Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Eksistensi Kurva Kuznet Sosial dalam Hubungan Labour Standards dengan Inequality: Mangkir atau Hadir?

1 Mei 2019   16:17 Diperbarui: 1 Mei 2019   19:45 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Data Avicenna (Ilmu Ekonomi 2018) dan Kezia Aquiletta (Ilmu Ekonomi 2018), Staf Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA FEB UGM 2019

Oleh: Data Avicenna (Ilmu Ekonomi 2018) dan Kezia Aquiletta (Ilmu Ekonomi 2018), Staf Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA FEB UGM 2019

Deskripsi Inequality, Labour Standards, dan Kurva Kuznet

Istilah "Yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin" tentu kerap kita dengar. Hal ini tentu bukan omong kosong. Berdasarkan data dari Global Wealth Databook 2016, 1% orang terkaya di dunia memiliki akumulasi kekayaan yang lebih besar daripada 99% lainnya. Perbedaan kekayaan tersebut bahkan terus meningkat sampai beberapa tahun setelahnya, terlebih lagi negara-negara di Asia (Credit Suisse, 2016). Fakta bahwa manusia hidup dalam keberagaman kekayaan sejatinya sudah mendarah daging karena dalam setiap individu, perbedaan kekayaan sedikit apapun itu dapat ditemukan. Namun sebaliknya, perbedaan yang terlalu tajam dalam hal kekayaan perlu dianggap sebagai aib karena berbagai macam penderitaan yang ditimbulkannya. Pembahasan mengenai perbedaan pendapatan, yang merupakan salah satu aspek dari kekayaan, tersebut tidak dapat terlepas dari topik kesenjangan (inequality). 

Inequality dan pertumbuhan ekonomi (serta tingkat kemiskinan) adalah tiga aspek berbeda yang bersama-sama menjadi bagian dari kesejahteraan (Yusuf, 2018). Pertumbuhan ekonomi dapat menunjukkan daya beli masyarakat dan di saat yang sama dapat menentukan tingkat kemiskinan di suatu daerah sehingga wajar bila kedua faktor ini menjadi aspek kesejahteraan. Namun, bagaimana dengan inequality? Inequality dapat menjadi aspek kesejahteraan yang baik karena dampak perubahannya mampu mempengaruhi perubahan subjective well-being (tingkat kepuasan hidup) dalam sebuah masyarakat (Ngamaba, et. al, 2017). Perlu diingat bahwa inequality dalam pembahasan ini akan terfokus pada distribusi pendapatan (income inequality) saja.

Inequality menjadi penting karena pengaruhnya yang cukup substansial dalam beberapa aspek kehidupan--salah satunya: kesehatan, kebahagiaan, dan fungsi sosial. Korelasi negatif ditunjukkan dalam hubungan inequality dengan kebahagiaan dan kesehatan. Oishi, Kesebir dan Diener (2011) membuktikan bahwa masyarakat cenderung kurang bahagia saat inequality sedang berlangsung, sedangkan Herzer dan Nunnenkamp (2015) menyatakan bahwa pada negara-negara berkembang, tingkat inequality yang tinggi mengakibatkan angka harapan hidup yang cukup rendah. Selain itu, inequality secara tidak langsung dapat menciptakan status-status sosial berdasarkan pendapatan yang diperoleh yang menimbulkan konflik antar masyarakat (Wilkinson dan Pickett, 2009). 

Menurut European Anti-Poverty Network (EAPN), inequality disebabkan oleh (i) pengangguran atau pekerjaan dengan kualitas yang kurang baik (contohnya gaji yang terlalu rendah atau ketidakpastian jabatan), (ii) tingkat pendidikan dan keahlian yang rendah, (iii) ukuran dan tipe keluarga, (iv) gender, (v) disabilitas atau kesehatan yang buruk, (vi) menjadi anggota kelompok-kelompok etnis minoritas, imigran, atau migran tanpa dokumentasi, dan (vii) hidup di dalam komunitas yang tidak terjangkau atau sangat dirugikan. Sebagian dari faktor-faktor yang telah ditentukan oleh EAPN tersebut memiliki hubungan erat dengan iklim bekerja seorang individu. 

Oleh karena itu, International Labour Organization (ILO) menyusun standar-standar tenaga kerja berdasarkan prinsip-prinsip internasional, yang disebut labour standards, sebagai upaya untuk mengurangi inequality. Labour standards tersebut memiliki 4 aspek; (1) peniadaan kerja paksa; (2) kebebasan berasosiasi dan hak untuk berorganisasi, serta bernegosiasi secara kolektif; (3) eliminasi eksploitasi pekerja anak; dan (4) anti diskriminasi dalam proses seleksi tenaga kerja, yang dirangkum dalam sebuah istilah bernama Core Labour Standards. Lalu, bagaimana penerapan Core Labour Standards dapat mempengaruhi inequality, khususnya di Asia?

Dalam paper acuan kami, Bazillier dan Sirven (2008) berpendapat bahwa kurva yang memiliki kesamaan bentuk dengan kurva Kuznet dapat mewakili hubungan antara labour standards dan inequality dengan meneliti 90 negara dari tahun 1990 sampai 2000. Kurva Kuznet yang dirujuk oleh Bazillier dan Sirven merupakan suatu kurva yang berbentuk U terbalik dan menunjukkan hubungan antara distribusi pendapatan dengan pertumbuhan ekonomi suatu daerah yang dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar (1) | dokpri
Gambar (1) | dokpri
Pada kurva tersebut, eskalasi tingkat inequality berawal dari intensifikasi pertumbuhan ekonomi hingga pada suatu titik optimum tertentu, tingkat inequality akan mengalami turning point, yakni menurun seiring dengan berkembangnya pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pada pendekatan kurva Kuznet kami (kurva Kuznet Sosial), variabel pada sumbu horizontal dapat diubah menjadi labour standards sebagai pengganti pertumbuhan ekonomi yang sesuai dengan paper acuan. Tulisan ini bermaksud untuk mengupas hubungan antara labour standards dan inequality, serta menjawab apakah keduanya memiliki hubungan yang seperti yang digambarkan dalam kurva Kuznet Sosial. Dengan menjawab pertanyaan tersebut, diharapkan perbaikan dapat dilaksanakan terhadap praktik pelaksanaan labour standards yang masih jauh dari sempurna agar tidak lagi hadir ketimpangan yang begitu jauh dalam kehidupan bermasyarakat. 

Penelusuran Relevansi Variabel

Paper acuan kami, "Is There A Social Kuznets Curve? The Influence of Labour Standards on Inequality" oleh Bazillier dan Sirven (2008) hendak menguji keberadaan kurva Kuznet Sosial antara labour standards dan inequality dengan tujuan membantu perdebatan mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah. Paper tersebut membuktikan bahwa inequality dapat meningkat pada tahap awal terjadinya peningkatan implementasi labour standards yang kemudian, sesuai hakikatnya, secara terus-menerus akan menurunkan koefisien gini (inequality) dalam jangka panjang sehingga membenarkan adanya kurva Kuznet Sosial antara labour standards dengan inequality. 

Dalam paper lainnya yang berjudul "Core Labor Standards and Development: Impact on Long-Term Income", Bazillier (2007) menjelaskan mengapa Core Labour Standards memiliki hubungan dengan pendapatan yang akhirnya akan memengaruhi inequality. Menurut Bazillier (2007) terdapat tiga determinan utama dari pendapatan, yaitu produktivitas, sumber daya manusia, dan modal fisik. Lantas, bagaimana Core Labour Standards memengaruhi ketiga determinan tersebut yang kemudian turut memengaruhi inequality? 

Pertama, kebebasan berorganisasi, penghapusan  kerja paksa--baik terhadap anak maupun anggota angkatan kerja--dan penghapusan diskriminasi dapat meningkatkan produktivitas karena angkatan kerja merasa memiliki kontrol atas kondisi pekerjaannya (aspirasinya tersampaikan kepada majikan, keputusan untuk bekerja sepenuhnya di tangan mereka, dan kesempatan untuk berkembang sepenuhnya atas dasar potensi yang dimiliki) yang kemudian dapat mengurangi inequality. 

Berikutnya, diskriminasi (terhadap pekerja), pelaksanaan kerja paksa, dan kebebasan berorganisasi dapat memengaruhi, secara negatif, kualitas sumber daya manusia atas dasar bahwa pengurangan kerja paksa anak dapat memberikan mereka kesempatan untuk bersekolah; penghapusan diskriminasi dapat menjadi insentif bagi perempuan dan kaum-kaum minoritas lainnya untuk bekerja; eradikasi kerja paksa dapat memicu peningkatan efisiensi sumber daya manusia; dan adanya perserikatan kerja dapat mengembangkan keahlian-keahlian khusus para pekerja menyangkut pekerjaannya serta membuat para majikan berinvestasi dalam pelatihan-pelatihan jangka panjang. Terakhir, terkait dengan investasi dalam modal fisik, tidak ada pengaruh-pengaruh langsung dari Core Labour Standards yang dapat memengaruhi modal fisik.

Selain itu, Paper ini menunjukkan bahwa koefisien labour standards memiliki nilai yang selalu positif terhadap pendapatan jangka panjang yang kemudian berpengaruh pada inequality, tetapi hanya variabel peniadaan kerja paksa saja yang memiliki dampak yang signifikan. Selanjutnya, Bazillier dan Sirven berargumen bahwa efektivitas labour standards tidak hanya dipengaruhi oleh adopsi konvensi-konvensi ILO, tetapi juga oleh konteks-konteks sosial dan politik yang lebih luas yang memberi masyarakat kemauan untuk memberlakukan norma-norma terkait labour standards tersebut. Contohnya adalah adanya sistem demokrasi partisipatoris yang mampu memberikan tenaga kerja bargaining power yang cukup tinggi sehingga menjadi salah satu penentu dari implementasi terhadap Core Labour Standards. Maka dari itu, dalam model Bazillier dan Sirven menyertakan faktor-faktor lain yang meliputi: ketimpangan pendidikan, keterbukaan perdagangan, dan ketersediaan tanah subur. 

Ketersediaan tanah subur yang menjadi salah satu faktor dalam model Bazillier dan Sirven tentunya berhubungan erat dengan labour standards dan inequality. William Easterly (2016) menguji kebenaran hubungan antara inequality dan agricultural endowments yang konsisten dengan hipotesis Engerman et al. (2000). Hasil uji Easterly yang menggunakan cross-sectional data menunjukkan hubungan positif antara aset-aset pertanian (agricultural endowments) dan  inequality. Instrumen yang digunakan Easterly adalah kelimpahan lahan yang sesuai untuk ditanami gandum dan tebu. Mendukung pernyataan tersebut, Baten dan Hippe (2017) berargumen bahwa kualitas tanah (arable land) dengan inequality memiliki hubungan yang positif. 

Intuisinya, semakin layak tanah di suatu daerah digunakan untuk menanam bahan pangan pokok, semakin banyak masyarakat bekerja di sektor pertanian yang umumnya tidak memiliki volatilitas upah yang tinggi. Maka dari itu, tingkat inequality menjadi rendah, begitupun sebaliknya. Signifikansi dari variabel ketimpangan pendidikan didukung oleh Gregorio dan Lee (2002) serta Winegarden (1979). Gregorio dan Lee menyertakan bukti-bukti empiris tentang bagaimana pendidikan berhubungan dengan distribusi pendapatan. Dalam paper-nya "Education and Income Inequality: New Evidence from Cross-Country Data", ditemukan bahwa perolehan pendidikan dan distribusi pendidikan yang lebih merata berperan penting dalam pemerataan distribusi pendapatan. Winegarden pun melampirkan bukti ekonometris yang dengan tegas mendukung proposisi bahwa kesenjangan perolehan pendidikan memiliki peran dalam memanifestasikan disparitas pendapatan. 

Selain ketimpangan pendidikan, pengalaman dari Asia Timur pada tahun 1960-an dan 1970-an menunjukkan bahwa keterbukaan terhadap perdagangan internasional cenderung mempersempit ketimpangan upah antara pekerja berkeahlian dan yang tidak. Namun, di Amerika Latin, sejak pertengahan tahun 1980-an, peningkatan keterbukaan telah memperlebar ketimpangan upah. Menurut Adrian Wood (1997), perbedaan ini kemungkinan besar bukan merupakan hasil dari perbedaan karakter antara Asia Timur dan Amerika, melainkan dari perbedaan antara tahun 1960-an dan 1980-an, secara spesifik, kedatangan China ke dalam pasar dunia dan adanya penetrasi teknologi yang bias terhadap pekerja tidak berkeahlian. Tulisan ini, selanjutnya, bermaksud untuk menelisik hubungan antara labour standards dan inequality secara lebih detil dengan menyertakan variabel penjelas sosial lainnya.

Berpengaruhkah?

Untuk mengetahui pengaruh perubahan labour standards terhadap inequality di Asia, diambil sampel data dari tiga puluh negara Asia yang diantaranya adalah Indonesia, Thailand, Cina, India, dan Korea Selatan. Dalam model dan metode yang digunakan, labour standards dijelaskan dengan estimator Core Labor Standards, yaitu Global Slavery Index. Penulis menggunakan analisis data panel agar dapat mengetahui pengaruh dari perbedaan entitas dan periode waktu dari ketiga puluh negara. Model yang digunakan berdasar pada studi berjudul "Is There a Social Kuznets Curve? The Influence of Labour Standards on Inequality" oleh Bazillier dan Sirven pada tahun 2008. Adapun bentuk matematisnya adalah sebagai berikut :

Bazillier and Sirven's Regression Model 
Bazillier and Sirven's Regression Model 

yang mana:

GC = Gini coefficient;

LS = Labour standards index;

LSS = Labour standards index-squared;

EG = Ketimpangan pendidikan (Educational gap);

TO = Keterbukaan dagang (Trade openness);

AL = Ketersediaan tanah subur (Arable land),

dengan gini coefficient merupakan variabel dependen yang menggambarkan distribusi pendapatan (menunjukkan inequality) di suatu negara yang dipengaruhi oleh variabel-variabel independen labour standards, ketimpangan pendidikan, keterbukaan perdagangan, dan ketersediaan tanah subur. Global slavery index dari database organisasi The Global Slavery Index digunakan untuk merepresentasikan labour standards. The Global Slavery Index bertindak sebagai "anti labour standards" yang dimaksudkan untuk menunjukkan keadaan tanpa implementasi labour standards sehingga semakin tinggi slavery index di sebuah negara, semakin rendah labour standards-nya. 

Namun, data yang tersedia hanya menampilkan Global Slavery Index untuk tahun 2014 dan 2016 sehingga interpolasi data diberlakukan guna memperoleh data Global Slavery Index pada tahun 2015 yang nilainya dapat diasumsikan benar. Selanjutnya, variabel ketimpangan pendidikan dan ketersediaan tanah subur direpresentasikan, secara berturut-turut, melalui data educational gap sebagai indeks yang menunjukkan perbedaan jenjang pendidikan di sebuah negara dan arable land atau persentase dari tanah yang dapat menjadi tempat bertumbuh dan berkembangnya tanaman panenan dengan jumlah tanah keseluruhan. 

Di sisi lain, keterbukaan perdagangan dapat dihitung dengan membandingkan jumlah ekspor impor dengan PDB (Produk Domestik Bruto). Data untuk semua variabel di atas, kecuali labour standards, diperoleh dari kumpulan data milik World Bank. Variabel dummy Sub-Saharan Africa dan Latin America dalam model Bazillier tidak digunakan sebab pendekatan penelitian hanya berfokus pada wilayah Asia. Dari model serta data yang telah didapatkan, digunakan model regresi dengan random effects, sebagai konsekuensi nilai phtest dari Uji Hausman yang cukup besar (>0,5). Artinya, random effects lebih aplikatif dan konsisten dalam model yang digunakan dibanding fixed effects. 

Regression Result
Regression Result

Pertama-tama, sehubungan dengan region yang telah dipilih terkait data, variabel dummy Sub-Saharan Africa dan Latin America tidak menampilkan hasil. Selanjutnya, ditemukan beberapa masalah dalam model, yakni cross-sectional dependence. Masalah tersebut dapat ditangani dengan "SCC" milik Driscoll dan Kraay dengan mengoreksi standard error dalam model (Millo, 2017; Hoechle, 2007). Selain cross-sectional dependence, ditemukan bahwa  variabel Trade Openness memiliki hubungan yang bersifat tidak linier sehingga pengaplikasian logaritma pada data dapat memutarbalikkan fakta tersebut. 

Dari hasil regresi, dapat diinterpretasi bahwa kurva Kuznet Sosial tidak terdapat dalam hubungan labour standards dengan inequality. Konklusi tersebut diperoleh melalui p-value variabel Labour Standards Squared dengan koefisien sebesar -0,0003 yang bahkan tidak signifikan pada tingkat alpha 10%. Namun, hal ini tidak terlepas dari hipotesis awal yang menyatakan bahwa labour standards itu sendiri memengaruhi inequality secara negatif. Artinya, peningkatan/penurunan aplikasi labour standards (ditunjukkan dengan penurunan/kenaikan slavery index) memengaruhi penurunan/peningkatan inequality meskipun hubungannya tidak bersifat kuadratik.

Hasil regresi dari model kami menunjukkan R-squared yang bernilai mendekati nol maka variasi variabel independen di dalam model hanya mampu menjelaskan sedikit dari variasi variabel dependen. Seharusnya, proses regresi dapat dilakukan dengan menambahkan indikator-indikator lain yang dapat merepresentasikan gini coefficient. Selain itu, kelengkapan data variabel dalam model Bazillier di Asia juga masih rendah sehingga dibutuhkan perbanyakan data untuk hasil yang lebih akurat dalam penelitian ini.

Mangkir atau Hadir?

Dengan posisinya sebagai salah satu komponen penjelas kualitas lingkungan kerja tenaga kerja, labour standards memiliki hubungan yang cukup erat dengan inequality. Akan tetapi, hubungan keduanya, khususnya di negara-negara Asia, perlu dipertanyakan. Pada ketiga puluh negara Asia yang sudah diteliti, ditemukan cukup bukti untuk mengonfirmasi pemahaman tersebut: hubungan antara keduanya hadir (secara negatif), tetapi tidak dapat diekspresikan melalui hubungan kuadratik dengan kata lain kurva Kuznet Sosial absen. Secara spesifik, hubungan labour standards dengan inequality tercermin dalam peningkatan/penurunan 1 unit labour standards (yang didefinisikan dengan pengurangan/penambahan 100.000 pekerja paksa) yang menurunkan/meningkatkan inequality (gini coefficient) sebesar 0,203 unit. 

Kurva Kuznet Sosial yang tidak terdapat pada tiga puluh negara menimbulkan pertanyaan. Hasil studi paper acuan membuktikan bahwa kurva Kuznet sosial  muncul, tetapi bukti yang diperoleh dari hasil regresi kami tidak cukup untuk mengonfirmasi keberadaannya. Kekosongan kurva Kuznet Sosial pada tiga puluh negara yang kami teliti dapat disebabkan oleh berbagai kelemahan dalam penelitian, salah satunya adalah kurangnya studi empiris  sebagai pembanding terkait hubungan labour standards dengan inequality serta ketersediaan data yang minim.

Oleh karena itu, kami menyarankan keberlanjutan penelitian kurva Kuznet Sosial dalam hubungan labour standards dan inequality dengan melaksanakan observasi yang lebih luas guna pencapaian hasil regresi yang lebih valid. Namun, fakta mengenai hubungan negatif tanpa adanya kurva Kuznet Sosial antara labour standards dengan inequality setidaknya dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ketimpangan, tentu dengan meningkatkan labour standards dalam dunia kerja, khususnya Asia. 

Untuk kritik dan saran: himiespa.dp@gmail.com 

Daftar Pustaka

Baten, J., & Hippe, R. (2017). Geography, land inequality and regional numeracy in Europe in historical perspective. Journal of Economic Growth,23(1), 79-109. doi:10.1007/s10887-017-9151-1

Bazillier, R. (2008). Core Labor Standards and Development: Impact on Long-Term Income. World Development,36(1), 17-38. doi:10.1016/j.worlddev.2007.02.010

Bazillier, R., & Sirven, N. (2008). Is There a Social Kuznets Curve? The Influence of Labour Standards on Inequality. The Journal of Development Studies,44(7), 913-934. doi:10.1080/00220380802150714

Credit Suisse (2016) "Global Wealth Databook 2016", Credit Suisse Group: Swiss

Easterly, W. (2007). Inequality does cause underdevelopment: Insights from a new instrument. Journal of Development Economics, 84(2), 755-776. doi:10.1016/j.jdeveco.2006.11.002

Gregorio, J. D., & Lee, J. (2002). Education and Income Inequality: New Evidence From Cross-Country Data. Review of Income and Wealth,48(3), 395-416. doi:10.1111/1475-4991.00060  

Herzer, D., & Nunnenkamp, P. (2015). Income Inequality and Health: Evidence from Developed and Developing Countries. Economics: The Open-Access, Open-Assessment E-Journal. doi:10.5018/economics-ejournal.ja.2015-4

Millo, G. (2017). Robust Standard Error Estimators for Panel Models: A Unifying Approach. Journal of Statistical Software,82(3). doi:10.18637/jss.v082.i03

Ngamaba, K. H., Panagioti, M., & Armitage, C. J. (2017). Income inequality and subjective well-being: A systematic review and meta-analysis. Quality of Life Research,27(3), 577-596. doi:10.1007/s11136-017-1719-x

Oishi, S., Kesebir, S., & Diener, E. (2011). Income Inequality and Happiness. Psychological Science,22(9), 1095-1100. doi:10.1177/0956797611417262

Wilkinson, R. G., & Pickett, K. E. (2009). Income Inequality and Social Dysfunction. Annual Review of Sociology,35(1), 493-511. doi:10.1146/annurev-soc-070308-115926

Winegarden, C. R. (1979). Schooling and Income Distribution: Evidence from International Data. Economica, 46(181), 83. doi:10.2307/2553099

Wood, A. (n.d.). Openness and wage inequality in developing countries: The Latin American challenge to East Asian conventional wisdom. Market Integration, Regionalism and the Global Economy, 153-181. doi:10.1017/cbo9780511599118.012

Yusuf, A. A. (2018). Keadilan untuk Pertumbuhan. Bandung: Unpad Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun