“Milenial”, sebuah terminologi yang sudah sering bersliweran di telinga hingga menjadi headline sebuah berita. Milenial merupakan kelompok demografi yang lahir pada rentang awal tahun 1980-an hingga awal 2000-an. Meskipun demikian, sampai sekarang, batas kelahiran dari seseorang hingga bisa disebut milenial masihlah abu-abu. Salah satu yang membedakan milenial dengan generasi lain seperti generasi X maupun babyboomer adalah kebiasaan mereka dalam menggunakan uang.
Menurut laporan Charles Schwab pada tahun 2017, generasi milenial lebih tertarik menggunakan uang mereka untuk membeli kenyamanan dan kemudahan. Lebih dari itu, generasi milenial lebih tertarik dengan kebebasan dalam mengeksplorasi layanan maupun produk sesuai dengan keinginan mereka.Goldman Sachs (2015), dalam infografik mereka mengenai pola hidup milenial, menyebutkan bahwa milenial lebih tertarik pada akses bukan kepemilikan. Sebagai contoh, pada tahun 2016, CNBC Amerika Serikat merilis berita mengenai tingkat kepemilikan rumah di Amerika Serikat turun sebesar 62,9%. Angka ini menjadi titik terendah sejak tahun 1965. Hal ini disebabkan oleh pola konsumsi milenial yang cenderung menunda pembelian “besar” dan lebih memilih untuk menyewa. Lebih dari itu, ketertarikan milenial untuk menikmati akses yang bebas ternyata juga merambah pada dunia hiburan yang sekarang lebih dikenal sebagai streaming media.
Kebiasaan milenial ini menyebabkan perusahaan yang menyediakan layanan streaming menggunakan subscription model dalam menjalankan bisnis mereka. Netflix dan Spotify, misalnya. Perusahaan tersebut tidak menggunakan model fix subscription atau langganan tetap, dimana konsumen membayarkan uang untuk seperangkat layanan atau produk yang tetap. Akan tetapi, konsumen diberikan kebebasan yang sangat luas untuk mengeksplorasi produk atau layanan yang tersedia. Tentu layanan tersebut menjadi alternatif yang sangat cocok dengan gaya hidup milenial.
Berdasarkan data yang dirilis Statista pada tahun 2017, pengguna Spotify di Amerika Serikat didominasi oleh milenial dengan 29% pengguna berusia 25-34 tahun dan 26% pengguna berusia 18-24 tahun. Netflix juga menunjukkan data penggunaan yang hampir serupa, sebanyak 24% pengguna berusia 18-24 tahun dan 25% berusia 25-34 tahun. Angka-angka tersebut tentulah tidak kecil. Data dari kedua platform itu menjadi gambaran bahwa sebagian besar dari pengguna layanan mereka berasal dari generasi milenial.
What Millennials Might Think
Pola kecenderungan milenial dalam mengkonsumsi suatu hal, khususnya streaming media tentu tidak terjadi begitu saja tanpa alasan. Dalam ekonomi, fenomena pola konsumsi milenial ini tidak lepas dari konsep Behavioral Economics. Paham Behavioral Economics ini sering dijadikan dasar argumen yang menentang paham ekonomi neo-klasik yang melihat manusia sebagai homo economicus yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk rasional yang mepertimbangkan utilitas maksimum dalam mengambil keputusan. Behavioral Economics ini merupakan sebuah gabungan dari teori psikologi dan ekonomi yang menekankan bahwa manusia tidak selalu rasional dalam mengambil sebuah keputusan. Hal ini disebabkan karena dalam mengambil keputusan, manusia tidak lepas dari aspek sosial, psikologi bahkan emosi.
Pada dasarnya, konsep ini sudah disinggung oleh Adam Smith dalam bukunya yang berjudul The Theory of Moral Sentiments, Smith berpendapat jika moralitas berpengaruh dalam pengambilan keputusan manusia. Tidak hanya itu, Smith juga berpendapat jika pada dasarnya kebiasaan manusia itu terbentuk dari hasrat dari dalam diri sendiri dan dari perspektif orang lain (Ashraf et al., 2005). Paham bahwa aspek psikologis berpengaruh dalam pengambilan keputusan mulai lebih dikenal setelah Tversky dan Kahneman mempublikasikan risetnya yang berjudul Prospect Theory: An Analysis of Decision Under Risk. Tversky dan Kahneman menyatakan bahwa dalam menentukan pilihan yang tidak beresiko dan tidak pasti, seseorang lebih cenderung memilih sesuatu berdasarkan utilitas terbaik menurut mereka dibanding pada hasil akhir (Samson, 2014). Penelitian Tversky dan Kahneman ini menjadi titik baru dalam ekonomi modern, riset ini menjadi awal dari ditemukannya beberapa konsep yang bisa digunakan untuk menilik alasan mengapa milenial tertarik untuk berlangganan media streaming.
The Pain of Losing Is More Painful than The Pleasure of Earning
Pada saat memutuskan untuk membayar layanan, tentu seseorang akan melakukan pertimbangan. Hal ini juga berlaku bagi milenial ketika memutuskan untuk berlangganan media streaming seperti Netflix atau Spotify. Sebagai gambaran, biaya berlangganan Spotify di Indonesia mulai dari Rp49.990,00 sedangkan harga dari satu album fisik yang dijual di pasaran bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Hal yang serupa juga ada pada Netflix. Biaya berlangganan Netflix di Indonesia memiliki rentang antara Rp49.000,00 hingga Rp169.000,00. Sedangkan harga dari film dalam format DVD fisik biasanya harganya juga mencapai ratusan bahkan jutaan rupiah. Dengan demikian, kebanyakan harga dari film atau lagu yang dijual secara fisik cenderung lebih mahal dibanding dengan biaya untuk berlangganan media streaming. Tidak menutup kemungkinan jika hal ini menimbulkan bias dan menyebabkan milenial mulai beralih ke media streaming untuk menikmati hiburan.
Bias yang dialami oleh milenial untuk tidak membeli sesuatu yang memiliki harga yang lebih mahal disebut sebagai Loss Aversion. Loss Aversion merupakan kecenderungan orang untuk menghindari sebuah kerugian. Sebagai contoh, ada dua orang yang sama-sama diberi uang oleh seseorang dermawan. Orang pertama mendapat 10 roti dan orang kedua diberi 15 roti. Akan tetapi, ada suatu kejadian yang menyebabkan lima roti dari orang kedua jatuh dan tidak bisa dikonsumsi lagi. Dengan demikian kedua orang tersebut memiliki jumlah roti yang sama. Secara rasional, seharusnya kedua orang tersebut memiliki rasa senang yang sama karena sama-sama memiliki jumlah roti yang sama yaitu 10. Akan tetapi, orang pertama merasa lebih senang dibanding orang kedua karena orang pertama tidak merasakan kehilangan sejumlah roti itu.
Smith (Loewenstein et al., 2005) dalam bukunya The Theory of Moral Sentiments menyebutkan bahwa rasa sakit pada hampir segala situasi terasa lebih menyengat dibandingkan rasa senang. Dari beberapa bukti yang sudah ditemukan, perbandingan antara tingkat kemiringan nilai ketika memperoleh keuntungan yang normal dan ketika kehilangan uang adalah sekitar 1:2 (Kahneman & Knetsch, 1991). Dengan demikian, sensasi sakit bagi psikis saat kehilangan sekitar dua kali lebih besar dibanding kesenangan saat memperoleh.
Hal ini berlaku bagi milenial saat memilih untuk berlangganan media streaming. Milenial cenderung tidak mau mengeluarkan uang dengan nominal yang sama atau bahkan lebih banyak hanya untuk mendapat kepemilikan sebuah CD maupun DVD fisik.Milenial menganggap jika mengeluarkan uang lebih untuk membeli ownership —dalam hal ini berarti CD atau DVD— merupakan sebuah kerugian. Karena pada saat yang sama mereka memiliki opsi untuk berlangganan pada media streaming dengan harga yang relatif lebih murah. Dengan demikian, milenial lebih tertarik untuk membayar sejumlah uang yang relatif lebih kecil untuk berlangganan Netflix atau Spotify sebagai cara mereka dalam mencari hiburan.
Influenced by Social
Hal yang sering dikaitkan kepada milenial adalah terkait dengan pengalaman. Milenial terkenal sebagai generasi yang suka mengalokasikan uang untuk mencari sebuah pengalaman, tak terkecuali hiburan. Dalam hal ini, milenial tertarik untuk berlangganan media streaming seperti Netflix dan Spotify. Selain karena adanya kecenderungan untuk mengeluarkan uang dalam skala yang kecil, milenial lebih memilih menggunakan media streaming karena mereka memiliki kebebasan dalam mengakses layanan yang sudah disediakan. Dengan demikian, milenial merasa memiliki utilitas lebih saat berlangganan pada media streaming. Sebagai contoh, seseorang yang telah berlangganan Netflix bisa dengan bebas memilih berbagai judul serial maupun film. Bahkan, beberapa serial adalah serial khusus yang hanya bisa dinikmati melalui Netflix. Hal serupa juga dilakukan Spotify. Seseorang yang telah berlanggan bisa mengakses jutaan lagu yang terdaftar sesuai dengan keinginan mereka masing-masing.
Selain itu, dalam menentukan pilihan, tak jarang milenial menggunakan social proof. Social proof adalah sebuah tendensi untuk melihat kebiasaan orang lain yang akan mempengaruhi kebiasaan diri sendiri. Tidak hanya itu, social proof merupakan pengaruh informasional yang bisa mengarah pada pembentukan kebiasaan kelompok (Samson, 2014).
Adanya social proof bisa dilihat dari kebiasaan milenial untuk melihat rating atau review dari sebuah layanan atau produk yang akan mereka konsumsi. Sebagai contoh, sebelum berlangganan Netflix, beberapa orang akan menanyakan kualitas aplikasi itu dibanding media lain. Seseorang akan mencari review terhadap aplikasi itu baik melalui orang terdekat atau melalui internet. Semakin banyak review positif mengenai aplikasi tersebut maka, semakin banyak orang yang akan terpengaruh untuk ikut menggunakan. Dengan demikian, banyaknya ulasan positif dari dunia maya maupun dari lingkup pergaulan terhadap media streaming seperti Netflix atau Spotify secara tidak langsung akan mempengaruhi milenial untuk melanggan layanan itu.
Pada lain sisi, hal ini juga berimbas pada penjualan film atau lagu. Berdasarkan CNBC, penjualan DVD di Amerika Serikat pada tahun 2018 turun sekitar 86% dalam 13 tahun terakhir. Hal serupa juga dialami industri musik. Menurut infografik yang dikeluarkan oleh Statista (2020), penjualan CD album terus mengalami penurunan. Penjualan CD album pada tahun 2019 turun sebesar 95% sejak tahun 2000. Penurunan ini menjadi level terendah sejak tahun 1986 yang lalu.
Conclusion
Gaya hidup milenial memang cukup berbeda dibanding gaya hidup generasi sebelumnya. Kecenderungan milenial untuk tidak mengeluarkan uang dalam jumlah besar untuk mendapat sebuah kepemilikan menyebabkan banyak milenial yang lebih suka untuk berlangganan.
Digitalisasi di hampir segala aspek menyebabkan informasi dapat dicari dengan sangat cepat. Validasi dari berbagai pihak akan mempengaruhi pola pikir milenial dalam mengkonsumsi sebuah hiburan. Media streaming semakin hari semakin diminati disaat kepingan CD dan DVD perlahan semakin sedikit yang mencari.
Pada akhirnya, milenial memiliki alasan tersendiri dalam memilih sebuah layanan hiburan. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri jika dalam mengambil keputusan ada beberapa bias yang melatarbelakangi. Ayaydın & Baltaci (dalam Madrigal Moreno et al., 2017) mengatakan bahwa milenial mencari sesuatu yang sesuai dengan kepribadian, gaya hidup dan nilai dari kelompok mereka. Dengan demikian, mereka dapat menunjukan identitas mereka.
Referensi
Barua, Akrur & Hogan, Susan. (2018). “What Weighs on Millennials’ minds… and wallets?”. Retrieved April 9, 2020
Charles-Schwab. (2017). “Modern Wealth Index 2017”. Retrieved April 9, 2020
Goldman-sachs. (2015). “Millennials Coming of Age”. Retrieved April 9, 2020
Kahneman, D., Knetsch, J., & Thaler, R. (1991). Anomalies: The endowment effect, loss aversion, and status quo bias. Journal of Economic Perspectives, 5(1), 193-206.
Loewenstein, George & Ashraf, Nava & Camerer, Colin. (2005). Adam Smith, Behavioral Economist. Journal of Economic Perspectives. 19. 131-145. 10.1257/089533005774357897.
Madrigal Moreno, Flor & Gil Lafuente, Jaime & Avila, Fernando & Madrigal Moreno, Salvador. (2017). The Characterization of the Millennials and Their Buying Behavior. International Journal of Marketing Studies. 9. 10.5539/ijms.v9n5p135.
Olick, Diana (2016, July 28). “Millennials cause homeownership rate to drop to lowest level since 1965”. Retrieved April 9, 2020.
Ritcher, Felix (2020, February 27). “The Rise and Fall of the Compact Disc”. Retrieved April 9, 2020.
Samson, A. (Ed.)(2014). The Behavioral Economics Guide 2014 (with a foreword by George Loewenstein and Rory Sutherland) (1sted.). Retrieved from http://www.behavioraleconomics.com.
Savage, Mark. (2019, January 3). “Is This The End of Owning Music?”. Retrieved April 9, 2020.
Waston, Amy (2018, March 11). “Share of Spotify users in the United States as of March 2018, by age”. Retrieved April 9, 2020.
Whitten, Sarah. (2019, November 8). “The death of the DVD: Why sales dropped more than 86% in 13 years”. Retrieved April 9, 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H