Pada masa Revolusi Industri pertama, tak lebih dari 7,3% populasi dunia hidup di daerah urban (OWID, 2016). Proses industrialisasi yang pesat lantas meningkatkan permintaan akan tenaga kerja serta perumahan, yang kemudian membentuk klaster-klaster urban yang kita kenal sebagai kawasan perkotaan. Saat ini, setidaknya 55% dari penduduk dunia tinggal di daerah perkotaan, sebuah angka yang diproyeksikan untuk meningkat ke 68% pada tahun 2050 (UN DESA, 2016). Indonesia pun tak luput dari fenomena ini. Walau sebaran populasi rural-urban di Indonesia masih seimbang pada tahun 2010, BPS (2016) memproyeksikan tren peningkatan pangsa populasi daerah urban yang konsisten untuk beberapa tahun mendatang.
Pengembangan Sepuluh Wilayah Metropolitan Baru dalam RPJMN 2020-2024
Pada awal Juli 2020, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto kembali mensinyalir rencana pemerintah dalam mengembangkan sepuluh wilayah metropolitan selain ibu kota negara baru. Sebagai bagian dari RPJMN 2020-2024, pemerintah mengklaim bahwa rencana ini merupakan sarana untuk merealisasikan target pertumbuhan ekonomi, serta upaya untuk menyamaratakan pembangunan di luar Pulau Jawa. Memang, dapat dimengerti jika pemerintah ingin bergeser dari paradigma pembangunan Jawa-sentris, mempertimbangkan bahwa Pulau Jawa berkontribusi 59% terhadap PDB serta 54% terhadap populasi nasional (BPS, 2019). Tak sekadar proyek pembangunan semata, sepuluh wilayah metropolitan ini juga akan dikembangkan dengan tema yang didasarkan pada ciri khas masing-masing wilayah, sebagai berikut:
Mengapa Perekonomian Daerah Urban Lebih Produktif?
Wilayah perkotaan seringkali digambarkan sebagai episentrum perekonomian yang berproduktivitas tinggi. Mengapa ini dapat terjadi? Jawabannya adalah economies of agglomeration. Oberhaus (2012) mendefinisikan agglomeration sebagai sekumpulan perusahaan dan perumahan, yang terletak dalam satu wilayah dengan konsentrasi spasial yang tinggi. Wilayah ini memiliki dua karakteristik: populasi yang padat dan infrastruktur buatan yang berfungsi untuk menyokong kegiatan-kegiatan ekonomi. Menurut O'Sullivan (2007), economies of agglomeration merupakan manfaat-manfaat yang diterima oleh perusahaan-perusahaan tersebut karena mereka terletak dekat satu sama lain secara spasial, atau dengan kata lain teraglomerasi. Kemudian, Quigley (2017) menjelaskan bahwa karakteristik tersebut merupakan faktor krusial di balik perbedaan produktivitas daerah urban dan rural, serta penyebab eksternalitas-eksternalitas positif yang dinikmati oleh para perusahaan di daerah urban. Berdasarkan O'Sullivan (2007) dan Quigley (2017), eksternalitas positif tersebut merupakan:
Input Sharing: Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam satu industri serta menggunakan faktor produksi yang sama dapat mengurangi biaya transportasi karena jarak yang lebih dekat dengan produsen hulu. Dengan ini, perusahaan dapat menekan biaya produksi dan meningkatkan spesialisasi.
Labor Market Pooling: Daerah urban memberikan akses pasar tenaga kerja yang besar bagi para perusahaan, serta variasi dan jumlah profesi yang lebih banyak bagi para pekerja. Alhasil, proses pencarian dan pencocokkan pekerja menjadi lebih optimal.
Knowledge Spillovers: Kepadatan daerah urban meningkatkan frekuensi interaksi antar individu maupun institusi, yang kemudian memfasilitasi pertukaran informasi yang lebih cepat. Karena itu perusahaan-perusahaan dapat belajar dari satu sama lain dengan mudah, dan kemudian terdorong untuk berinovasi.