Berdasarkan data dari Knoema (2009) kontribusi sektor pariwisata Sri Lanka mencapai sekitar 12.6%. Meskipun begitu, banyak kajian mengacu bahwa kontribusi sektor pariwisata signifikan terhadap ekonomi (PDB) karena efek penggganda (multiplier effect) yang bisa diberikan kepada sektor-sektor berkaitan lainnya.Â
Mulai pertengahan tahun 2021, aktivitas pariwisata Sri Lanka mulai pulih, diindikasikan melalui meningkatnya kedatangan turis mancanegara.Â
Awalnya, di tahun 2021, turis mancanegara yang datang hanya mencapai 2 ribu orang, tetapi tercatat meningkat drastis di penghujung tahun 2021, yakni mencapai 90 ribu orang. Peningkatan tren ini terus berlanjut sampai ke tahun berikutnya. Per Maret 2022, angka kedatangan turis mancanegara mencapai 107 ribu jiwa. Akan tetapi, ketika Sri Lanka dinyatakan bangkrut dan default, jumlah turis mancanegara turun secara dramatis kembali. Per Juni 2022, turis mancanegara yang datang hanya tercatat sebanyak 33 ribu jiwa.
Akibat dari mencetak uang secara berlebihan untuk membiayai defisit anggaran, Sri Lanka dilanda inflasi yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari Bank Sentral Sri Lanka (CBSL) (2022), indeks harga konsumen Kolombo (ibukota Sri Lanka) telah mencapai sekitar 65% dan lebih dari 70% untuk indeks harga konsumen nasional.
Dikarenakan Sri Lanka harus membayar utang-utanngnya jatuh tempo dalam bentuk dolar, sejak 2018, tren cadangan devisa Sri Lanka terhadap dolar pun menurun.Â
Selain itu, penurunan nilai mata dolar disebabkan oleh inflasi  yang menyebabkan apresiasi dolar itu sendiri. Salah satu kebijakan lanjutan yang disebabkan oleh menurunya cadangan devisa dolar adalah pelarangan impor dan larangan penggunaan pupuk kimiawi seperti yang telah disebutkan sebelumnya.Â
Hal ini disebabkan karena pemerintah Sri Lanka tidak mampu untuk mengkompensasi barang-barang impor yang dibeli menggunakan dolar, khususnya pupuk kimiawi itu sendiri.Â
Sri Lanka di perdagangan internasional tindak unggul secara komparatif untuk produk pupuk kimiawi, sedankan Sri Lanka cukup aktif dan komparatif di bidang pertanian. Akan tetapi, kebijakan organic farming ini dibungkus dengan alasan politis dan manipulatif yang menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk membawa dampak kesehatan yang baik kepada masyarakat Sri Lanka.Â
Alhasil, dampak negatif yang terjadi di sektor pertanian sangat signifikan. Sri Lanka, negara yang biasanya terkenal akan produksi padi dan beras, harus mengimpor beras yang mereka sebelumnya belum pernah dilakukan akibat produksi beras menurun sebesar 20% pada enam bulan pertama setalah kebijakan dikeluarkan (George et al., 2022).Â
Selain itu juga, Sri Lanka melarang impor barang-barang mewah. Tepat pada Maret 2022, Bank Sentral Sri Lanka memutuskan untuk berhenti menjual aset dolar. Akibatnya, exchange rate LKR terhadap dolar terdepresiasi dengan sangat dramatis, yang awalnya sekitar 200 LKR per USD menjadi lebih dari 350 LKR per USD (Etsuyo, 2022).Â
Kejatuhan Politik dan Kepercayaan Publik