Lalu apa kendalanya yang cenderung akan sering dihadapi? Tak lain dan tak bukan adalah keinginan-keinginan manusia.
Keinginan ini tidak pernah tunggal. Mereka tidak seragam dan tidak pernah bisa permanen disatukan. Lalu kalau dalam konteks pemerintahan, bagaimana bentuk koordinasi keinginan-keinginan ini di segmen pengambil keputusan.
Untuk lebih mendapatkan kontras ulasan dalam tulisan ini akan membandingkan antara sistem pemerintahan berwawasan NKRI dengan sistem pemerintahan federal. Sebagai contoh diambil Republik Federal Jerman. Dan latarbelakangnya adalah kebijakan, dengan merujuk pada isu aktual yaitu penanganan COVID-19.
Berbeda dengan sistem federal Jerman, kepala eksekutif mulai dari Kepala Pemerintahan, Presiden (RJF; Kanselir), hingga Kepala Daerah Tingkat Satu (RFJ; Kepala Negara Bagian) pada sistem pemerintahan NKRI dipilih langsung oleh rakyat.
Perbedaan paling jelas dengan RFJ ada pada wewenang Pemerintah Negara Bagian. Ia berwewenang menentukan kebijakan sendiri, dalam hal ini di bidang keamanan dalam negeri (www.tatsachen-ueber-deutschland.de).
[...] tinggi-rendahnya posisi sosial menentukan konsekuensi terhadap akses sosial politik. [...]
Sekarang mari asumsikan, bahwa sistem federal ini berlaku di Indonesia, dan dengan kenyataan, bahwa setiap manusia mempunyai keinginan-keinginan, tidak terkecuali para pengambil keputusan.
Maka, kemungkinan untuk terjadinya kesimpang-siuran kebijakan sekaligus informasinya dapat dipastikan akan sangat besar.
Untuk itu perlu dikenali, keinginan-keinginan mana dari pengambil keputusan yang berpotensi menjadi faktor kesimpang-siuran ini. Salah satunya adalah aksi/ operasi yang paling sering digunakan dalam politik untuk mengangkat sebuah skema yang selalu trend di dalam ilmu kemasyarakatan, yaitu ketidaksetaraan sosial.
Ketidaksetaraan yang dimaksud di sini, hanya bila tinggi-rendahnya posisi sosial menentukan konsekuensi terhadap akses sosial politik. Ketidaksetaraan sosial mempunyai skema yang begitu dinamis, tidak terkecuali di dunia politik hingga bisa dan bahkan lebih sering ‘dikoordinir’, agar tercapai ketidaksetaraan tertentu.
Ia lebih sering dijalankan dengan cara “membuat pihak lain dipandang oleh orang banyak lebih buruk dari pada pihak sendiri”. Bila ‘kritik’ yang dilontarkan sudah selalu bernuansa moral dan sasarannya adalah pihak pelaku aksi lebih daripada aksinya, maka bisa disinyalir motivnya mengarah pada usaha untuk mendegradasi popularitas pihak lain. Usaha ini bermuara pada berkurangnya kepercayaan massa pada pihak terkritik.