Dalam proses integrasi banyak cara yang pernah atau masih dipakai. Terbukti dalam administrasi surat-surat resmi atau dokumen-dokumen kewarganegaraan, mereka ter-/dipaksa untuk memiliki dua identitas.Â
Salah satunya dengan melokalkan paling tidak nama (keluarga) mereka, seperti Tan menjadi Tanujaya, Wi/ Oei menjadi Wijaya atau Wibisana, dan Lim menjadi Halim atau Salim. Prinsipnya, semakin bernuansa Sansekerta semakin membumi keIndonesiaanya.
Bagi generasi setelah akhir 70-an kasus ini tidak lagi jadi fenomena, karena mungkin sudah terpaksa agar terbiasa mengalaminya.
Untuk lebih jelasnya ambil perumpamaan lain. Misalnya, kita pasti akan ragu bersikap untuk menganggap lucu atau sebaliknya menganggap tragis, bila ketika seorang pria kulit putih asli (bukan albino) pirang totok memperkenalkan diri dengan nama Soegimin Margono (*maaf, nama ini fiktif dan cuma contoh). Ya bisa lucu kalau cuma dalam lingkup kecil, tapi bila sudah dilakukan dalam skala nasional maka ini sama sekali bukan dagelan.
Azas pengklasifikasian antara 'pribumi' dan 'keturunan' dalam dokumen-dokumen kewarganegaraan semacam ini terkesan sebagai Indonesian Version of Dual Citizenship.Â
Bukan kewarganegaraan ganda seperti yang dimaksud, melainkan meresmikan warga 'keturunan' tersebut berkewarganegaraan Indonesia, dengan mengakuinya sebagai WNI 'keturunan'. Pendeknya mereka resmi warga negara Indonesia, dan sekaligus, resmi bukan orang Indonesia.
Dilema bagi mereka adalah tempat yang kepadanya manusia terikat, erat tersatukan dan membumi, yang bagi kemanusiaan berdiri sebagai unsur mutlak, seperti pernah diungkapkan oleh Gandhi sebagai berikut:
[...] the voice of conscience even though such obedience may cost many a bitter tear, [...], from the state to which you may belong [...]
From state to which you may belong, kepada negara yang kepadanya (jiwa) kita tertambat. Kebutuhan manusia akan tempat berpijak penuh atau kebutuhan akan tanah air merupakan harga mati.
Sulit bagi spesies homo sapiens untuk mengaktualisasikan dirinya bila tidak memiliki pijakan yang pasti untuk berwawasan, bila tidak pernah punya istilah 'pulang kampung' dalam perbendaharaan katanya.
Baru setelah kasus Mei '98 kita Indonesia mulai belajar mengerti, saat orang-orang Indonesia dengan label 'keturunan' tersebut, yang paling jadi korban utama penjarahan masal waktu itu, bereksodus besar-besaran meninggalkan tanah air.Â