*catatan: menanggapi masukan dari Mas Nawir (lihat komentar), kolega Kompasiana @masnawir7439, tulisan ini telah mengalami perubahan dan koreksi dari tulisan 3 hari yang lalu. Perubahan yang mendasar berkenaan dengan rujukan pada satu kasus tertentu yang terjadi di masyarakat. Jika sebelumnya analisa menarik benang merah dari aksi beberapa ormas bernuansa keagamaan, termasuk aksi turunannya dari gerakan kelompok sosial dengan instrumen moral, maka kini ruang lingkup analisa diperkecil ke aksi turunan tersebut. Lebih jelasnya, tulisan ini berangkat dari analisa aksi dari gerakan Indonesia Tanpa Pacaran.
Mencermati pernyataan dalam wawancara BBC dengan pendiri Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran yang menjadi ramai di media sosial beberapa hari yang lalu, mengenai menikah di bawah umur bila merujuk pada UU No. 16/2019 (https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/122740/uu-no-16-tahun-2019).
Namun di sini akan dianalisa narasi gerakannya. Narasinya menunjukan kemungkinan yang berangkat dari kecemburuan (sosial). Maksudnya membandingkan yang dimiliki orang lain tapi tidak dimiliki oleh diri sendiri, membandingkan apa yang orang lain mampu tapi tidak mampu dilakukan oleh diri sendiri.
Perasaan cemburu sesungguhnya bukan keganjilan dalam diri manusia, rasa ini sudah dipelajari sejak lahir oleh setiap manusia. Dorongan utamanya adalah rasa nyaman, dan dalam pengertian freudian rasa ini bertumpu pada seksualitas.
Meninjau isu sosial yang berkenaan dengan seksualitas selalu menjadi perkara dengan sensitivitas tinggi. Apalagi bila perkara ini sudah bersinggungan dengan keagamaan. Perkaranya akan masuk ke dalam ranah yang memisahkan antara “suci - tidak suci”.
Adalah kenyataan, bahwa seksualitas sudah melekat pada fisik dan mental manusia sejak lahir.
Bersamanya berjalan fungsi sosial dari spesies manusia. Pacaran sendiri didasari dari ketertarikan kepada orang lain. Meski tidak selalu berujung dengan ‘jadian’, tapi tidak dapat dipungkiri, bahwa ketertarikan kepada orang lain kemudian mendorong usaha untuk memenuhi syarat menjadi manusia sukses, agar dikenal dan mengenal lebih banyak orang. Agar manusia berusaha berprestasi, lalu menjadi terpandang dalam masyarakatnya. Seluruhnya, sedikit banyak, ada urusannya dengan hasrat yang satu ini.
[...] bukan untuk dilepas begitu saja, agar mencari 'pemenuhan kebutuhan' dengan mengikuti insting sebebas-bebasnya. [...]
Dengan kata lain, seksualitas tidak terbatas sebagai hasrat pemenuhan fungsi reproduksi manusia, seperti yang dikhawatirkan lebih dini terjadi karena pacaran. Juga, memang di sini tidak didiskusikan fungsi reproduksi manusia, melainkan konsekuensi kejiwaan dari pengingkarannya sebagai fitrah manusia.
Tentu saja keberadaannya dalam diri manusia bukan untuk dilepas begitu saja, agar mencari 'pemenuhan kebutuhan' dengan mengikuti insting sebebas-bebasnya. Hanya saja, pada saat hasrat ini diingkari keberadaanya, ia dapat mendorong berkembangnya masalah sosial.
Saat ini baru mengkomunikasikan keberadaannya pada fisik dan mental manusia (bukan mengkomunikasikan detail 'praktekannya'!) sudah sering terganjal oleh persepsi yang berkembang dengan dasar tabu atau kesusilaan.
Tabu atau kesusilaan sendiri adalah konstitusi sosial, pemisah antara suci dan tidak suci. Sementara itu seksualitas terus tumbuh dalam diri manusia beserta seluruh 'panggilan alamnya'.
Usaha pengingkarannya sering kali didapati berazas 'menjauhkan setiap manusia dari kedewasaan', terutama bila latar-belakang pemikirannya adalah menjaga kesucian. Kelihatannya yang menjadi patokan adalah menjaga keadaan seperti 'anak kecil yang belum berdosa'.
Seperti halnya perilaku negatif anak-anak akan lebih sering disebut kenakalan, dan bukan kejahatan. Jadi, pengertian dari azas pengingkaran di atas adalah membatasi perkembangan mental manusia hanya sampai pada tahap perkembangan mental anak-anak.
Tahap di mana manusia dianggap belum cukup umur dan akal untuk bertanggung-jawab.
Pembatasan perkembangan mental ini mengembalikan jiwa manusia ke saat di mana pangkuan ibu menjadi sumber utama dari rasa aman dan nyaman. Kembali ke situasi di mana rasa cemburu lebih dominan daripada akal, seperti pada perasaan balita yang tidak ingin sedikitpun berbagi ibunya dengan orang lain.
Bagi manusia dewasa rasa aman dan nyaman tersebut idealnya sudah datang dari kesejahteraan atau kemakmuran. Dengan mencapainya seorang manusia dipandang telah mampu untuk bertanggung-jawab atas manusia(-manusia) lain.
Jalan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran akan terbuka lebih lebar dengan kedewasaan bersikap dalam bentuk kemampuan membawa diri -- kecakapan bermasyarakat. Kecakapan ini berbasis pada rasa percaya pada diri sendiri.
Rasa ini membuat orang merasa leluasa berkomunikasi lebih luas sekalipun di luar lingkungannya.
[...], rasa malu ini lebih menjadi belenggu mental daripada membentuk benteng moral.
Sebaliknya pengingkaran terhadap 'kedewasaan' mampu mencetuskan rasa malu yang berlebihan. Sampai-sampai orang merasa perlu menyembunyikan dan menutup diri semaksimal mungkin, hingga tidak dapat dikenali lagi.
Diawali oleh keresahan dari rasa tidak nyaman, karena disadari, bahwa dalam jiwa dan tubuhnya berkembang dan tumbuh 'kelebihan' tanpa bisa dihindari. 'Kelebihan' yang hanya disadari sebagai perbedaan jenis kelamin, yaitu sebagai kemungkinan manusia untuk berdosa, kotor -- tidak suci.
Keresahan akan ke-tidak-suci-an ini akan berlebihan saat orang tidak menemukan jalan keluar untuk mengkomunikasikannya agar mendapat feedback, yakni bagaimana menghadapinya dengan cara yang sehat. Lebih penting lagi adalah mengetahui, bahwa tumbuhnya 'kelebihan' pada dan dalam dirinya bersifat alami, dan dia bukan satu-satunya orang yang mengalaminya.
Namun bila dibiarkan berlarut-larut, rasa malu ini lebih menjadi belenggu mental daripada membentuk benteng moral. Belenggu yang membuat orang terus melihat dirinya hina. Orang kemudian akan lebih membatasi komunikasi dengan lingkungan luar, hingga pandangan dunianya nanti hanya akan seluas itu.
Di kemudian hari salah satu konsekuensi terbesarnya adalah kans untuk meraih rejeki, yang mana akan cenderung lebih rendah dibandingkan kans pada mereka yang tidak punya masalah dengan dirinya sendiri. Mereka yang percaya diri untuk menjalin komunikasi dengan banyak kalangan di luar lingkungannya sendiri.
Dalam bermasyarakat cepat atau lambat orang akan berkenalan dengan idealisasi dan penilaian umum mengenai gambaran manusia sukses, juga sekaligus mendapat perbandingan bagaimana golongan manusia tidak sukses. Gambaran ini tidak akan pernah dapat dihadang dengan membatasi lingkungan komunikasi, dan ini lumrah dalam hidup bermasyarakat.
[...] pengingkaran 'kedewasaan' tidak lebih dari pemungkiran kodrat manusia sebagai mahluk berakal, [...]
Kini gambaran ideal ini bahkan lebih cepat lagi menjadi persepsi lintas golongan masyarakat. Distribusinya lewat media sosial membuatnya lintas ruang sosial dalam hitungan detik.
Masalahnya kemudian timbul saat sempitnya lingkungan komunikasi ikut menutup jalan menuju kesejahteraan setelah jenjang pernikahan. Tanpa kesibukan rutin seperti bekerja atau mencari nafkah sebagai tanggung-jawab terhadap keluarganya, orang akan lebih banyak waktu untuk berandai-andai tentang keadaan yang tidak ia miliki.
Daripada memberanikan diri keluar dari lingkungan sempit untuk menjemput bola, dalam keadaan ini kebanyakan orang cenderung cukup puas dengan mengomentari rumput tetangga yang akan selalu lebih hijau. Pilihan ini sangat cenderung didasari oleh pilihan di masa mudanya, yang melalui anti pacaran mengurangi kesempatan membawa diri untuk berkenalan dengan lebih banyak orang, karena ketakutan akan kemungkinan dikecewakan atau juga takut berdosa.
Pada akhirnya pengingkaran ‘kedewasaan’ tidak lebih dari pemungkiran kodrat manusia sebagai mahluk berakal, dengan mengkerdilkan seksualitas hanya sebagai pemenuhan fungsi reproduksi seperti halnya pada dunia fauna. Sehingga manusia tidak punya pengetahuan dan pengalaman belajar mengontrol dirinya sediri.
[...] tapi punah sebagai homo sapiens, mahluk yang berakal.
Selain itu, bangsa Indonesia sendiri adalah bagian dari masyarakat dunia, tidak mungkin bila nantinya setiap manusia Indonesia akhirnya hanya menilai bangsa lain dengan seberapa besar kemungkinan mereka untuk melakukan hubungan badan.
Resiko yang mungkin akan dihadapi lewat pembatasan sosial seperti ini adalah rendahnya pembauran sosial dan pluralisme dalam bermasyarakat. Paling tidak, keinginan untuk saling mengenal akan banyak hilang di antara sesama manusia, mahluk sosial yang kodrat hidupnya berdampingan satu sama lain.
Atau mungkin juga kepunahan manusia. Bukan punah keberadaannya di atas bumi, tapi punah sebagai homo sapiens, sebagai mahluk yang berakal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI