Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Eksistensi Kurva Kuznet Sosial dalam Hubungan Labour Standards dengan Inequality: Mangkir atau Hadir?

1 Mei 2019   16:17 Diperbarui: 1 Mei 2019   19:45 1950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Data Avicenna (Ilmu Ekonomi 2018) dan Kezia Aquiletta (Ilmu Ekonomi 2018), Staf Departemen Kajian dan Penelitian HIMIESPA FEB UGM 2019

Paper acuan kami, "Is There A Social Kuznets Curve? The Influence of Labour Standards on Inequality" oleh Bazillier dan Sirven (2008) hendak menguji keberadaan kurva Kuznet Sosial antara labour standards dan inequality dengan tujuan membantu perdebatan mengenai kebijakan-kebijakan pemerintah. Paper tersebut membuktikan bahwa inequality dapat meningkat pada tahap awal terjadinya peningkatan implementasi labour standards yang kemudian, sesuai hakikatnya, secara terus-menerus akan menurunkan koefisien gini (inequality) dalam jangka panjang sehingga membenarkan adanya kurva Kuznet Sosial antara labour standards dengan inequality. 

Dalam paper lainnya yang berjudul "Core Labor Standards and Development: Impact on Long-Term Income", Bazillier (2007) menjelaskan mengapa Core Labour Standards memiliki hubungan dengan pendapatan yang akhirnya akan memengaruhi inequality. Menurut Bazillier (2007) terdapat tiga determinan utama dari pendapatan, yaitu produktivitas, sumber daya manusia, dan modal fisik. Lantas, bagaimana Core Labour Standards memengaruhi ketiga determinan tersebut yang kemudian turut memengaruhi inequality? 

Pertama, kebebasan berorganisasi, penghapusan  kerja paksa--baik terhadap anak maupun anggota angkatan kerja--dan penghapusan diskriminasi dapat meningkatkan produktivitas karena angkatan kerja merasa memiliki kontrol atas kondisi pekerjaannya (aspirasinya tersampaikan kepada majikan, keputusan untuk bekerja sepenuhnya di tangan mereka, dan kesempatan untuk berkembang sepenuhnya atas dasar potensi yang dimiliki) yang kemudian dapat mengurangi inequality. 

Berikutnya, diskriminasi (terhadap pekerja), pelaksanaan kerja paksa, dan kebebasan berorganisasi dapat memengaruhi, secara negatif, kualitas sumber daya manusia atas dasar bahwa pengurangan kerja paksa anak dapat memberikan mereka kesempatan untuk bersekolah; penghapusan diskriminasi dapat menjadi insentif bagi perempuan dan kaum-kaum minoritas lainnya untuk bekerja; eradikasi kerja paksa dapat memicu peningkatan efisiensi sumber daya manusia; dan adanya perserikatan kerja dapat mengembangkan keahlian-keahlian khusus para pekerja menyangkut pekerjaannya serta membuat para majikan berinvestasi dalam pelatihan-pelatihan jangka panjang. Terakhir, terkait dengan investasi dalam modal fisik, tidak ada pengaruh-pengaruh langsung dari Core Labour Standards yang dapat memengaruhi modal fisik.

Selain itu, Paper ini menunjukkan bahwa koefisien labour standards memiliki nilai yang selalu positif terhadap pendapatan jangka panjang yang kemudian berpengaruh pada inequality, tetapi hanya variabel peniadaan kerja paksa saja yang memiliki dampak yang signifikan. Selanjutnya, Bazillier dan Sirven berargumen bahwa efektivitas labour standards tidak hanya dipengaruhi oleh adopsi konvensi-konvensi ILO, tetapi juga oleh konteks-konteks sosial dan politik yang lebih luas yang memberi masyarakat kemauan untuk memberlakukan norma-norma terkait labour standards tersebut. Contohnya adalah adanya sistem demokrasi partisipatoris yang mampu memberikan tenaga kerja bargaining power yang cukup tinggi sehingga menjadi salah satu penentu dari implementasi terhadap Core Labour Standards. Maka dari itu, dalam model Bazillier dan Sirven menyertakan faktor-faktor lain yang meliputi: ketimpangan pendidikan, keterbukaan perdagangan, dan ketersediaan tanah subur. 

Ketersediaan tanah subur yang menjadi salah satu faktor dalam model Bazillier dan Sirven tentunya berhubungan erat dengan labour standards dan inequality. William Easterly (2016) menguji kebenaran hubungan antara inequality dan agricultural endowments yang konsisten dengan hipotesis Engerman et al. (2000). Hasil uji Easterly yang menggunakan cross-sectional data menunjukkan hubungan positif antara aset-aset pertanian (agricultural endowments) dan  inequality. Instrumen yang digunakan Easterly adalah kelimpahan lahan yang sesuai untuk ditanami gandum dan tebu. Mendukung pernyataan tersebut, Baten dan Hippe (2017) berargumen bahwa kualitas tanah (arable land) dengan inequality memiliki hubungan yang positif. 

Intuisinya, semakin layak tanah di suatu daerah digunakan untuk menanam bahan pangan pokok, semakin banyak masyarakat bekerja di sektor pertanian yang umumnya tidak memiliki volatilitas upah yang tinggi. Maka dari itu, tingkat inequality menjadi rendah, begitupun sebaliknya. Signifikansi dari variabel ketimpangan pendidikan didukung oleh Gregorio dan Lee (2002) serta Winegarden (1979). Gregorio dan Lee menyertakan bukti-bukti empiris tentang bagaimana pendidikan berhubungan dengan distribusi pendapatan. Dalam paper-nya "Education and Income Inequality: New Evidence from Cross-Country Data", ditemukan bahwa perolehan pendidikan dan distribusi pendidikan yang lebih merata berperan penting dalam pemerataan distribusi pendapatan. Winegarden pun melampirkan bukti ekonometris yang dengan tegas mendukung proposisi bahwa kesenjangan perolehan pendidikan memiliki peran dalam memanifestasikan disparitas pendapatan. 

Selain ketimpangan pendidikan, pengalaman dari Asia Timur pada tahun 1960-an dan 1970-an menunjukkan bahwa keterbukaan terhadap perdagangan internasional cenderung mempersempit ketimpangan upah antara pekerja berkeahlian dan yang tidak. Namun, di Amerika Latin, sejak pertengahan tahun 1980-an, peningkatan keterbukaan telah memperlebar ketimpangan upah. Menurut Adrian Wood (1997), perbedaan ini kemungkinan besar bukan merupakan hasil dari perbedaan karakter antara Asia Timur dan Amerika, melainkan dari perbedaan antara tahun 1960-an dan 1980-an, secara spesifik, kedatangan China ke dalam pasar dunia dan adanya penetrasi teknologi yang bias terhadap pekerja tidak berkeahlian. Tulisan ini, selanjutnya, bermaksud untuk menelisik hubungan antara labour standards dan inequality secara lebih detil dengan menyertakan variabel penjelas sosial lainnya.

Berpengaruhkah?

Untuk mengetahui pengaruh perubahan labour standards terhadap inequality di Asia, diambil sampel data dari tiga puluh negara Asia yang diantaranya adalah Indonesia, Thailand, Cina, India, dan Korea Selatan. Dalam model dan metode yang digunakan, labour standards dijelaskan dengan estimator Core Labor Standards, yaitu Global Slavery Index. Penulis menggunakan analisis data panel agar dapat mengetahui pengaruh dari perbedaan entitas dan periode waktu dari ketiga puluh negara. Model yang digunakan berdasar pada studi berjudul "Is There a Social Kuznets Curve? The Influence of Labour Standards on Inequality" oleh Bazillier dan Sirven pada tahun 2008. Adapun bentuk matematisnya adalah sebagai berikut :

Bazillier and Sirven's Regression Model 
Bazillier and Sirven's Regression Model 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun