasa yang meraih 62.576.444 suara (46,85%). Komisi Pemilihan Umum 27 Juli 2014 menetapkan pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Pemenang Pemilu Presiden 2014. Kemenangan Capres dan Cawapres tentu saja disambut dengan super heboh dan penuh sukacita oleh masyarakat pendukungnya.

Begitu pun ketika Jokowi dan JK dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden, 20 Oktober 2014. Masyarakat menyamput pelantikan Presiden dan Wakil Presiden baru itu dengan suka cita.   Rakyat yang “merasa memenangkan” Jokowi dan JK menaruh harapan besar akan terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik. Disamping harapan bahwa Jokowi akan menjadi Presiden yang berkedaulatan, bukan seorang Presiden yang berada di bawah kendali partai pengusung.

Namun dalam perjalanan satu tahun memimpin NKRI Jokowi harus menghadapi tekanan, tantangan, tentangan nintrukintrik politik yang bertubi-tubi seperti disebut di atas , Kalau saja tekanan tersebut dari eksternal ndak masalah. Akan tetapi konyolnya serangan dan tekanan itu justru ad yang berasal dari kalangan internal dan politikus partai pengusung . Politisi-politisi PDIP yang ada di DPR. Bahkan beberapa menteri pun ikut-ikutan mengecam, mengkritik kebijakan, program Jokowi yang nota bene Presidennya. Dari internal PDI-P sedikitnya terdapat 3 politisi yang sangat intens melontarkan kritik , mengecam dan mencerca Jokowi . Sebut saja Rieke Diyah Pitaloka, Effendi Simbolon dan Masinton Pasaribu.

Saat sedang marak demonstrasi buruh menuntut kenaikkan upah , Rieke malah menyudutkan Presiden dengan pernyatan - pernyataan nyiyir dengan mengatakan bahwa dirinya menyesal telah menganjurkan buruh untuk memilih Jokowi pada Pilpres 2014. Di DPR koalisi partai pengusung Jokowi-JK yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH-PDIP, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hanura) yang jika digabung suaranya memenangi Pemilu Legislatif ternyata tidak berdaya menghadapi manuver-manuver politik Koalisi Merah Putih (KMP-Golkar, Gerindra, PAN, PKS, Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Indonesia ) .

KIH tampaknya tidak mempunyai politikus petarung yang hebat sehingga ketika menghadapi manuver manuver politik yang dilakukan KMP untuk “menguasai posisi-posisi strategis” KIH benar - benar keteteran. Padahal manuver KMP tersebut jelas-jelas jauh sekali dari produktif karena manuver itu hanyalah sebuah rekayasa politik untuk keuntungan KMP belaka ketimbang untuk merubah sistem politik yang lebih aspiratif guna kepentingan rakyat Indnesia.

“Pertanyannya apakah Jokowi berdaulat atas dirinya sendiri dengan munculnya isu dari Senayan kedua kalinya tentang Revisi KPK misalnya. Lalu paling mutakhir mencul isu akan masuknya orang PartaiAmanat Nasional /PAN ke dalam Kabinet Jokowi yang ditentang Nasdem. Untuk melaksanakan TRI SAKTI yang inti dasarnya adalah BERDAULAT/KEDAULATAN . Ia sebagai seorang Presiden sudah barang tentu harus bisa menunjukkan bahwa ia betul-betul seorang Presiden BERDAULAT karena ia adalah Presiden segenap Bangsa Indonesia. Bukan sekedar PETUGAS PARTAI . Lalu apakah TRI SAKTI saja tidaklah cukup. Apa harus diubah menjadi CATUR SAKTI dengan menambah satu ke saktian lagi yakni BERDAULAT SEBAGAI PRESIDEN yang harus diperjuangkan. (hindharyoen nts, jurnalis) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun