Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Posthumous Music: Fame After Life

9 Juni 2019   17:48 Diperbarui: 9 Juni 2019   17:55 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Samuel Sitorus, Ilmu Ekonomi 2018, Staf Departemen Kajian dan Penelitian 2019.

Kata "posthumous" mempunyai arti lahir setelah kematian ayah, terbit setelah kematian pengarang, dan terjadi setelah kematian (Merriam-Webster, 2019). Dalam industri musik sendiri  dikenal juga istilah posthumous music. Berdasarkan definisinya, maka posthumous music/album dapat diartikan sebagai lagu/album yang dirilis setelah sang Musikus wafat.

Posthumous music sendiri bukan merupakan hal yang baru di dunia musik. Frdric Chopin, seorang musikus asal Polandia, menciptakan 65 opus (lagu) yang diberi judul opus 1-65. Frdric Chopin kemudian wafat pada 1849. Namun, pada tahun 1855-1859, Julian Fontana (Rekan musikus Chopin) dan Ludwika Jedrzewicz (Saudari Chopin) kembali merilis hasil karya Chopin yang diberi judul op. 66-74. Fontana turut berkontribusi dalam menyelesaikan sembilan opus yang belum sempat diselesaikan oleh Chopin semasa hidupnya (Smialek, 2000:138). Ini merupakan posthumous music pertama di dunia dan menginspirasi banyak praktik serupa yang dirilis kedepannya.

Ada banyak jenis musik yang telah dirilis secara posthumous. Contoh yang paling populer adalah musik yang produksinya terhenti ketika sang musikus wafat di tengah proses pengerjaannya. Rekaman setengah jadi ini kemudian akan diselesaikan oleh produser rekaman dan rekan sesama musikus yang kemudian merilis musik yang telah jadi secara posthumous

 Contohnya seperti yang dilakukan oleh Queen pada tahun 1995. Setelah Freddie Mercury, sang vokalis, didiagnosis dengan HIV/AIDS, ia dan seluruh anggota Queen bersama merekam sebanyak-banyaknya musik dan demo hingga kematian Freddie pada 1991. Kemudian pada 1995, Queen merilis hasil usaha mereka yang diberi judul "Made In Heaven" secara posthumous dan sebagai penghormatan kepada rekan vokalis mereka, Freddie Mercury. 

Contoh lainnya adalah seperti yang dilakukan oleh tim Jahseh Dwayne Onfroy alias XXXTentacion, seorang rapper asal Amerika yang pada pertengahan 2018 dibunuh di Florida, Amerika Serikat, saat ia sedang berada di puncak karir dan baru saja merilis album berjudul "?." Namun, tidak sampai setahun setelah kematiannya, tim XXXTentacion mampu merilis karya-karyanya yang belum diselesaikan, yakni album "Skins" dan lagu "Falling Down", serta "Scared Of The Dark".

Pada minggu pertama perilisannya, album "Skins" sudah menorehkan pencapaian yang mengagumkan, tercatat sampai dengan tanggal 13 Desember 2018: (1) perolehan posisi nomor 1 pada tangga lagu Billboard's Top 200 (2) penjualan sebesar 132.000 TEA (Track Equivalent Albums), dan (3) 78.000 SEA (Streaming Equivalent Album) yang setara dengan 121.8 juta audio streams. Album tersebut bertahan selama delapan belas minggu di tangga lagu Billboard. 

Angka-angka fantastis untuk sebuah album yang dirilis secara posthumous. Lalu, hal apa yang sebenarnya memberi kesuksesan sebuah karya posthumous? 

Rosy Retrospection

Rosy retrospection adalah tendensi psikologis manusia untuk menilai dan mengingat sebuah kejadian secara tidak proporsional. Dalam kasus ini, ingatan manusia akan cenderung terdistorsi akan hal yang lebih disukai (favorable) orang itu ketimbang memori asli yang utuh (Sutton, 1992). Sebagai ilustrasi, pada tahun 1992, Robert Sutton melakukan penelitian terhadap para pengunjung Disneyland sebelum, saat, dan sesudah mereka berkunjung. Hasil yang ditemukan peneliti sangatlah menarik.

Pada survei pertama, yang dilakukan sebelum mereka pergi berkunjung, semua responden mengatakan bahwa mereka sangat tertarik dan antusias akan kesempatan tersebut. Survei kedua dilakukan ketika mereka mengunjungi "happiest place on earth" tersebut. Hasil survei kedua ini menunjukkan pengalaman yang kurang menyenangkan, terutama disebabkan oleh keramaian dan jumlah pengunjung, gangguan dari anak-anak, serta kualitas makanan yang mengecewakan.

Kemudian, beberapa waktu setelah kunjungan, peneliti melakukan survei ulang. Hasilnya cukup mengejutkan. Kebanyakan dari para pengunjung mengungkapkan hal-hal positif, dan bahkan beberapa membenarkan pernyataan bahwa Disneyland memang benar-benar "happiest place on earth." Cukup berbeda dibandingkan hasil survei ketika mereka berada di tempat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun