Juga diperkenalkan di sini suku dan bangsa Indonesia dengan latar belakang budaya daerah lain dari Sabang sampai Merauke, juga kehidupan dan keseharian mereka termasuk di dalamnya ciri khas sandang, pangan dan papan.
Tujuan sebenarnya baik, agar kita saling mengenal, agar kita bisa saling bertoleransi antarbanyak suku dan budaya.
Tapi, sengaja atau tidak sengaja, di satu sisi ditanamkan pada siswa, pertama untuk menjauhkan diri dari perbedaan antar suku pribumi, dan untuk memberi batasan mana yang Indonesia 'asli'.Â
Sehingga di sisi lain dicapai pengertian, bahwa hanya ada dua jenis warga negara Indonesia, yaitu Indonesia 'asli' dan Indonesia 'bukan asli' yang belakang sering disebut 'keturunan'.
"From state to which you may belong, kepada negara yang kepadanya (jiwa) kita tertambat. [...]"
Saat itu cukup jelas, bahwa tidak pernah satupun disinggung yaitu orang-orang Indonesia yang dipersepsikan sepihak sebagai non-Nusantara.
Juga sudah jadi rahasia umum bagi mereka untuk ikut arus jadi orang Indonesia dengan profil budaya-budaya Indonesia umum.
Bagi 'keturunan India' akan lebih mudah membumikan diri karena sejarah dan pengaruh budayanya pada masa kerajaan Buddha dan Hindu hingga akhir abad 14, juga demikian bagi 'keturunan Arab' yang identik dengan agama mayoritas di Indonesia.
Sisanya, yang disebut sebagai orang Indonesia 'keturunan Tionghoa', hingga kini masih sering mendapat pengasingan oleh kelompok-kelompok di dalam masyarakat Indonesia, di beberapa daerah masyarakat juga masih sering ikut andil untuk 'mengasingkan' saudara-saudara kita ini, yang leluhurnya juga sudah berdomisili dan besar di Nusantara lebih dari beberapa abad yang lalu.
Jarang dari kita mau mengingat, bahwa kebudayaan Indonesia sendiri telah banyak dipinjami oleh unsur-unsur kebudayaan mereka.
Contoh kasusnya yang paling gampang dikenali adalah keragaman kuliner; semua pasti kenal pempek, kecap manis, mie bakso, atau siomay.