Mohon tunggu...
Matrimony Lesmana
Matrimony Lesmana Mohon Tunggu... Ilmuwan - Tukang Sosiologi Budaya

dengan ikhlas dan senang hati menyerukan bahwa perbedaan sosial budaya sama sekali bukan alasan pemisahan masyarakat;

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kembali Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

24 November 2019   21:57 Diperbarui: 26 November 2019   00:58 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nadiem Makarim, Risa Santosa, William Aditya Sarana, Ima Mahdiah dan masih banyak lagi nama-nama yang sering dibicarakan di media belakangan ini. Namun paling tidak inilah nama-nama mereka yang kini menduduki posisi-posisi penting dalam pengambilan keputusan bagi negara dan bangsa.

Menariknya di sini adalah usia mereka yang masih terbilang muda untuk posisi yang mereka jabat. Di masyarakat pasti berkembang keraguan, karena mereka bisa dianggap 'belum cukup umur' untuk menduduki kursi jabatan penting.

Menurut kebiasaan yang sudah-sudah  kursi jabatan seperti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Rektor Sekolah Tinggi atau Anggota Dewan diduduki oleh pejabat-pejabat dengan usia matang. Usia di mana manusia sudah dipercaya mampu menanggalkan hasrat individu demi kepentingan orang banyak - saat manusia sudah paripurna dengan urusan dirinya sendiri.

Lalu apa yang sedang berlangsung kini dalam kehidupan berkebangsaan dan bernegara di Indonesia? Sepertinya bangsa ini sedang bergerak kembali ke cita-cita awalnya saat negara ini didirikan yaitu kembali 'mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk itu kelangsungan berinovasi sangat diperlukan. Di mana generasi sebelumnya membangun dan meninggikan mental generasi sesudahnya. Agar mereka menjadi generasi penentu kelanjutan kehidupan kebangsaan di masa depan, saat generasi pendahulunya sudah tidak berkemampuan lagi.

Namun harus selalu diingat, bahwa kecerdasan kehidupan bangsa ini mempunyai satu pembunuh utama yaitu feodalisme. Paham ini terbukti sangat mematikan bagi mental bangsa ini untuk maju, bahkan pernah terjadi lintas generasi selama tiga ratus lima puluh tahun lewat kolonisasi.

Paham ini memaksa untuk mutlak tunduk pada etika sepihak, atau hanya berlaku bagi mereka yang tidak diharapkan untuk memajukan diri atau kelompoknya.

Prakteknya di lapangan: manusia dibuat seolah-olah merendahkan diri atas nama 'kepatutan' atau 'kesantunan'. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah pembunuhan mental agar orang tidak bercita-cita lagi untuk membuat hari esok lebih baik dari hari ini.

Prakteknya kini adalah tekanan dari mereka yang terlahir lebih dahulu terhadap bangsanya sendiri yang lahir kemudian. Alasannya kebanyakan adalah rasa takut kehilangan muka.

Jelas korban dari pemahaman ini adalah generasi muda dengan sifat alami mereka yaitu inovatif.

Masih segar diingatan kita, seorang William Aditya Sarana disumpah sebagai Anggota Dewan penuh. Tidak pernah disinggung, bahwa anggota berusia muda keberadaanya dihitung 'setengah'.

Namun saat bekerja, terobosannya ditanggapi seperti 'aksi anak kemarin sore cari panggung' atau 'aksi anak baru mau jadi superhero'. Bila dicermati baik-baik, tanggapan ini lebih ditujukan untuk meragukan manusianya, bukan pada aksinya. Efek sampingnya, masyarakat akan memandangnya sebagai manusia di bawah umur - dianggap masih 'setengah manusia'.

Ia baru kehilangan julukan 'anak bawang' dan dianggap setara dengan manusia penuh, sewaktu ia dihadapkan dengan hukum. Seperti saat ia harus bertanggung-jawab penuh saat dirinya dilaporkan ke Dewan Kehormatan DPRD.

Kejadian seperti ini pasti bukan satu-satunya. Bila terus dibiarkan, maka akan rendah angka anak bangsa bertalenta dari yang seharusnya. Akan banyak putra-putri terbaik bangsa layu sebelum berkembang. Ciut mentalnya, karena baru sedikit saja tampil dengan karya sudah diintimidasi ramai-ramai. Kecenderungan untuk tunduk diam sangat mungkin mewabah, karena takut dianggap kualat.

Akibatnya akan terus tumbuh pemahaman, bahwa generasi muda bersuri-tauladan adalah mereka yang pasif dan tidak macam-macam.

Di banyak negara maju generasi muda diangkat mentalnya dengan fasilitas dan perlindungan negara, terutama di bidang pendidikan. Bagi mereka adalah keniscayaan, bahwa kemajuan manusia berawal dari keberanian melakukan terobosan. Modalnya adalah semangat untuk menembus keterbatasan. Modal ini lebih banyak mengalir dalam darah manusia berusia muda.

Akhirulkalam. Mesti disadari, bahwa alaminya kemajuan umat manusia berjalan lewat perubahan sosial. Sebuah proses yang akan terus terjadi; di mana cara baru akan menyempurnakan cara-cara sebelumnya.

Perubahan ini harus terus konstruktif, untuk itu diperlukan ketersediaan sumber daya manusia berkualitas, terutama generasi muda dengan mental, keberanian dan semangat untuk keluar dari keterbatasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun