Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Work-Life (Im)Balance: Memahami Hustle Culture Melalui Perspektif Ekonomi

20 Juli 2021   19:54 Diperbarui: 20 Juli 2021   20:06 3694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

quickie
quickie

Selain itu, hustle culture juga menyebabkan seseorang memiliki work-life balance yang buruk (Kanai 2008). Dilansir dari European Journal of Public Health, work-life balance yang buruk merupakan kontributor penyebab penyakit mental utama di Eropa (Lunau et al. 2014). Berdasarkan penelitian tersebut, pekerja laki-laki cenderung memiliki work-life balance lebih buruk daripada pekerja perempuan. Namun, sebaliknya, pekerja perempuan memiliki tingkat kesehatan mental dan fisik yang lebih buruk daripada pekerja laki-laki.

Bagaimana Pengaruh Hustle Culture terhadap Produktivitas?

Melihat bukti-bukti tersebut, tak terbantahkan bahwa fenomena hustle culture ini memberikan pengaruh negatif bagi kualitas hidup seseorang. Dengan mengikuti logika bahwa manusia adalah pelaku ekonomi, tentunya logis bahwa seharusnya fenomena ini juga akan memiliki pengaruh terhadap performa perekonomian suatu negara. Namun, bagaimana fenomena ini berdampak pada perekonomian suatu negara?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat digunakan variabel produktivitas sebagai proxy yang menghubungkan antara manusia sebagai pelaku ekonomi terhadap performa perekonomian. Produktivitas merupakan elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara (Ahmadi dan Asl, 2013). Produktivitas merupakan kemampuan setiap pekerja untuk menghasilkan suatu barang atau jasa (Mankiw 2020). Produktivitas kerja berkaitan dengan output yang dihasilkan dan waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan output tersebut. Lalu, apakah seseorang yang gila kerja memiliki produktivitas yang lebih tinggi?

Kaum gila kerja atau workaholic memiliki waktu kerja melebihi batas yang telah ditetapkan. Salah satu motivasi mereka melakukan hal tersebut karena berharap akan mendapatkan imbalan yang lebih atas pekerjaan yang telah mereka lakukan (Peiperl dan Jones 2001). Mereka meyakini bahwa semakin lama seseorang melakukan pekerjaan, maka semakin banyak pula uang dan kekayaan yang akan didapatkan. Sayangnya, mereka tidak menyadari bahwa mereka kehilangan banyak waktu untuk dapat menikmati hasil jerih payah yang telah dilakukan (Peiperl dan Jones 2001). 

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 130 manajer the East Azerbaijan Water dan Waste Company, budaya gila kerja berkorelasi positif dengan produktivitas seseorang (Ahmadi dan Asl 2013). Artinya, seorang workaholic menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi daripada pekerja biasa. Namun, menurut Peiperl dan Jones (2001) jam kerja yang panjang pun tidak selalu menghasilkan hal yang baik karena terdapat faktor-faktor lain yang menentukan seperti pengerahan fisik, mental, tenaga, manusia lain, dan sebagainya. Artinya jam kerja yang bukan satu-satunya hal yang dapat memengaruhi produktivitas seseorang. Produktivitas juga dipengaruhi oleh job quality dari pekerjaan tersebut (Arends, Prinz, dan Abma 2017). Berdasarkan hasil kajian tersebut, job quality atau kualitas pekerjaan tersebut yang mencakup kualitas lingkungan kerja dan kesehatan pekerja berkorelasi positif dengan tingkat produktivitas karyawan. Menurut International Labour Organization (ILO), terdapat tujuh unsur mengenai job quality yaitu: lingkungan fisik kerja, lingkungan sosial kerja, skills dan kemampuan pekerja, upah/gaji, prospek karier di masa depan, kualitas waktu kerja, dan intensitas pekerjaan. Untuk meningkatkan kualitas pekerjaan tersebut, perusahaan dapat mengurangi tuntutan dan paparan risiko bagi karyawannya serta menciptakan lingkungan kerja yang positif (Mariya Aleksynska 2019).

Fenomena Hustle Culture di Indonesia

Jam Kerja Pekerja di Indonesia

Pada bagian sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana pengaruh hustle culture mempengaruhi produktivitas seseorang, yang kemudian berpengaruh juga pada kinerja perekonomian secara luas. Namun, apakah penjelasan tersebut mencerminkan apa yang terjadi di Indonesia? Jika iya, seberapa jauhkah fenomena ini ‘menyakiti’ perekonomian Indonesia?

Sesuai Pasal 77 Ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengatur bahwa jam kerja bagi pekerja/buruh adalah maksimal 40 jam per minggu. Dilansir dari Katadata.co.id, menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2016-2019, rata-rata jam kerja pekerja usia di atas 15 tahun di Indonesia masih melebihi aturan yang ada atau melebihi 40 jam per minggu.

Sumber:       katadata.co.id
Sumber:       katadata.co.id

Tabel 5 Rata-Rata Jam Kerja Mingguan di Indonesia Tahun 2016-2019

Berdasarkan data di atas, rata-rata jam kerja di Indonesia cenderung menurun dari 2016 hingga 2019. Hingga tahun 2019, 39,83% penduduk bekerja selama 35-48 jam (BPS 2019). Proporsi tersebut merupakan proporsi terbesar daripada kelompok jam kerja lain. Namun, dibandingkan dengan tahun 2019, jam kerja pekerja di Indonesia mengalami penurunan selama pandemi Covid-19 di tahun 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun