Secara sederhana, kita dapat mengasumsikan bahwa di dunia ini hanya ada dua klasifikasi keluarga yakni keluarga miskin dan kaya. Katakanlah bahwa keluarga miskin adalah mereka yang hanya memiliki pendapatan perbulan senilai < Rp1 Juta diasumsikan pula mereka menghabiskan hampir setiap hari memasang taruhan bodoh di bawah Rp100 ribu dan berharap keuntungan secara instan tanpa mengetahui bahwa mereka terjebak penipuan karena minimnya edukasi. Hal ini kemudian dapat membawa mereka untuk tidak bisa memenuhi kebutuhan dengan  prioritas utama sehingga mereka yang semulanya miskin menjadi tambah miskin akibat judi online. Sedangkan keluarga kaya adalah mereka yang diasumsikan berpenghasilan Rp100 Juta. Keluarga ini memandang bahwa judi hanyalah sarana hiburan semata sehingga jika mereka mengeluarkan jumlah taruhan yang sama  yakni Rp100 ribu rupiah dan mereka kalah dalam beberapa pertandingan, hal ini kemudian tidak secara signifikan mempengaruhi kehidupan keluarga kaya. Dari analogi di atas, mari kita menganalisis lebih dalam segmentasi dari orang-orang yang terdapat dalam setiap kuadran pelaku judi.
Klasifikasi kuadran pertama (A1) adalah pelaku judi berpenghasilan tinggi (menengah ke atas) dan memiliki edukasi. Parameter berpenghasilan tinggi yang dipakai adalah PDB per kapita dimana berdasarkan data terakhir yang dilansir pada tahun 2022, Â Indonesia termasuk negara berpendapatan menengah ke atas dengan PDB per kapita sebesar US$ 4.783 (CEICdata.com, 2023). Oleh karena itu, masyarakat yang memiliki penghasilan rata-rata >US$ 4.783 dapat dikategorikan sebagai masyarakat menengah ke atas. Sedangkan parameter edukasi yang dipakai adalah mereka yang memenuhi syarat wajib belajar 12 tahun serta diasumsikan memiliki pengetahuan yang baik terkait kesadaran akan resiko, pemikiran rasionalitas dalam pengambilan keputusan, serta literasi keuangan.
Pelaku judi dalam kuadran A1 adalah mereka yang memandang judi sebagai hiburan dan aktivitas yang dapat mengisi waktu luang semata. Mereka paham bahwa judi  sebenarnya merupakan fraud (penipuan), sehingga mereka tidak berharap akan 'memenangkan' judi online tersebut. Orang-orang dalam kuadran pertama ini juga mereka yang lebih tertarik untuk bermain langsung secara tradisional dalam sebuah kasino ketimbang mengakses website secara online (Giuliano Resce et al., 2019). Dan dapat diasumsikan bahwa mereka adalah gamblers yang tidak segan-segan mempertaruhkan nominal yang besar dalam alur permainan. Sehingga jika kalah, mereka tidak terlalu menganggap serius dan hal ini tidak memiliki dampak signifikan terhadap mentalitas karena motivasi atau tujuan utama mereka adalah bersenang-senang dan sisa uang mereka masih sangat banyak. Dan kemungkinan sebagian besar dari mereka bahkan tidak bermain judi secara online karena telah mengetahui bahwa hal tersebut merupakan penipuan dan tidak ada gunanya (rational gambling).
Klasifikasi kuadran kedua (A2) adalah pelaku judi berpenghasilan tinggi namun tidak memiliki edukasi/pengetahuan. Jika kita memperhatikan polanya, kebanyakan orang yang berada di kuadran ini adalah mereka yang terlahir dalam keluarga dan lingkungan yang sudah mapan sehingga mereka tidak memiliki urgensi untuk berkontribusi mewujudkan target karir karena mereka sudah menganggap diri mereka financially secured atau mapan dari segi finansial. Dapat diasumsikan karena minimnya edukasi yang mereka miliki, pelaku judi online dalam kuadran ini menganggap bahwa judi tidak semata-mata hanya sebuah permainan namun berharap dapat membuat mereka semakin kaya. Sehingga mereka semakin sering melakukan judi tanpa mengetahui bahwa itu adalah fraud. Akibatnya mereka dalam kuadran ini memiliki tingkat adiksi yang tinggi terhadap judi.
Klasifikasi kuadran ketiga (A3) adalah pelaku judi berpenghasilan menengah ke bawah namun mereka memiliki pengetahuan yang mumpuni mengenai rasionalitas. Mereka juga paham betul bahwa judi online sebenarnya merupakan fraud. Karena mereka berpenghasilan menengah ke bawah (pendapatan terbatas) dan diasumsikan bahwa mereka juga harus memenuhi kebutuhan dalam skala prioritas mereka. Maka judi online bukanlah hal yang harus dilakukan. Sehingga, orang-orang dalam kuadran ini adalah mereka yang tidak mau atau bahkan tidak pernah bermain judi online.
Kuadran A4 yang terdapat pada posisi terakhir namun menduduki posisi pertama terkait dampak negatif judi dari berbagai sisi adalah pelaku judi yang berasal dari kalangan menengah kebawah dengan asumsi pendapatan
Dalam analisis empat kuadran pelaku judi, dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan dan pendapatan sangat mempengaruhi cara pelaku judi dalam setiap kuadran melihat perjudian. Celah dan perbedaan paling signifikan adalah mereka yang berada di kuadran A1Â (high income and educated)Â menganggap judi semata-mata hanya sebagai sebuah bentuk hiburan sedangkan mereka yang berada di kuadran A4Â (low income and uneducated)Â memiliki harapan yang besar akan memenangkan judi tanpa tahu bahwa hal tersebut merupakan penipuan.
Meskipun ada beberapa teori secara rinci yang menjelaskan mengenai pendekatan matematika dan statistika mengenai perjudian yang dilakukan secara fair dan legal, dalam esai ini kami lebih menyoroti bagaimana orang yang terlibat perjudian sebagai individu memilih untuk terlibat di dalamnya. Sebagaimana kita pelajari dalam teori ekonomi yang mengasumsikan bahwa semua orang bertindak rasional dan selalu memilih keputusan yang paling optimal sepanjang waktu. Namun manusia, seperti yang kita ketahui, tidak selalu bertindak rasional dan rentan terhadap kesalahan serta impulsivitas emosional yang berkaitan dengan kepuasan. Lantas yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana manusia yang awalnya berdinamika selalu bertindak rasional malah terjebak ke dalam perangkap judi online?
Dalam setiap proses industri judi online, pengaruh bandar sangat penting untuk mengarahkan rasionalitas korban agar menguntungkan mereka. Hal ini terjadi sejak mereka mempromosikan situs web perjudian mereka, para korban mulai mengakses situs web mereka, hingga sebagian besar korban terjebak, yang telah diatur oleh bandar. Sebagian besar penipuan ini berkembang secara dinamis di industri judi online  karena lebih mudah bagi bandar judi untuk memodifikasi, membuat, dan mengatur algoritma berdasarkan keinginan mereka daripada perjudian tradisional. Bandar judi menganalisa dan mengeksploitasi perilaku ekonomi korban mereka sehingga mereka dapat merancang mekanisme yang paling menguntungkan.Â
Pertama, bandar melakukan promosi produk besar-besaran dengan menyewa beberapa tokoh masyarakat untuk mendukung produk mereka atau membayar beberapa platform untuk mempromosikan produk mereka. Bandar judi bertujuan untuk membiasakan produk mereka dengan calon pengguna mereka, yang sebagian besar dari mereka adalah konsumen atau penggemar figur publik tersebut. Keterkaitan antara penggemar dan figur publik ini adalah sesuatu yang dilihat oleh bandar judi. Fenomenanya disebut sebagai paparan belaka, fenomena kuat yang dapat terjadi bahkan dengan rangsangan yang sudah dikenal, dan tingkat keakraban yang tinggi menghambat reaksi afektif utama dan "menggantikannya" dengan evaluasi yang lebih sadar dan kognitif (Ye, G., & Raaij, W., 1997). "Evaluasi yang lebih sadar dan kognitif" didefinisikan sebagai istilah untuk keputusan irasional yang dibuat oleh calon pengguna. Karena sebagian besar calon pengguna didorong oleh narasi di media sosial, menunjukkan judi online sebagai hal yang biasa dan menormalkannya tanpa keputusan rasional lebih lanjut. Selanjutnya, bandar judi juga menyediakan seratus tautan situs web untuk memastikan aksesibilitas web mereka.
Aksesibilitas adalah langkah ekstensi yang diambil oleh bandar judi untuk mendapatkan keuntungan dari pengguna potensial mereka. Tepat setelah mereka mempromosikan situs web mereka, jelas mereka akan mendistribusikan produk mereka untuk mengkapitalisasi produk mereka. Untuk memuaskan utilitas pengguna, bandar judi membuat tautan situs web yang sangat besar baik untuk menjaga stabilitas server mereka atau untuk menghindari penghambatan pemerintah. Meskipun ilegal, metodenya diterima secara luas oleh sebagian besar industri judi online . Karena menjadi lebih praktis, sebagian besar bandar judi berlomba untuk membuat produk mereka lebih mudah diakses oleh semua kelas sosial ekonomi di negara ini. Akibatnya, banyak pengguna media online yang sebelumnya hanya mendapatkan informasi mengenai judi online , kini dapat dengan mudah mengakses website tersebut (Franke, N.,et al, 2009).