Dalam beberapa dekade terakhir, kenaikan pendapatan, seperti hak siar televisi, dan sponsor telah menjadi faktor utama komersialisasi dunia olahraga secara besar-besaran (Ward et al., 2012). Sebagai salah satu cabang olahraga terpopuler di dunia, industri sepak bola turut menikmati lonjakan pendapatan ini, terutama klub-klub sepak bola di Eropa. Beberapa liga sepak bola kelas satu di Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Spanyol telah lama menjadi kiblat persepakbolaan bagi banyak penggemar olahraga pertandingan tersebut. Komersialisasi pertandingan sepak bola kemudian berimplikasi pada derasnya arus modal yang masuk ke dalam klub sepak bola.Â
Di Eropa, Tottenham Hotspurs menjadi klub pertama yang membuka diri menjadi Public Limited Company (PLC) pada 1983 melalui Initial Public Offering (IPO) di Pasar Saham London. Dengan demikian, siapapun dapat membeli sebagian kepemilikan dari klub asal London tersebut. Langkah The Lilywhites, julukan Tottenham, membuka diri di pasar saham dinilai sebagai sebuah kesuksesan dari segi finansial. Kesuksesan tersebut terlihat dari jumlah permintaan lembar saham yang empat kali melebihi jumlah yang ditawarkan. Selanjutnya, beberapa klub besar di dataran Eropa mengikuti langkah mereka. Diantaranya Manchester United pada 1991; AC Milan, klub ibukota Italia; dan Ajax Amsterdam pada 1998. Meskipun demikian, tidak semua klub sepak bola yang melakukan IPO untuk pertama kali mencatatkan kesuksesan seperti yang dialami Tottenham Hotspurs. Sebagai contoh, ketika Manchester United, salah satu klub paling dominan di Liga Primer Inggris, melakukan IPO untuk pertama kali, hanya setengah bahkan kurang dari total saham yang ditawarkan yang akhirnya terjual di bursa saham (Morrow, 1999).
Akselerasi pertumbuhan pendapatan dan derasnya arus modal yang keluar-masuk industri sepak bola juga berpengaruh pada kegiatan operasional klub sepak bola di Eropa. Banyak dari klub tersebut kian ambisius untuk mengejar tidak hanya prestasi olahraga, tetapi juga "prestasi" finansial. Ambisi tersebut diwujudkan melalui pembangunan skuad berisi pemain berbakat dari mancanegara hingga penguatan akademi sepak bola usia muda. Selain itu, dari sisi komersial, penguatan terhadap klub sepak bola sebagai brand global juga dilakukan (Ward et al., 2012). Dengan demikian, klub sepak bola mampu menggaet banyak suporter dan sponsor dari luar negeri.
Arus kapitalisasi yang masif pada klub-klub sepak bola seantero Eropa menjadikan industri ini kian menarik untuk diteliti dari berbagai segi, termasuk ekonomi. Penanaman modal melalui pembelian saham di bursa efek kemudian menginspirasi Baur dan McKeating untuk melakukan studi mengenai dampak IPO terhadap performa kompetitif klub-klub sepak bola Eropa di atas lapangan. Mereka menggunakan rata-rata poin yang didapat sebuah klub di setiap pertandingan dan UEFA performance coefficient, sebuah ukuran performa klub di kompetisi se-Eropa yang dirilis secara resmi oleh Union of European Football Associations (UEFA). Dengan membandingkan performa di atas lapangan sebelum dan sesudah IPO, mereka menyimpulkan bahwa secara umum, tidak ada perbaikan performa di lapangan. Bahkan, dari hasil empiris ditemukan bahwa banyak klub yang justru memiliki performa yang lebih buruk setelah IPO (Baur dan McKeating, 2009).
Riset lebih jauh menginvestigasi munculnya indikasi krisis finansial yang sistematis diantara klub-klub sepak bola pada akhir dekade 1990-an hingga awal 2000-an. Padahal, pada tahun-tahun tersebut, pertumbuhan pendapatan agregat industri sepak bola Eropa sedang meningkat secara signifikan.Â
Riset tersebut menyimpulkan bahwa masalah finansial yang dihadapi oleh klub sepak bola utamanya disebabkan oleh tata kelola perusahaan yang buruk serta strategi finansial yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan di masa depan, misalnya pengeluaran dan hutang yang berlebihan (Lago et al., 2006). Hal ini membuktikan bahwa derasnya arus modal yang masuk ke dalam industri sepak bola harus diperhatikan dengan cermat demi menunjang keberlanjutan industri. Tidak seperti kebanyakan industri lain, klub sepak bola secara tidak langsung bergantung pada "kompetitor" mereka. Di kebanyakan industri, ketika satu atau beberapa kompetitor mengalami kerugian atau masalah finansial lainnya, hal tersebut dapat dipandang sebagai keuntungan bagi sebuah perusahaan karena permintaan yang meningkat. Akan tetapi, dalam kasus sepak bola, sebuah klub sepak bola tidak mungkin bermain tanpa "bantuan" dari rival-rivalnya. Kondisi tersebut sebenarnya identik dengan industri perbankan yang secara tidak langsung terdapat interdependensi antar bank (Lago et al., 2006).
Koperasi di Tengah Arus KapitalisasiÂ
Derasnya arus kapital yang keluar-masuk industri sepak bola semakin memperkuat eksistensi klub-klub sepak bola sebagai entitas bisnis. Banyak dari klub sepak bola di Eropa yang berbentuk perseroan semakin fokus mengejar keuntungan. Tentu saja keuntungan memang hal yang diharapkan para investor. Akan tetapi, hal tersebut memunculkan pertanyaan baru mengenai hakikat klub sepak bola. Klub sepak bola mengalami konflik peran antara entitas bisnis yang mengejar keuntungan dan institusi sosial (Morrow, 2003). Di satu sisi, arus kapital yang bebas masuk ke dalam organisasi klub sepak bola memungkinkan manajemen klub untuk mengembangkan skuad pemain dan fasilitas yang mereka miliki. Di sisi lain, hubungan antara suporter dan klub menjadi sebatas konsumen dan produsen. Kecintaan para penggemar terhadap klub mereka sangat rentan untuk dieksploitasi bagi keuntungan para pemegang saham klub tersebut (Adams dan Armitage, 2004).
Secara tradisional, kebanyakan klub sepak bola di Eropa dibentuk oleh perusahaan lokal atau masyarakat di suatu daerah tertentu. Bayer Leverkusen, misalnya, pada mulanya dibentuk oleh karyawan Bayer, perusahaan farmasi asal Jerman. Sementara itu, beberapa klub seperti FC Barcelona, Real Madrid, dan Athletic Bilbao dari Spanyol dibentuk oleh anggota masyarakat di sebuah kota. Hingga saat ini FC Barcelona dimiliki oleh 141.846 anggota (FC Barcelona, 2019). Sedangkan, Real Madrid dimiliki oleh 93.176 anggotanya (Real Madrid, 2019). Setiap anggota tersebut mendapatkan hak-hak istimewa sebagai balas jasa dari modal yang diberikan ketika mendaftar sebagai anggota. Hak-hak tersebut di antaranya harga tiket menonton pertandingan yang lebih murah hingga hak untuk memilih presiden klub dan jajaran direksi klub lainnya (Khan, 2010). Bentuk kepemilikan berbasis keanggotaan dengan orientasi "non-profit" sangat identik dengan bentuk badan usaha koperasi yang kita kenal di Indonesia.
Bentuk kepemilikan berbasis anggota pada klub sepak bola Eropa umumnya lebih banyak ditemukan di Spanyol dan Jerman dibandingkan negara lain. Keterikatan historis dan kultural antara anggota masyarakat dan klub sepak bola melahirkan basis suporter yang tidak hanya mendukung, tetapi juga memiliki klub tersebut. Keterikatan tersebut kerap kali didasari oleh identitas politik dan kebangsaan masyarakat tertentu. Misalnya, FC Barcelona yang mewakili masyarakat Katalunya, sebuah daerah otonom di timur laut Spanyol. Alih-alih hanya berperan sebagai konsumen, bentuk kepemilikan berbasis keanggotaan memungkinkan suporter untuk terlibat dalam pengambilan keputusan di dalam organisasi melalui pemilihan jajaran direksi. Selain itu, bentuk kepemilikan dengan orientasi non-profit juga memungkinkan klub sepak bola untuk lebih fokus pada pencapaian prestasi olahraga ketimbang meraih keuntungan. Fokus pada pencapaian prestasi membuat keuntungan operasional yang didapat oleh sebuah klub kebanyakan akan diinvestasikan kembali untuk pengembangan skuad pemain dan fasilitas penunjang. Dalam berbagai kasus, kuatnya interaksi antara suporter dan klub justru memberikan keamanan finansial bagi sebuah klub sepak bola. Hal tersebut disebabkan oleh kerelaan para anggota dan otoritas lokal untuk menyokong keberlanjutan organisasi (Ascari dan Gagnepain, 2006).
Masa Depan Gerakan Koperasi Klub Sepakbola