Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Proyek Sepuluh Metropolitan: Sebuah Ambisi yang Perlu Evaluasi

13 September 2020   18:49 Diperbarui: 13 September 2020   19:50 1726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada masa Revolusi Industri pertama, tak lebih dari 7,3% populasi dunia hidup di daerah urban (OWID, 2016). Proses industrialisasi yang pesat lantas meningkatkan permintaan akan tenaga kerja serta perumahan, yang kemudian membentuk klaster-klaster urban yang kita kenal sebagai kawasan perkotaan. Saat ini, setidaknya 55% dari penduduk dunia tinggal di daerah perkotaan, sebuah angka yang diproyeksikan untuk meningkat ke 68% pada tahun 2050 (UN DESA, 2016). Indonesia pun tak luput dari fenomena ini. Walau sebaran populasi rural-urban di Indonesia masih seimbang pada tahun 2010, BPS (2016) memproyeksikan tren peningkatan pangsa populasi daerah urban yang konsisten untuk beberapa tahun mendatang.

Grafik 1: Komposisi Populasi Rural-Urban di Indonesia, 2010---2035 ⏐ Sumber: BPS (2016)
Grafik 1: Komposisi Populasi Rural-Urban di Indonesia, 2010---2035 ⏐ Sumber: BPS (2016)
Mengetahui ini, tidak dapat dimungkiri bahwa urbanisasi akan selalu beriringan dengan perkembangan zaman. Kemajuan teknologi dan pertumbuhan populasi memang meningkatkan urgensi bagi masyarakat untuk bermigrasi ke kota; baik untuk kesempatan pekerjaan yang lebih baik, ketersediaan sarana dan fasilitas sosial yang berkualitas, maupun iming-iming standar kehidupan yang lebih tinggi (LIPI, 2019). Lantas, tak heran jika pemerintah menggunakan urbanisasi sebagai salah satu strategi untuk mencapai rata-rata pertumbuhan ekonomi tahunan 6%, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Apa saja rincian dari rencana tersebut? 

Pengembangan Sepuluh Wilayah Metropolitan Baru dalam RPJMN 2020-2024

Pada awal Juli 2020, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kembali mensinyalir rencana pemerintah dalam mengembangkan sepuluh wilayah metropolitan selain ibu kota negara baru. Sebagai bagian dari RPJMN 2020-2024, pemerintah mengklaim bahwa rencana ini merupakan sarana untuk merealisasikan target pertumbuhan ekonomi, serta upaya untuk menyamaratakan pembangunan di luar Pulau Jawa. Memang, dapat dimengerti jika pemerintah ingin bergeser dari paradigma pembangunan Jawa-sentris, mempertimbangkan bahwa Pulau Jawa berkontribusi 59% terhadap PDB serta 54% terhadap populasi nasional (BPS, 2019). Tak sekadar proyek pembangunan semata, sepuluh wilayah metropolitan ini juga akan dikembangkan dengan tema yang didasarkan pada ciri khas masing-masing wilayah, sebagai berikut:

Tabel 1: Rencana Pengembangan sepuluh Wilayah Metropolitan ⏐ Sumber: Bappenas (2020), Katadata (2020)
Tabel 1: Rencana Pengembangan sepuluh Wilayah Metropolitan ⏐ Sumber: Bappenas (2020), Katadata (2020)
Tak lama setelah pembeberan tema, Kepala BPIW Hadi Sucahyono menyampaikan bahwa rencana tersebut akan dipercepat sebagai bagian dari rangkaian kebijakan pemulihan ekonomi pascapandemi. Lantas, BPIW pun menetapkan awal Agustus sebagai tenggat waktu penyelesaian rancangan pengembangan Kedungsepur sebagai kota pertama. Meski pemerintah telah merencanakan sepuluh wilayah, Matrik Pembangunan RPJMN IV 2020---2024 hanya menyediakan rincian anggaran untuk empat kota: Palembang, Denpasar, Banjarmasin, dan Makassar. Proyek yang membutuhkan Rp222,92 Triliun ini akan dibiayai menggunakan APBN, APBD, KPBU (Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha), serta pendanaan swasta. Dalam dokumen tersebut, penyebutan eksplisit mengenai pengembangan enam wilayah lainnya hanya terdapat di proyek Sistem Angkutan Umum Massal Perkotaan yang membutuhkan Rp118.8 Triliun. Sebenarnya, kedua proyek tersebut merupakan bagian kecil dari 41 Proyek Prioritas Strategis yang secara total membutuhkan anggaran Rp1.185 Triliun. 

Grafik 2: Kesenjangan Investasi, Kapasitas Pinjaman Daerah, dan Pendapatan Asli Daerah di Berbagai Kota di Indonesia (Dalam Juta $, tahun dasar 2014) ⏐ Sumber: Joshi dkk. dalam World Bank (2019)
Grafik 2: Kesenjangan Investasi, Kapasitas Pinjaman Daerah, dan Pendapatan Asli Daerah di Berbagai Kota di Indonesia (Dalam Juta $, tahun dasar 2014) ⏐ Sumber: Joshi dkk. dalam World Bank (2019)
Melihat sumber pendanaan yang beragam serta ukuran anggaran yang relatif besar, proyek ini memberikan harapan akan pengembangan wilayah metropolitan yang komprehensif. Menurut penemuan Joshi dkk. dalam World Bank (2019), Pendapatan Asli Daerah banyak Pemkot di Indonesia masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan investasi infrastruktur, bahkan jika disertai Pinjaman Daerah yang sesuai dengan kapasitas maksimum. Untungnya, berdasarkan data ini kucuran dana untuk kawasan Palembang, Denpasar, Banjarmasin, dan Makassar ($3.7 Miliar per kota) nampaknya sudah mumpuni untuk menutup kesenjangan investasi yang berkisar dalam jangkauan $600---$800 Juta. Selain itu, pemerintah juga telah menerima bantuan pembangunan dari World Bank, dalam bentuk pinjaman sebesar $49,6 juta.

Mengapa Perekonomian Daerah Urban Lebih Produktif?

Wilayah perkotaan seringkali digambarkan sebagai episentrum perekonomian yang berproduktivitas tinggi. Mengapa ini dapat terjadi? Jawabannya adalah economies of agglomeration. Oberhaus (2012) mendefinisikan agglomeration sebagai sekumpulan perusahaan dan perumahan, yang terletak dalam satu wilayah dengan konsentrasi spasial yang tinggi. Wilayah ini memiliki dua karakteristik: populasi yang padat dan infrastruktur buatan yang berfungsi untuk menyokong kegiatan-kegiatan ekonomi. Menurut O'Sullivan (2007), economies of agglomeration merupakan manfaat-manfaat yang diterima oleh perusahaan-perusahaan tersebut karena mereka terletak dekat satu sama lain secara spasial, atau dengan kata lain teraglomerasi. Kemudian, Quigley (2017) menjelaskan bahwa karakteristik tersebut merupakan faktor krusial di balik perbedaan produktivitas daerah urban dan rural, serta penyebab eksternalitas-eksternalitas positif yang dinikmati oleh para perusahaan di daerah urban. Berdasarkan O'Sullivan (2007) dan Quigley (2017), eksternalitas positif tersebut merupakan:

  1. Input Sharing: Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam satu industri serta menggunakan faktor produksi yang sama dapat mengurangi biaya transportasi karena jarak yang lebih dekat dengan produsen hulu. Dengan ini, perusahaan dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan spesialisasi.

  2. Labor Market Pooling: Daerah urban memberikan akses pasar tenaga kerja yang besar bagi para perusahaan, serta variasi dan jumlah profesi yang lebih banyak bagi para pekerja. Alhasil, proses pencarian dan pencocokkan pekerja menjadi lebih optimal.

  3. Knowledge Spillovers: Kepadatan daerah urban meningkatkan frekuensi interaksi antar individu maupun institusi, yang kemudian memfasilitasi pertukaran informasi yang lebih cepat. Karena itu perusahaan-perusahaan dapat belajar dari satu sama lain dengan mudah, dan kemudian terdorong untuk berinovasi.

Konsekuensi langsung dari eksternalitas-eksternalitas positif ini merupakan economies of scale, yakni penghematan biaya produksi per unit yang dialami oleh sebuah perusahaan karena biaya tetap mereka tersebar ke skala produksi yang lebih besar (Duranton & Puga, 1999). Dengan kata lain, struktur spasial yang sedemikian proksimal dapat memfasilitasi perusahaan-perusahaan untuk meningkatkan skala produksi mereka, yang sebaliknya tidak dapat dicapai di daerah rural karena minimnya aglomerasi. 

Ketiga poin di atas juga menjelaskan kenapa penentuan tema pengembangan wilayah merupakan keputusan yang tepat. Sebagaimana dipaparkan oleh aksioma Self-Reinforcing Effects dalam ekonomi urban (O'Sullivan, 2012), aktor ekonomi memiliki tendensi untuk lebih memilih tempat-tempat yang didiami oleh aktor ekonomi lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan diri mereka sendiri. Lantas, saat kegiatan perusahaan cukup mirip untuk melakukan Input Sharing, Labor Market Pooling, serta menikmati Knowledge Spillover, proksimitas dapat menjadi katalis bagi produktivitas mereka. Contohnya ada di mana-mana: Dari berbondong-bondongnya startup teknologi ke Lembah Silikon sampai klasterisasi sektor layanan keuangan di Wall Street. 

Manfaat untuk Semua 

Dalam sebuah studi empiris, Roberts dkk. (2019) menemukan bahwa di Indonesia, peningkatan 1% dalam Capacity Agglomeration (diproksikan oleh pangsa perusahaan dalam sebuah lokasi yang memiliki >50 pekerja) dapat meningkatkan Produktivitas Faktor Total sebesar 1,5 kali lipat, serta Produktivitas Tenaga Kerja sebesar 2,75 kali lipat. Penemuan ini didukung oleh Bernard dkk. (2007), yang menemukan bahwa selain lebih produktif, perusahaan di daerah urban juga lebih inovatif karena pembelanjaan riset dan pengembangan yang efisien. Selain itu, perusahaan urban juga lebih sering memproduksi barang dan jasa bernilai-tambah tinggi. Kedua penemuan ini lantas memiliki implikasi yang penting: Meningkatnya produktivitas berarti masyarakat dapat menikmati lebih banyak barang dan jasa dengan biaya yang sama, yang berarti bahwa urbanisasi sama-sama menguntungkan bisnis dan konsumen. 

Tingginya kegiatan ekonomi di daerah urban menyediakan masyarakat dengan pekerjaan-pekerjaan berpendapatan tinggi. Menurut studi World Bank (2019), peningkatan urbanisasi sebesar 1% di Indonesia mampu meningkatkan pendapatan per kapita sebesar 4% serta mengurangi kemiskinan sebesar 1%. Hubungan ini pun semakin menguat saat areal pertambangan yang notabene memiliki ketimpangan pendapatan yang tinggi (Reeson dkk., 2012) dieksklusikan dari sampel studi. Selain itu, berdasarkan Susenas BPS World Bank (2019) juga menemukan bahwa pusat-pusat perkotaan di Indonesia memiliki jumlah penduduk miskin dan rentan miskin yang paling rendah, baik secara persentase maupun absolut. 

 Peningkatan pendapatan tentunya tidak dapat lepas dari aksesibilitas layanan-layanan dasar seperti kesehatan dan sanitasi. World Bank (2019) menemukan bahwa daerah urban memiliki Angka Harapan Hidup (AHH) yang lebih tinggi,  karena hampir semua masyarakat urban di Indonesia sudah memiliki akses yang baik ke puskesmas, tempat persalinan, maupun rumah sakit. Selaras dengan Boyce & Brown (2019), peningkatan AHH memberikan insentif bagi masyarakat untuk berinvestasi lebih ke pendidikan, karena mereka memiliki lebih banyak waktu untuk produktif agar dapat meraup return dari pendidikan mereka. Selain itu, daerah urban di Indonesia juga memiliki higienitas yang lebih baik, dengan 9 dari 10 masyarakat urban yang sudah memiliki akses memadai ke air minum aman dan sanitasi (World Bank, 2019). Dengan ini, risiko penyebaran penyakit menular di kalangan anak-anak dapat berkurang, yang kemudian menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB). Sebagaimana diteliti Mehrotra dkk. (2000), penurunan AKB di negara-negara berkembang memiliki korelasi yang kuat dengan peningkatan produktivitas serta penurunan Rasio Dependensi. 

 

Konsekuensi yang Tidak Diinginkan

Melihat berbagai aspek positif yang ditawarkan, kita seyogianya juga mengamati apa saja aspek negatif yang mungkin ditimbulkan oleh urbanisasi. Selama dua puluh tahun terakhir, tepatnya 1996---2016, kontribusi urbanisasi di Indonesia terhadap kesejahteraan penduduk masih relatif kecil dibandingkan RRT serta negara-negara lain di Asia Timur dan Pasifik (World Bank, 2019). 

Grafik 3: Pertumbuhan Warga Urban dan PDB per Kapita di Indonesia, RRT, serta Asia Timur dan Pasifik 1996---2016 ⏐ Sumber: World Bank (2019)
Grafik 3: Pertumbuhan Warga Urban dan PDB per Kapita di Indonesia, RRT, serta Asia Timur dan Pasifik 1996---2016 ⏐ Sumber: World Bank (2019)
Salah satu penyebab dari keadaan ini adalah kehadiran faktor-faktor kepadatan (congestion forces) di kawasan metro di Indonesia. Faktor yang menghambat potensi urbanisasi ini datang dari fakta bahwa kawasan metro menawarkan kesempatan hidup yang lebih menarik. Sehingga, rencana pengembangan wilayah metropolitan tak dimungkiri akan mengangkat isu serupa.

Dari berbagai faktor kepadatan, salah satu yang populer adalah kemacetan dan implikasinya: polusi udara. Linn (1982) menyatakan bahwa keduanya adalah biaya ekonomi dari urbanisasi. Di Indonesia, tingkat polusi udara di sembilan dari sepuluh kota terbesarnya sudah menembus standar WHO (EPIC, 2019). Tingginya polusi udara kemudian dapat berdampak negatif bagi perekonomian dengan menurunkan produktivitas para pekerja (Zivin & Neidell, 2012). Sehubungan dengan hal itu, agenda pembangunan angkutan umum massal pun patut diapresiasi. Walaupun begitu, pemerintah sebaiknya tetap memperhatikan angkutan umum yang telah eksis seperti bus dan angkot. Menurut ITDP Indonesia (2019), implementasi angkutan umum massal tidak akan mencapai hasil yang optimal apabila pemerintah mengabaikan revitalisasi angkutan umum yang sudah ada.

Tidak jauh berbeda, urbanisasi kerap dihubungkan dengan isu lingkungan lainnya, yaitu bencana alam. Pada rentang tahun 2003---2017, hampir lima ribu bencana alam atau 25% dari total bencana alam di Indonesia terjadi di kawasan metro (BNPB dalam World Bank, 2019). Sejalan dengannya, Gunawan et. al (2015) menyatakan bahwa resiliensi perkotaan di Indonesia terhadap bencana alam kian melemah akibat maraknya pembangunan tanpa penegakan regulasi yang kuat. Kerugian konkret dari hal ini adalah 94% dari anggaran pascabencana tahun 2011 yang dialokasikan hanya untuk wilayah urban. Lemahnya resiliensi bangunan di perkotaan sendiri sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di skala yang lebih luas. Sekitar 18% dari jumlah perumahan di wilayah urban dunia tergolong sebagai struktur bangunan nonpermanen (IMechE, 2013). 

Dengan mempertimbangkan beberapa fakta di atas, pemerintah sudah seharusnya lebih memperhatikan rencana dan regulasi pembangunan wilayah metropolitan. Dalam studi yang sama, IMechE atau Institution of Mechanical Engineers turut menyarankan supaya pemerintah dapat mengupayakan kemitraan internasional untuk transfer pengetahuan tentang pembangunan berkelanjutan. Contoh kemitraan yang paling mendekatinya adalah Kerangka Kerja Aksi Hyogo yang diusung oleh PBB untuk tahun 2005---2015.

Tak sebatas dua masalah yang menyangkut lingkungan, urbanisasi juga kembali mengangkat isu ketimpangan yang semestinya turut diperhatikan. Pada Maret 2020, Rasio Gini di daerah perkotaan di Indonesia lebih tinggi 7,6 poin persentase daripada pedesaan (BPS, 2020). Besarnya ketimpangan di perkotaan dapat ditelusuri dari manfaat urbanisasi yang tidak terdistribusikan secara merata kepada semua pekerja. Di Jawa-Bali, peningkatan masa sekolah rata-rata selama setahun hanya menghasilkan return pendapatan sebesar 4,2% untuk pekerja berketerampilan rendah, sedangkan peningkatan yang sama bisa menghasilkan return 10,3% untuk pekerja berketerampilan tinggi (World Bank, 2019). Lebih lanjut, ketimpangan ikut diakibatkan oleh harga perumahan di tengah kota yang meroket dan sistem transportasi yang buruk. Keduanya menciptakan segregasi sosial yang kelak melemahkan knowledge spillover.

Menuju Urbanisasi yang Inklusif

Setelah menilik aneka konsekuensi yang ditimbulkan oleh urbanisasi, isu ketimpangan adalah pilihan yang tepat untuk diprioritaskan. Mengatasinya beribarat sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Untuk itu, ada beberapa rekomendasi kebijakan demi mencapai urbanisasi yang inklusif. Pertama, pemerintah harus menyesuaikan dan menargetkan kebijakannya untuk kelompok khusus seperti disabilitas dan perempuan. Di Indonesia, sekitar 9% dari penduduk yang berusia sepuluh tahun ke atas menyandang disabilitas (Fetty, 2019). Berkaitan dengan angka tersebut, lantas pemerintah harus mempertimbangkan mereka dalam semua pembahasan kebijakan, termasuk perencanaan urban. Pemerintah pada praktiknya bisa mendesain kawasan metro dengan pendekatan desain universal, misalnya menyisipkan alat bantu di fasilitas umum (UN, 2016). Pendekatan itu pun akan memperluas akses penyandang disabilitas ke berbagai fasilitas umum di perkotaan, mulai dari TIK hingga transportasi.

Kemudian, berbicara mengenai perempuan, mereka mungkin adalah kelompok yang paling terancam dari urbanisasi. Menurut BPS (2017), kekerasan terhadap perempuan lebih rentan terjadi di perkotaan, dengan tingkat prevalensi 36,3%, daripada pedesaan (29,8%). Fakta itu seketika memaksa pemerintah untuk menjamin keamanan perempuan di kawasan metro. Apalagi, Komnas Perempuan (2019) mencatat bahwa 24% dari total kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di ruang publik. Secara konkret, pemerintah bisa melibatkan lebih banyak perempuan dalam pendesainan kawasan metro, sehingga desain perkotaan tidak lagi by men & for men (World Bank, 2020). Lazimnya desain tersebut menciptakan ruang publik yang tidak ramah perempuan karena adanya stigma bahwa mereka sepantasnya berada di rumah saja.

Kedua, pemerintah harus meningkatkan integrasi kawasan metro untuk mengakselerasi knowledge spillover. Dalam penerapannya, pemerintah bisa mengenakan pajak yang tinggi untuk tanah yang menganggur di sana. Ketegasan tersebut amat penting dilakukan untuk mencegah praktik bank tanah, suatu bentuk penimbunan tanah demi keuntungan pribadi. Di Jabodetabek, hampir 20.000 hektare tanah dimiliki oleh developer swasta (Elmanisa et. al, 2017). Menurut estimasi peneliti, hampir satu juta rumah bisa didirikan, dan sekitar 4,24 juta orang bisa tertampung, dengan asumsi empat orang per satu rumah.

Selain tindakan yang dirasa keras, pemerintah bisa mengintegrasikan kawasan metro dengan pembangunan transit-oriented. Melalui tema tersebut, perumahan, pertokoan, dan halte transportasi umum akan ditempatkan secara berdekatan. Struktur wilayah yang proksimal ini diharapkan dapat meminimalisir penggunaan transportasi pribadi. Tak hanya itu, berkaca dari kota Seoul, pemerintah bisa meningkatkan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) di wilayah urban. Tujuan dari semuanya hanya satu: densifikasi. Menurut Mckinsey dalam World Bank (2019), densifikasi di kota San Diego sukses meningkatkan stok perumahan hingga 30%. Alhasil, pembangunan transit-oriented ini ikut mempermudah akses masyarakat ke rumah-rumah di kota metropolitan. 

Penutup

Rencana pengembangan wilayah metropolitan di Indonesia pada akhirnya patut didukung. Apalagi, kita sedang berada dalam situasi perekonomian yang tampaknya kurang bersahabat. Dengan berbagai manfaat yang ditawarkan olehnya, urbanisasi hadir sebagai kebijakan yang menjanjikan di tengah ketidakpastian ekonomi. Tak dimungkiri, urbanisasi memang menyisakan banyak kerugian yang efeknya bukan main untuk kita semua. Hal itu kemudian tidak semata-mata memaksa kita untuk mundur. Sebaliknya, menyadari kerugian tersebut justru menjadi kunci untuk mengoptimalkan potensi dari urbanisasi ini, yang semua dilakukan demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik (2017). Prevalensi Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia.  

Badan Pusat Statistik (2020). Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 Hasil SUPAS 2015. Diambil 6 September 2020, dari https://www.bps.go.id/publication/2018/10/19/78d24d9020026ad95c6b5965/proyeksi-penduduk-indonesia-2015-2045-hasil-supas-2015.html

Badan Pusat Statistik (2020). Gini Ratio Maret 2020 tercatat sebesar 0,381.Diambil 7 September 2020, dari https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/07/15/1748/gini-ratio-maret-2020-tercatat-sebesar-0-381.html

Bappenas (2020). Matriks Rencana Pembangunan Jangka Menengah IV 2020-2024. Diambil 6 September 2020, dari https://www.bappenas.go.id/id/berita-dan-siaran-pers/rencana-pembangunan-jangka-menengah-nasional-rpjmn-2020-2024/

 

Bappenas (2020). Narasi Rencana Pembangunan Jangka Menengah IV 2020-2024. Diambil 6 September 2020, dari https://www.bappenas.go.id/files/rpjmn/Narasi%20RPJMN%20IV%202020-2024_Revisi%2028%20Juni%202019.pdf

Chen, D. H., A., A., Abriningrum, D. E., Darko, F. A., Hapsari, I. M., . . . Yoong, P. S. (2018). Indonesia Economic Quarterly, September 2018. World Bank. Diambil 7 September 2020, dari http://documents1.worldbank.org/curated/en/498361537371495086/pdf/Indonesia-Economic-Quarterly-Urbanization-for-All.pdf

Elmanisa, A., Kartiva, A., Fernando, A., Arianto, R., Winarso, H., & Zulkaidi, D. (2017). Land Price Mapping of Jabodetabek, Indonesia. Geoplanning: Journal of Geomatics and Planning, 4(1), 53-62.

Greenstone, M., & Fan, C.F. (2019). Indonesia's Worsening Air Quality and its Impact on Life Expectancy. Energy Policy Institute at The University of Chicago. Diambil 7 September 2020, dari https://aqli.epic.uchicago.edu/wp-content/uploads/2019/03/Indonesia-Report.pdf

Gunawan,Iwan; Sagala,Saut Aritua Hasiholan; Amin,Suryani; Zawani,Hoferdy; Mangunsong,Ruby Tumiar Juliana (2016). City risk diagnostic for urban resilience in Indonesia (English). Washington, DC: World Bank Group. Diambil 7 September 2020, dari  http://documents.worldbank.org/curated/en/699691468179059268/City-risk-diagnostic-for-urban-resilience-in-Indonesia

Institute for Transportation and Development Policy Indonesia (2019). Public Transport Reform Guideline for Indonesian Cities. Diambil 7 September 2020, dari http://www.itdp-indonesia.org/wp-content/uploads/2019/01/Public-Transport-Reform-Guideline-for-Indonesian-Cities-Mobilize-Revisi-1-1.pdf

Institution of Mechanical Engineers (2013). Natural Disasters: Saving Lives Today, Building Resilience for Tomorrow. Diambil 7 September 2020, dari https://www.imeche.org/docs/default-source/1-oscar/reports-policy-statements-and-documents/natural-disasters---saving-lives-today-building-resilience-for-tomorrow.pdf?sfvrsn=0

Ismandari, Fetty (2019). Infodatin: Disabilitas. Kementerian Kesehatan RI.

Komnas Perempuan (2020). Kekerasan Meningkat: Kebijakan Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Membangun Ruang Aman bagi Perempuan dan Anak Perempuan. 

Linn, J. (1982). The Costs of Urbanization in Developing Countries. Economic Development and Cultural Change, 30(3), 625-648. Diambil 7 September 2020, dari http://www.jstor.org/stable/3203209

Mengenal Proyek 10 Metropolitan Baru yang Pengembangannya Dipercepat - Bisnis Katadata.co.id. (2020). Diambil 23 August 2020, dari https://katadata.co.id/sortatobing/berita/5f17e12891c4f/mengenal-proyek-10-metropolitan-baru-yang-pengembangannya-dipercepat

O'Sullivan, A. (2019). Introduction and Axioms of Urban Economics. In 917876737 721226056 A. O'Sullivan (Author), Urban economics. New York, NY: McGraw-Hill/Irwin.

Odbert, C., Mulligan, J., Jewell, R., Ohler, S., Elachi, L., Kiani, N., & Rempe, S. (2020). Handbook for Gender-Inclusive Urban Planning Design. World Bank.

Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. (2020). Mengapa Penduduk Desa Pindah ke Kota?. Diambil 6 September 2020, dari https://kependudukan.lipi.go.id/id/kajian-kependudukan/664-mengapa-penduduk-desa-pindah-ke-kota#:~:text=Banyaknya%20pilihan%20pekerjaan%20yang%20tersedia,dibanding%20upah%20kerja%20di%20desa.&text=Di%20samping%20faktor%20ekonomi%2C%20beberapa,penduduk%20desa%20ke%20wilayah%20perkotaan.

Quigley, J.M. (2019) Urbanization, Agglomeration, and Economic Development (2020). Diambil 6 September 2020, dari http://documents1.worldbank.org/curated/pt/298101468176683270/pdf/470610PUB0Urba101OFFICIAL0USE0ONLY1.pdf

Roberts, Mark; Gil Sander, Frederico; Tiwari, Sailesh. (2019). Time to ACT : Realizing Indonesia's Urban Potential. Washington, DC: World Bank. World Bank. Diambil 7 September 2020, dari https://openknowledge.worldbank.org/handle/10986/31304  

The United Nations Department of Economic and Social Affairs (2018).  68% of the world population projected to live in urban areas by 2050, says UN | UN DESA Department of Economic and Social Affairs. (n.d.). Diambil September 06, 2020, dari https://www.un.org/development/desa/en/news/population/2018-revision-of-world-urbanization-prospects.html

Zivin, J., & Neidell, M. (2012). The Impact of Pollution on Worker Productivity. The American Economic Review, 102(7), 3652-3673. Retrieved September 7, 2020, from http://www.jstor.org/stable/41724649

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun