Jadi sangat masuk akal, jika budi daya dan peredaran ganja diawasi ketat oleh negara.
Adalah kenyataan, bahwa ganjabisa dibudi-dayakan sebagai bahan industri kosmetika dan farmasi. Namun, baik dalam keperluan kosmetika maupun terapi medis pasokan yang dibutuhkan tidak besar hingga harus menempuh cara intensifikasi dan extensifikasi pertanian.
Selain itu pasokan ganja banyak berasal dari perkebunan dalam ruangan. Dengan perkebunan dalam ruangan pengawasan jauh lebih mudah dan murah, dibanding di perkebunan terbuka. Ditambah lagi sekarang sudah banyak senyawa sintetik mirip dengan zat yang dikandung tanaman ganja.
Seperti contohnya dronabinol, zat antiemitic ini digunakan untuk meringankan rasa mual dan muntah-muntah pada pasien kemoterapi kanker. Senyawanya dihasilkan dari biji wijen, sehingga tidak diperlukan pengawasan ketat dari hulu ke hilir seperti pada pengawasan budi daya tanaman ganja.
Tak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan, bahwa ketatnya pengawasan  mau-tidak mau harus melibatkan begitu banyak birokrasi yang berujung pada panjangnya rantai produksi. Keadaan ini membuka resiko kebocoran, yaitu selisih antara jumlah yang dihasilkan dari petani dan jumlah pasokan yang sampai ke tangan konsumen industri.
Patut diwaspadai, bahwa seiring dengan kebocoran ini terbuka juga ruang kemungkinan konsumsi ganja ke arah 'rekreasi terlarang'.
Lalu apa motif dari usulan legalisasi budi daya tanaman Narkotika Golongan I, yang resikonya masih sangat sulit diperkirakan? Sementara ini memang isu ekonomi tetap terdepan.
[...] banyak pasokan narkotika berasal dari daerah-daerah konflik, [...]
Tapi sekali lagi banyak faktor yang harus diperhatikan dalam mempertimbangkan legalisasi ganja. Di satu sisi, memang sebagai komoditi expor tanaman ganja bernilai tinggi. Tapi di lain sisi ongkos produksinya juga akan melambung tinggi seiring dengan resikonya. Belum lagi produk sintetisnya sudah banyak diproduksi dengan resiko yang jauh lebih rendah, membuat usulan legalisasi budi-daya tanaman ganja semakin kurang masuk akal.
Ada satu catatan menarik di sini, bahwa industri narkotika sering dekat industri senjata. Faktanya banyak pasokan narkotika berasal dari daerah-daerah konflik, seperti Afghanistan atau daerah Segitiga Emas, di mana pengawasan negara hampir tidak ada.
Bahkan kelompok religius radikal di Afghanistan juga ikut mengeruk keuntungan dari ekspor opium. Laporan UNODC, Badan PBB yang mengurusi masalah narkotika dan kejahatan, menunjukan lebih dari 90% opium yang beredar di dunia pada tahun 2011 berasal dari Afghanistan. Keuntungan yang masuk sebagian besar dipakai untuk menutup anggaran pembelian senjata.