Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Childfree: Stepping Up Women's Freedom of Choice Against a Falling Economy

3 November 2021   18:00 Diperbarui: 3 November 2021   19:56 1120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafik 1.1 Women's median weekly earnings as a percentage of men's selected characteristics, 2012

Childfree: Stepping Up Women's Freedom of Choice Against a Falling Economy

Oleh Ester Dwi S. & Saffanah Calista 

"To allow the market mechanism to be the sole director of the fate of human beings and their natural environment....would result in the demolition of society." - Karl Polanyi

Sociological Views of Childfree

Kekuatan perempuan untuk memutuskan identitas dan perannya sebagai individu yang merupakan bagian dari masyarakat semakin meluas. Terutama peran sosial perempuan dalam suatu keluarga yang menuntut perempuan untuk berkembang biak dan membesarkan anak. Sistem kasta tradisional melihat peran perempuan dalam keluarga sebagai seseorang yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak, dan kemudian hal tersebut dipandang sebagai keharusan mutlak yang seharusnya terjadi. Market theory mendukung pandangan tersebut dengan tidak melihat pekerjaan domestik perempuan dalam keluarga sebagai keputusan yang bernilai dan memiliki biaya peluang yang berarti. Tanggung jawab tradisional perempuan dalam keluarga dianggap sebagai suatu aksioma dan kemudian tidak memperhitungkan aktivitas membesarkan anak dalam mekanisme pasar. 'Women's hand is excluded from the invisible hand.' Generasi sebelumnya meletakkan peran-peran pasti terhadap perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Perempuan harus memiliki, mengandung, membesarkan, dan memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga dari sisi psikologis dan materil. Sementara itu, pria dianggap sebagai jalur utama pendanaan keluarga. Lebih lanjut, kebanyakan model ekonomi neoklasik yang cenderung memiliki fokus yang luas dan secara general mengabaikan dimensi historis, institusional, dan sosial dalam keputusan individual, mengabaikan keputusan perempuan dalam peran di keluarga telah dibatasi oleh kebiasaan, diskriminasi, dan kebutuhan ekonomi (Burggraf, 1993). 

Perkembangan teknologi, otomatisasi, dan akses informasi dan pengetahuan telah menggeser stigmatisasi terhadap masing-masing pihak dalam keluarga. Aktivitas yang dinilai hanya dapat dikerjakan oleh pria--membajak, mengolah lahan, dan aktivitas subsistem lainnya--telah digantikan oleh teknologi. Lebih lanjut, Burggraf (1993) menilai bahwa evolusi pasca industrialisasi yang berdasar pada pengetahuan, informasi, dan keterampilan jasa memperkecil sistem kasta pada perempuan sebagai implikasi dari kesetaraan menguasai kemampuan-kemampuan tersebut. Kemunculan teknologi-teknologi unisex juga menjadi salah satu faktor penekan kesenjangan gender antara pria dan wanita, bahkan dalam kehidupan keluarga.

Akan tetapi, layaknya proses perjuangan kesetaraan gender di masyarakat penuh pertentangan dan dukungan, keputusan perempuan untuk tidak memiliki anak, baik secara sukarela maupun tidak, menjadi suatu fenomena yang sulit untuk diterima oleh konstruksi sosial masyarakat. Salah satu peran sosial suami dan istri dalam suatu pernikahan adalah memiliki anak. Ketika suatu pernikahan tidak memenuhi peran tersebut--dalam artian, memilih secara sukarela untuk tidak membesarkan dan melahirkan anak--masyarakat memandang hal tersebut sebagai suatu moral outrage, di mana pasangan tersebut tidak memenuhi peran sosialnya. Pasangan yang menikah dianggap lebih ramah dan lebih baik dibandingkan dengan pasangan yang memilih untuk tidak membesarkan anak (Balen & Bos, 2009). Lebih lagi, perempuan yang tidak melahirkan dan membesarkan anak sepanjang masa pernikahan dipandang lebih egois, kekanak-kanakan, dan terlalu cinta dengan pekerjaan yang dijalani (Caron and Wynn 1992; Koropeckyj-Cox and Pendell 2007; Koropeckyj-Cox et al. 2007).

Pergeseran peran perempuan dalam keluarga telah dimulai pada sekitar abad ke-15. Pada era 1500-an perempuan di wilayah barat utara Eropa mulai memutuskan untuk menunda pernikahannya sampai usia 20-an awal, dari yang sebelumnya sekitar 15 tahun. Sebelum mencapai usia tersebut, mereka memenuhi kebutuhan untuk menunjang keluarga dan pernikahan seperti tabungan untuk linen, baju, panci, dan lain-lain. Proses ini terus berkembang sampai ke pada peran perempuan dalam institusi pernikahan yang mulai berkurang di sisi prokreasi, tetapi lebih terfokus pada peluang ekonomi dan kepuasan pribadi. 

Kesetaraan gender dalam keputusan childfree juga menghasilkan suatu standar ganda yang cukup unik. Rijken dan Merz (2014) melakukan penelitian terhadap standar ganda dalam norma terhadap perempuan dan laki-laki yang memilih untuk tidak memiliki anak secara sukarela. Peran membesarkan anak dalam suatu keluarga dinilai sebagai bagian dari identitas perempuan dibandingkan dengan laki-laki, maka dari itu perempuan kurang dapat diterima jika memilih untuk childfree. Akan tetapi, biaya membesarkan anak lebih besar dikeluarkan dari perempuan daripada laki-laki, maka dari itu akan lebih tidak diterima jika laki-laki yang memilih untuk tidak memiliki anak. Norma masyarakat terhadap perempuan dan laki-laki yang memilih untuk childfree menciptakan standar ganda. Lebih lanjut, perempuan cenderung meletakkan standar ganda ini di dalam kehidupan sosialnya dibandingkan laki-laki. Rijken dan Merz (2014) memaparkan bahwa kesetaraan gender memang sering diasosiasikan dengan standar ganda. 

Factors Affecting Childfree Decision Making

Ketiadaan anak tidak sepenuhnya disebabkan oleh proses keterpaksaan atau involuntarily. Dalam kasus tertentu fenomena childfree dapat dilihat sebagai hasil keputusan yang dibuat oleh seorang individu secara sukarela (Miettinen et al., 2015). Proses lahirnya keputusan tidak memiliki anak juga dilatarbelakangi oleh banyak pertimbangan (Langdridge, Sheeran, & Connolly, 2005) sehingga sulit untuk menentukan faktor apa yang memainkan peran dominan. Tak jarang pula alasan yang melatarbelakangi ialah keputusan yang berdasarkan emosional bukan rasional (Carroll, 2000). Walaupun proses dibalik diambilnya keputusan childfree ialah kompleks, melihat berbagai sudut pandang yang mencoba menjelaskan childfree akan membantu memahami bagaimana fenomena tersebut hadir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun