Mohon tunggu...
Matrimony Lesmana
Matrimony Lesmana Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tukang Sosiologi Budaya

dengan ikhlas dan senang hati menyerukan bahwa perbedaan sosial budaya sama sekali bukan alasan pemisahan masyarakat;

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sistem Pemerintahan NKRI dan Relevansinya Hadapi Wabah Covid-19

23 Maret 2020   08:30 Diperbarui: 23 Maret 2020   10:54 2302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: kompas.com)

Sore itu Senin tanggal 16 Maret 2020 WIB, dari Istana Bogor Kepala Negara Ir. Joko Widodo memberikan keterangan persnya di depan wartawan. Dalam keterangan pers tersebut dinyatakan, bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia diputuskan tidak mengambil kebijakan lockdown.

Hari itu juga pukul 18 GMT+1, dari Berlin Kanselir Jerman DR. Angela Merkel melalui keterangan persnya menyatakan, bahwa Republik Federal Jerman (selanjutnya disebut RFJ) juga mengambil keputusan senada dan diberlakukan pembatasan-pembatasan dengan azas (direkte) Kontakte zu minimieren - meminimalisir kontak (sosial langsung). 

Ia terus menghimbau lewat media massa merujuk perkembangan jumlah warganya yang terinfeksi dan mempertimbangkan saran dari instansi terkait mengenai wabah, seperti Robert Koch-Institut.

Bersamaan dengan itu pemerintah RFJ terus berkoordinasi bersama Kepala Negara Bagian, hingga diberlakukannya kebijakan pembatasan keluar rumah di Negara Bagian Bavaria mulai Sabtu kemarin.

Sementara itu di tanah air sudah diumumkan Status Darurat Bencana sebagai tanggapan pemerintah menghadapi penyebaran virus yang mematikan dan belum ditemukan obatnya ini. Jika masyarakat bereaksi di luar kebiasaan bukan perilaku yang tidak wajar; Dalam keadaan terancam kebanyakan manusia secara alami akan mengikuti naluri untuk mempertahankan diri.

Di samping tentunya perilaku menimbun persediaan barang-barang yang dianggap paling mendasar untuk dipenuhi demi kelangsungan hidup. Dalam kasus wabah COVID-19 warga negara manapun akan terus memantau kesiapan pemerintahnya untuk mengukur sejauh mana dirinya terjamin keselamatannya. 

[...] keinginan-keinginan manusia.

Dalam keadaan darurat seperti sekarang ini, kesimpang-siuran informasi mengenai jaminan keselematan dari pemerintah sangat mungkin berlipat dampaknya pada kepercayaan. Dan jikalau tidak ditanggapi dengan koordinasi yang baik, orang akan mulai mempertanyakan kesanggupan pemerintahnya untuk menghadapi status darurat ini.

Bila perkembangannya berlanjut seperti yang diutarakan di atas, pada dasarnya, akan terbuka ruang bagi satu pihak untuk menekan terhadap pihak lain - seperti juga untuk menekan pemerintah.

Maka di samping terus berkomunikasi dengan warganya, pemerintah satu negara harus lebih aktif mengambil kebijakan untuk meringankan beban fisik dan terutama mental warganya, dan bahwa rakyat sedikit-banyaknya akan merasakan kehadiran pemerintah.

Saat ini adalah masa yang sensitif, karenanya setiap hal yang disampaikan harus satu kata dan satu nuansa. Untuk itu hubungan antara pusat dan daerah harus terkoordinir dengan baik.

Lalu apa kendalanya yang cenderung akan sering dihadapi? Tak lain dan tak bukan adalah keinginan-keinginan manusia.

Keinginan ini tidak pernah tunggal. Mereka tidak seragam dan tidak pernah bisa permanen disatukan. Lalu kalau dalam konteks pemerintahan, bagaimana bentuk koordinasi keinginan-keinginan ini di segmen pengambil keputusan.

Untuk lebih mendapatkan kontras ulasan dalam tulisan ini akan membandingkan antara sistem pemerintahan berwawasan NKRI dengan sistem pemerintahan federal. Sebagai contoh diambil Republik Federal Jerman. Dan latarbelakangnya adalah kebijakan, dengan merujuk pada isu aktual yaitu penanganan COVID-19.

Berbeda dengan sistem federal Jerman, kepala eksekutif mulai dari Kepala Pemerintahan, Presiden (RJF; Kanselir), hingga Kepala Daerah Tingkat Satu (RFJ; Kepala Negara Bagian) pada sistem pemerintahan NKRI dipilih langsung oleh rakyat.

Perbedaan paling jelas dengan RFJ ada pada wewenang Pemerintah Negara Bagian. Ia berwewenang menentukan kebijakan sendiri, dalam hal ini di bidang keamanan dalam negeri (www.tatsachen-ueber-deutschland.de).

[...] tinggi-rendahnya posisi sosial  menentukan konsekuensi terhadap akses sosial politik. [...]

Sekarang mari asumsikan, bahwa sistem federal ini berlaku di Indonesia, dan dengan kenyataan, bahwa setiap manusia mempunyai keinginan-keinginan, tidak terkecuali para pengambil keputusan.

Maka, kemungkinan untuk terjadinya kesimpang-siuran kebijakan sekaligus informasinya dapat dipastikan akan sangat besar.

Untuk itu perlu dikenali, keinginan-keinginan mana dari pengambil keputusan yang berpotensi menjadi faktor kesimpang-siuran ini. Salah satunya adalah aksi/ operasi yang paling sering digunakan dalam politik untuk mengangkat sebuah skema yang selalu trend di dalam ilmu kemasyarakatan, yaitu ketidaksetaraan sosial.

Ketidaksetaraan yang dimaksud di sini, hanya bila tinggi-rendahnya posisi sosial  menentukan konsekuensi terhadap akses sosial politik. Ketidaksetaraan sosial mempunyai skema yang begitu dinamis, tidak terkecuali di dunia politik hingga bisa dan bahkan lebih sering ‘dikoordinir’, agar tercapai ketidaksetaraan tertentu.

Ia lebih sering dijalankan dengan cara “membuat pihak lain dipandang oleh orang banyak lebih buruk dari pada pihak sendiri”. Bila ‘kritik’ yang dilontarkan sudah selalu bernuansa moral dan sasarannya adalah pihak pelaku aksi lebih daripada aksinya, maka bisa disinyalir motivnya mengarah pada usaha untuk mendegradasi popularitas pihak lain. Usaha ini bermuara pada berkurangnya kepercayaan massa pada pihak terkritik.

Bila mengkritik pelaku aksi lebih ditempuh, memang karena tawaran kemudahannya. Bandingkan dengan kritik terhadap aksi atau kebijakan, yang sangat mensyaratkan analisa mendalam dan menyeluruh.

Di sini, suka atau tidak, orang harus membandingkan “yang terjadi” (Sein) dengan “konsep ideal” (Sollen). Dikotomi ini juga cenderung mendorong orang untuk mencari solusi agar selisih keduanya tidak terlalu jauh.

Sedikit saja meleset di sini karena minimnya data dan kurangnya analisa bisa menjadi serangan balik dengan membuka ruang untuk dicemooh oleh banyak orang. Seperti kata pepatah “buruk muka, cermin dibelah”.

[...] bukan diseragamkan tapi disatukan.

Lalu kenapa cara-cara di atas tidak populer di sistem federal? Jelasnya kebanyakan masyarakat dengan pemerintahan sistem federal punya etika berpolitik yang berbeda.

Terutama di segmen pengambil keputusan berlaku konsensus pemahaman ruang sosial dan etika bernegara. Sehingga setiap perseteruan politik sebagian besar terkonsentrasi pada ‘perang’ analisa dan solusi.

Sekarang bila diasumsikan, bahwa pemahaman ruang sosial dan etika bernegara minim, selanjutnya bagaimana dengan kelangsungan pemerintahan di Indonesia? Mudah-mudahan dengan perbandingan di atas bisa lebih dipahami, bahwa bukan kebetulan konsep pemerintahannya berwawasan atau berkonsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana persatuan serta musyawarah-mufakat bersama akan selalu diutamakan.

Seperti halnya menghadapi wabah COVID-19 kali ini. Setiap Kepala Pemerintahan Daerah tentunya mempunyai sudut pandang sendiri-sendiri sebagai dasar dari kebijakan dalam menghadapi wabah global ini.

Lumrah demikian, karena merekalah yang lebih mengetahui medan. Darinya akan ada banyak perbedaan kebijakan ditemui. Koordinasinya bukan diseragamkan tapi disatukan, agar tidak terlalu jauh lepas dari tujuan negara karena keinginan-keinginan manusia.

#BersatuLawanCovid19 #IndonesiaJaya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun