Sebagai contoh, dilansir dari Fiscal Management Report oleh Kementerian Keuangan Sri Lanka, pendapatan pemerintah Sri Lanka berjumlah 257 miliar LKR (LKR adalah Langkan Rupe, yaitu mata uang Sri Lanka), tetapi belanja pemerintahnya melebihi sebesar 416.15 miliar LKR.Â
Sebanyak 33.21% pengeluran pemerintah digunakan untuk membayar bunga dari utang-utang pendahulunya. Selain itu juga, sebanyak 23.8% digunakan untuk gaji pegawai. Itu semua diasosiasikan sebagai pengeluaran konsumtif dan tidak produktif karena tidak atau sedikit menghasilkan pendapatan. Sedangkan, proporsi belanja investasi atau produktif tidak sebanyak pengeluaran konsumtif, seperti program penghapusan kemiskinan (Samurdhi) sebesar 0.82%. Belanja infrastruktur di tahun tersebut hanya sebesar 21.41%.Â
Sebagai tambahan, di tahun terakhir masa kepimipinan Mahinda Rajapaksa, pemerintah Sri Lanka memiliki pendapatan sebesar 888,24 miliar LKR. Namun, mereka juga menjalankan defisit anggaran, yakni belanja pemerintahnya yang melebihi sebesar 1.532 miliar LKR.Â
Terlebih, untuk membiayai defisit, bertahun-tahun juga Sri Lanka mencetak uang lebih dari biasanya dan tidak sesuai dengan nasihat IMF untuk tidak mencetak uang, menaikan suku bunga dan pajak, serta mengurangi ekspenditur.Â
Namun, menutup kekurangan dana ekspenditur, Sri Lanka melakukan pencetakan uang sebanyak 119.08 miliar LKR pada April 2022 dan menjadi pencetakan uang terbanyak selama 2022. Total jumlah uang dicetak pada 2022 adalah 4237.76 miliar LKR (George et al., 2022).
SSsSelain mencetak uang, Sri Lanka juga aktif meningkatkan rasio utang terhadap PDB. Sejak 2012, rasio utang pemerintah terhadap PDB sudah tergolong tinggi, yakni di angka 68,7%. Angka ini terus meningkat hingga ke tahun 2021, rasionya mencapai angka 104.6%.Â
Menurut literatur World Bank, terdapat hasil bahwa nilai debt to GDP dengan proporsi lebih dari 77% dianggap akan menghambat perekonomian (Carner et al., 2010). Apabila sudah melebihi ambang batas, setiap kenaikan 1% poin dari utang akan menurunkan 0.017% pertumbuhan riil tahunan. Pada negara berkembang, ambang batas ini adalah 64%.Â
Pertambahan setiap kenaikan 1% poin dari utang akan menurunkan 0.02% pertumbuhan riil tahunan (Grennes et al., 2010). Pada tahun 2020. Sri Lanka mengalami kelebihan utang apabila ditinjau dengan studi World Bank di atas sejak tahun 2012, sudah pasti terdapat penurunan pertumbuhan riil pada Sri Lanka.Â
Tidak hanya itu, debt to GDP juga menandakan kemampuan suatu negara dalam melunasi utang meraka. Pada tahun 2020 dan 2021 debt to GDP Sri Lanka mencapai lebih dari 100%, sehingga adanya ketimpangan antara utang negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Sri Lanka. Negara dengan debt to GDP yang tinggi  cenderung sulit lebih sulit untuk melunasi utang-utang luar negeri mereka, maka besar kemungkinan terjadinya default atau gagal bayar.
Pada masa krisis dan kerusuhan pemerintah akan kesulitan menurunkan debt to GDP dan cenderung menaikan permintaan agregat dengan melakukan pinjaman untuk mendorong perekonomian (Kenton, 2022). Pada akhirnya karena besarnya belanja negara ke aset kurang produktif, di jangka panjang, alhasil Sri Lanka tidak memiliki return on investment yang memadai untuk membayar utang-utang tersebut.
Pada kontestasi politik di pemilihan umum 2019 dan 2020, salah satu janji kampanye Gotabaya Rajapaksa adalah melakukan kebijakan fiskal pemotongan pajak, dan terealisasi saat terpilih menjadi presiden Sri Lanka.Â