Mohon tunggu...
Matrimony Lesmana
Matrimony Lesmana Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tukang Sosiologi Budaya

dengan ikhlas dan senang hati menyerukan bahwa perbedaan sosial budaya sama sekali bukan alasan pemisahan masyarakat;

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kerbau Pergi Kubangan Tinggal, Hukum Tanah Adat Minangkabau

13 Maret 2020   09:28 Diperbarui: 15 Maret 2020   21:46 2221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(tembok sebuah sumur di Nagari Salayo, bertuliskan aksara Arab "selamat dipakai mandi' dengan tanggal 7 Juni 1918/ dokumentasi pribadi)

Ada satu negeri di mana hukum di masyarakat diungkapkan dengan bahasa tinggi, yaitu dengan pepatah. Di negeri ini silsilah keluarga diturunkan melalui garis keturunan ibu - matrilineal. Masyarakat di negeri ini tercatat sebagai masyarakat matrilineal terbesar di dunia. Negeri ini disebut orang dengan nama Minangkabau.

Secara adminsitratif sebagian besar negeri ini berada di dalam propinsi Sumatera Barat. Tapi luas dan penyebaran budayanya melebihi batas propinsi tersebut, bahkan hingga ke negeri jiran Malaysia, tepatnya ke Negeri Sembilan. Wajar demikian, karena tradisi warga Minangkabau, terutama kaum pria, untuk merantau keluar kampung halamannnya.

Dalam hal kepemilikan harta benda, seperti rumah dan tanah, budaya Alam Minangkabau mempunyai hukum yang berbeda dengan kebanyakan adat-istiadat di daerah lain di Indonesia. Seperti disebut di atas, bahwa silsilah adalah turunan garis keturunan ibu, dan demikianlah juga hukum pindah hak melalui waris senada dengannya, yaitu diturunkan lewat ibu kepada anak perempuannya. Bila satu keluarga tidak memiliki anak perempuan, maka akan diturunkan kepada kemenakan perempuan dari saudari kandung.

Tapi ada kalanya situasi mendorong perpindahan hak, terutama hak atas tanah. Ada satu dasar hukum adat yang berkenaan dengan urusan perpindahan hak tanah, hukum itu berbunyi "kabau pai kubangan tingga" - kerbau pergi kubangan tinggal.

Berikut ringkasan dari hasil penelitian lapangan pada tahun 2007. Penelitian ini dilakukan di sebuah ranah rantau bernama Kubuang Tigo Baleh, tepatnya di Nagari Solok, Salayo, Gantuang Ciri dan Panyakalan, dan dua nagari di luar ranah ini yaitu Nagari Gauang dan Koto Baru.

Penelitian ini kebetulan bertemakan ketahanan adat terhadap pemekaran atau pembangunan perkotaan lewat kebijakan adat mengenai penggunaan hak atas tanah kaum. Metode penelitian yang digunakan adalah wawancara kualitatif pada segmen pengambil keputusan, seperti penghulu, wali nagari dan anggota dewan Kerapatan Adat Nagari.

Sedikit menyinggung nama ranah Kubuang Tigo Baleh. Menurut cerita sesepuh dan pemuka-pemuka adat yang diwawancarai nama ranah ini berasal dari perintah raja Pagaruyung untuk mengusir tiga belas datuk. Mereka pada saat itu tidak mau tunduk pada politik feodal kerajaan. Maka raja berkata, "ku buang tigo baleh (datuk-datuk ini)", artinya aku usir tiga belas orang datuk-datuk ini.

Dengan pengusiran ini pergilah ke tiga belas datuk ini keluar wilayah darek dengan gunung Talang sebagai patokan. Rombongan mereka berhenti di satu daerah landai setelah melewati danau Singkarak dan menetap di sana. Daerah tersebut kemungkinan besar Kota dan Kabupaten Solok sekarang. Sayangnya, sementara ini belum dapat ditentukan dengan pasti kapan pengusiran ini terjadi, atau siapa raja Pagaruyung yang berkuasa saat itu.

"Kabau Pai Kubangan Tingga"

Kembali ke hukum tanah adat kabau pai kubangan tingga. Pepatah ini bermakna: kerbau mana saja bisa datang dan menggunakan sebuah kubangan, tapi setelah selesai diggunakan kubangan tadi tidak bisa ikut dibawa-bawa.

Pertama jelas di sini, bahwa tidak terdapat kemungkinan secara adat untuk memonopoli penggunaan tanah kaum oleh satu individu. Singkatnya pindah hak dengan cara membeli secara adat sudah tidak dimungkinkan. Tanah yang dapat dijual adalah tanah bersertifikat. Dan tanah kaum adat bersertifikat pada waktu itu disebut-sebut menjadi sumber utama sengketa tanah di dalam keluarga.

(tembok sebuah sumur di Nagari Salayo, bertuliskan aksara Arab
(tembok sebuah sumur di Nagari Salayo, bertuliskan aksara Arab "selamat dipakai mandi' dengan tanggal 7 Juni 1918/ dokumentasi pribadi)

Dalam menghadapi kasus seperti 'butuh uang' misalnya, tanah tetap bernilai sebagai harta dan dapat dipindahkan hak guna-pakainya kepada pihak lain dengan cara gadai. Melalui gadai pihak pertama menerima sejumlah uang yang telah disepakati dari pihak kedua, tentunya dengan penilaian berdasarkan hitungan luas tanah. Perpindahan hak guna-pakai ini harus diketahui dan dicatat oleh penghulu, sebagai kepala eksekutif sebuah nagari.

Tanah gadai ini bisa ditebus kembali pada waktu yang disepakati terlebih dahulu, misalnya menunggu hingga selesai panen komoditi yang ditanam. Bahkan ada beberapa penghulu yang lebih menyarankan agar tanah gadai harus segera ditebus, bila uang sudah mencukupi untuk menebusnya. Tujuannya untuk menghindari sengketa antar keluarga, terutama, bila penggadaian berlangsung lintas generasi, di mana generasi sesudahnya pada waktu kesepakatan gadai dibuat belum cukup umur untuk ikut menentukan penggadaian.

Ada satu lagi perpindah hak yang diatur oleh adat, yaitu hibah. Pindah hak dengan jalan ini prosesnya jauh lebih rumit, karena hak yang berpindah tangan menyangkut hajat hidup orang banyak. Pertama perlu diingat, bahwa kepemilikan atas tanah kaum diturunkan lewat ibu ke anak perempuannya atau garis darah perempuan.

Namun, saudara laki-laki dari perempuan pemilik tanah berhak untuk menggarap tanah tersebut dan berhak pula atas pembagian hasilnya bila tanah itu berupa sawah atau ladang.

Bila di atas tanah itu berdiri rumah yang didiami, maka saudara laki-laki tersebut berhak untuk tinggal di sana selama ia belum mempunyai rumah sendiri, tentunya dengan mengikuti aturan pemilik rumah. Hak guna pakai dalam keluarga ini berlaku luas sampai ke kemenakan-kemenakan baik dari saudara laki-laki maupun perempuan, juga tentunya diukur dengan rasio dan kapasitas.

Bisa dilihat, bagaimana rumitnya menghibahkan satu tanah kaum. Semua yang punya hak atas tanah tersebut harus memberikan persetujuan, termasuk mereka yang pada saat persetujuan itu akan dibuat masih belum cukup umur. Biasanya penghulu akan terus menyarakan untuk pikir-pikir terlebih dahulu dalam jangka waktu yang lama, karena hal ini sangat rentan terhadap sengketa berkepanjangan.

[...] tentunya diukur dengan rasio dan kapasitas.

Menarik untuk didalami lebih lanjut, apa yang mendasari seorang penghulu menentukan keputusan atas tanah adat. Hasil dari penelitian saat itu menunjukan, bahwa poin yang sangat mempengaruhi adalah kesejahteraan dan kemakmuran warganya, terutama bidang pangan. seperti diketahui, bahwa daerah Solok dan sekitanya terkenal sebagai lumbung beras, hingga tercipta sebuah lagu "bareh Solok", artinya beras Solok.

Menurut legenda dari mulut ke mulut di rantau Kubuang Tigo Baleh, bahwa penghulu-penghulu beserta ninik-mamak dulu berabad-abad yang lalu, sewaktu menentukan luas sebuah nagari sudah menghitung dengan rasio dan kapasitas. Sebuah nagari dapat berdiri sendiri harus dengan menghitung rasio jumlah penduduk dengan luas sawah yang akan mencukupi pangan mereka.

Tak terlewatkan ketersediaan air dengan menghitung sumber air termasuk sungai dan sumur, semua harus memadai untuk menghidupi warganya.

Bahkan dahulu juga sudah ditentukan di mana rumah akan dibangun dengan menentukan kekerasan tanah, bila diuji dengan memakai patokan tanah di sekitar rumah gadang yang lama memang tanahnya sangat padat sehingga tidak cocok untuk digarap.

Ketersedian lahan untuk pasar dan luas tanah makam juga sampai ikut diperhitungkan bagi berdirinya sebuah nagari di Kubuang Tigo Baleh. Perhitungan ini juga membuat luas satu nagari tidak pernah sama dengan nagari lainnya.

Di dalam sejarahnya sistem nagari ini mengalami kemunduran dan pukulan terberat pada tahun 1979, saat pemerintah mengeluarkan UU No. 5/1979. Undang-undang ini mengatur ulang sistem pemerintahan daerah, dengan ini sistem nagari harus ikut menganut sistem 'nasional', yaitu desa atau kelurahan.

Dengan demikian peraturan adat atau tradisional de facto tidak berlaku, karena berada di bawah pemberlakuan peraturan pemerintah daerah nasional.

Di lain sisi UUD 45 Pasal 18 jelas secara de jure mengakui keabsahan sistem pemerintahan nagari. Bahkan bila membaca Penjelasan UUD 45 dari pasal 18 tersebut, istilah 'nagari' di Minangkabau justru benar-benar dicantumkan.

[...] saat pemerintah mengeluarkan UU No. 5/ 1979.

Prakteknya di lapangan banyak nagari dipecah-pecah ke dalam administrasi kelurahan menurut luas wilayah. Hingga ada satu desa dengan persawahan yang sangat luas tapi penggarapnya ada di kelurahan lain dan begitu sebaliknya. Bisa disimpulkan, bahwa pengaruhnya besar pada sistem lumbung beras nagari dan kas daerah.

Maka, ketika Kubuang Tigo Baleh kembali ke pemerintahan nagari, persawahan dan perkebunan menjadi bagian nagari yang paling sulit diganggu-gugat. Hingga pernah pada satu kasus Kerapatan Adat Nagari Salayo menolak pembangunan sebuah jalan, karena akan melintas daerah persawahan. Selain karena resiko sengketa tanah dalam satu keluarga, juga ikut diperhitungkan jumlah panen yang akan berkurang karena berkurangnya luas sawah.

(persawahan di Nagari Salayo/ dokumentasi pribadi)
(persawahan di Nagari Salayo/ dokumentasi pribadi)

Menghadapi perkara yang berkenaan dengan tanah adat atau tanah kaum tidak pernah menjadi hal ringan, karena hak guna-pakainya sering kolektif - banyak yang bergantung hidup padanya.

Bisa jadi generasi yang karena usia belum bisa ikut memutuskan. Perhitungan untuk itu harus dalam dan luas, seperti dahulu datuk-datuk menghitung untuk menentukan fungsi sebuah wilayah.

Pada penyelesaian masalah-masalah tanah pendekatan budaya dan secara langsung tanpa perantara selalu jalan yang paling tepat, dan bukan lagi penyeragaman seperti yang pernah dilakukan lewat UU No. 5/ 1979.

Indonesia sebagai negara dengan keragaman budaya yang melimpah, sudah tidak bisa menunggu lagi untuk memajukan pembangunan di bidang pengetahuan sosial budaya, karena yang patut dijaga, tidak lebih dan tidak kurang, adalah kepentingan dan kelangsungan masyarakat adat di seluruh wilayah tanah air. Di atas landasan pengetahuan sosial budaya yang mendalam akan terbangun semangat saling mengenal, dengan begitu masuknya kepentingan-kepentingan luar yang hanya menggunakan masyarakat adat sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu dapat dihindari sedini mungkin .

Satu catatan menarik sebagai penutup, sebagian besar pemuka-pemuka adat di Kubuang Tigo Baleh saat itu sudah mengutarakan kekuatiran mereka akan punahnya kebudayan dan adat nagari, karena interpretasi baru agama Islam. Surau-surau di nagari mereka saat itu sudah kerap didatangi orang-orang berjubah dan bersorban dari luar Kubuang Tigo Baleh. Gerakannya adalah seruan untuk lebih mengikuti interpretasi mundur ke masa lampau dalam menjalankan agama.

Mereka juga menunjukan sikap yang mengabaikan adat dan budaya setempat. Indak tarati' (tidak tertib), begitu cerita para pemuka adat di sana dalam menilai sikap dan perilaku orang-orang ini. Sedikit atau banyak usaha ini sudah tergolong usaha untuk membypass otoritas masyarakat adat untuk satu tujuan, di mana pada saat itu adat dan budaya setempat akan punah, karena dianggap haram untuk dilakukan.

Selamat merayakan Hari Hak Masyarakat Adat Nasional 2020!

(proses penulisan transkripsi hasil wawancara/ dokumentasi pribadi)
(proses penulisan transkripsi hasil wawancara/ dokumentasi pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun