Mohon tunggu...
Matrimony Lesmana
Matrimony Lesmana Mohon Tunggu... Tukang Sosiologi Budaya

dengan ikhlas dan senang hati menyerukan bahwa perbedaan sosial budaya sama sekali bukan alasan pemisahan masyarakat;

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nyinyir, Hantu Kolonial Itu Masih Gentayangan

1 April 2020   08:30 Diperbarui: 3 April 2020   14:10 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: www. kompas.com)

Sepekan belakangan ini, saat di satu sisi kebanyakan orang sekuat tenaga dan pikiran melawan wabah Covid-19, di sisi lain mulai ramai lagi usaha verbal untuk ‘menyetir’ pandangan orang banyak lewat media sosial. Usaha ini, di satu sisi, dikenal sebagai nyinyir.

Tapi tidak jarang, kalau pihak pertama akan menyatakan, bahwa perbuatannya itu adalah kritik.  Dasarnya adalah kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Sementara pihak lain merasa, bahwa yang diterimanya bukan hal yang konstruktif dan lebih berupa nyinyiran.

Buntutnya, masyarakat luas sebagai pihak ketiga harus terombang-ambing, resah mencari kebenaran di antara kritik dan nyinyiran. Terutama bila sosialisasi perbedaan pendapat ini ditujukan pada para pengambil keputusan - pemerintah.

Tulisan kali ini diinspirasi oleh makalah sosiologi psikologis dari Mike Sosteric dan Gina R., dengan judul "Toxic Socialization". Dengannya, tulisan ini mencoba mengajak untuk melemparkan selayang pandang, sejauh mana sebuah perbedaan pendapat bisa disebut kritik atau dapat digolongkan sebagai nyinyiran.

Dalam ulasan ini, pihak-pihak yang terlibat tidak dibedakan menjadi dua pihak yang berseteru. Di sini akan ada pihak ketiga, yaitu masyarakat luas, dengan perilaku keberpihakan yang dinamis, yaitu bergerak di antara pihak pertama dan kedua.

Kemungkinan besar pola dari aksi nyinyir ini dimungkinkan oleh tatanan masyarakat yang pembentukannya merujuk ke masa kolonial. Masa di mana sebagian besar masyarakat bangsa ini kala itu mulai bersentuhan dengan pemahaman kesetaraan dari Revolusi Perancis.

[...], mungkin bangsa ini tidak akan saling menyerang satu sama lain selama tiga setengah abad lamanya.

Pemahaman itu menyerukan, bahwa status sosial sebagai rakyat biasa bukan takdir yang tak dapat berubah. Namun pada saat itu masyarakat Nusantara sekaligus terpaksa menerima kenyataan, bahwa sebagai orang jajahan mereka tidak punya andil apapun dalam kekuasaan.

Masyarakat Nusantara saat itu sebagian besar adalah masyarakat petani. Di dalam masyarakat ini tatanan sosialnya sangat hirarkis dan cenderung konservatif (Lombard 2000: Hal. 58ff). Politik kolonialisme, dengan merangkul kaum bangsawan, kemudian mempertegas tatanan ini dengan nuansa feodal.

Mereka yang ditinggikan lebih dari sesamanya karena penguasaan atas tanah perkebunan beserta rakyat penggarapnya. Unit ini sangat sentral dalam industri pertanian kolonial.

Tapi bila seorang non-bangsawan mendapat kesempatan yang sama, diposisikan dekat dengan bangsa Eropa, akan dianggap sebagai perkembangan yang tidak diharapkan. Terutama oleh sesamanya, kaum non-bangsawan. Suasana ini salah satunya digambarkan dalam sebuah adegan di filem Oeroeg - adaptasi roman karya Hella S. Haasse dengan judul yang sama.

Dalam adegan itu Oeroeg, anak asisten rumah tangga tapi berkesempatan mencicipi bangku sekolah, berbahasa Belanda waktu memesankan sate ayam untuk temannya orang Belanda di pasar malam. Abdullah, si penjual sate yang juga temannya tidak terima hingga mereka terlibat pertengkaran mulut. Pada akhir pertengkaran Abdullah mencemooh Oeroeg untuk mengkapur seluruh badannya agar sekaligus menjadi ‘kulit putih’.

Terlepas dari kenyataan lain bahwa tidak semua cemoohan bertujuan menjatuhkan, perilaku ini sedikit banyak dikaji dan dijadikan instrumen untuk membawa keuntungan bagi kolonisator. Jika tidak, mungkin bangsa ini tidak akan saling menyerang satu sama lain selama tiga setengah abad lamanya.

Masyarakat saat itu namapk jelas sudah ‘disetir’ dengan politik promosi dan degradasi, agar memuncak rasa cemburu dan kemudian saling merendahkan. Sedikit saja satu pihak 'naik derajat, yang lain sudah siap ‘menariknya’ turun kembali.

Bedanya serangan verbal di sini, bukan lagi ungkapan rasa tidak suka seperti cemoohan Abdullah di filem Oeroeg, melainkan bisikan sosialisasi ketidak-sukaan satu pihak terhadap pihak lain hingga masyarakat luas (pihak ketiga) menerimanya sebagai hal yang masuk akal (Nassehi 2011: Hal. 167). Bentuk lain dari sosialisasi ini berupa penilaian yang melecehkan atau tuntutan berlebihan, seperti dibahas dalam makalah "Toxic Socialization".

Jelas sekarang, bahwa serangan verbal ini bukan kritik, tapi sudah dapat digolongkan sebagai nyinyiran.

[…], konstruksi ketidaksetaraan sosial cenderung stabil, yang berganti-ganti adalah orang-orang di dalamnya.

Dengan toxic socialization, yang ingin dilumpuhkan adalah kemampuan untuk membuka dan percaya diri, mempertahankan batas-batas sosial, termasuk kemampuan untuk mempercayai orang lain. Makanya tidak aneh bila masyarakat, dengan kaum elit berkarakter semacam ini, akan terus dihantui perpecahan.

Masa kini siapapun bisa mengangkat dirinya sendiri di dalam masyarakat tanpa harus terlahir sebagai bangsawan, sama halnya di wilayah politik. Dalam demokrasi yang sehat, siapapun bila dipercaya berhak punya posisi. Sekarang pergerakan orang untuk naik-turun status sosial sudah sangat dinamis. 

Meskipun demikian ada satu peta kemasyarakatan yang bersifat tetap yaitu ketidaksetaraan sosial, di mana orang dipandang lewat status sosial keluarganya, latar belakang budaya atau juga gaya hidupnya (Nassehi 2011: Hal. 167). Maksudnya, konstruksi ketidaksetaraan sosial cenderung stabil, yang berganti-ganti adalah orang-orang di dalamnya.

Namun dengan skema ketidaksetaraan sosial ini, juga tetap terbuka kemungkinan, bahwa orang 'dinaik-turunkan’ derajat sosialnya. Salah lewat toxic socialization - nyinyiran. Aksi nyinyir ini terlihat seolah menyerang langsung ke satu pihak, namun seperti diterangkan di atas, yang diincar justru persepsi pihak ke tiga yaitu masyarakat luas.

Sebagai contoh (fiktif), anak seorang kuli bangunan berhasil meraih kepercayaan orang banyak untuk mengatur wilayah atau lingkungannya. Niat untuk ‘menurunkan’ citranya dalam pandangan masyarakat luas dapat disebar-luaskan dengan narasi yang mengangkat wilayah ‘kepantasan’.

Cerita anak kuli bangunan yang kini sudah tidak tahu diri ‘berani perintah-perintah’ akan diletakkan di depan latar norma dan tata krama, sehingga persepsi masyarakat akan berbunyi ‘kacang lupa kulit’.

(sumber: www.kompas.com)
(sumber: www.kompas.com)

Akan lebih ramai dan efektif bila nyinyir dijalankan pada golongan masyarakat dengan jumlah anggota masyarakatnya tinggi. Jelasnya, di mana rasa senasib sepenanggungan, atau solidaritas lebih kental.

Di dalam masyarakat ini satu orang saja mendapat kemakmuran lebih, ia bisa dengan mudah dihadapkan dengan nyinyiran bernuansa pelanggaran tepa salira. Tuntutan yang berlebihan, terutama bisa kemakmuran itu hasil jerih payah sendiri.

Sekali lagi, nyinyir sama sekali tidak sama dengan kritik.

Nyinyiran akan selalu sering terdengar seperti mekanisme menjaga keutuhan kelompok, tapi tujuan utamanya cenderung menyulut perseteruan horizontal - antar sesama warga. Sejak masa kolonial aksi ini digunakan agar orang sebangsa saling menyerang, supaya tidak punya waktu untuk memikirkan ide memajukan diri sendiri dan bangsanya. Dan kelihatannya hingga kini masih terus menghantui.

Dari masyarakat semacam ini seluruh orang satu negeri akan dirugikan. Seperti selama tiga ratus lima puluh tahun, orang lebih sibuk berebut menjadi arang, dan sisanya suka rela menjadi abu.

Referensi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun