Kondisi kesehatan anak perempuan tidak ideal apabila dipaksa melahirkan. Pertama, secara fisik, tubuh anak perempuan sebenarnya belum mampu mengandung janin karena lemahnya organ tubuh anak perempuan. Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa perkawinan anak terjadi di daerah yang kurang memiliki fasilitas kesehatan.Â
Kedua, penelitian International Center for Research on Women (ICRW) (2016) menunjukkan bahwa risiko kematian lebih tinggi terjadi pada anak perempuan yang sudah menikah dibandingkan perempuan dewasa yang melahirkan. Fakta penting selanjutnya adalah anak perempuan berusia di bawah 15 tahun berisiko lima kali lebih tinggi mengalami kematian saat melahirkan daripada wanita berusia sekitar 20 tahun.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kecenderungan memiliki anak terjadi pada anak perempuan pelaku perkawinan muda daripada perempuan dewasa. Di sejumlah negara, pelaku perkawinan muda biasanya tidak memiliki kemampuan ekonomi yang memadai sehingga nantinya tingkat kesehatan anak mereka dari sisi kebutuhan gizi tidak terpenuhi secara layak.
Banyak anak perempuan putus sekolah karena menikah pada usia muda. Menurut ICRW (2016), 30% anak perempuan di Etiopia putus sekolah karena menikah. Mereka memiliki akses terbatas untuk melanjutkan pendidikan formal dan bahkan nonformal karena tanggung jawab untuk mengurus keperluan rumah tangga dan melahirkan anak.
Serupa dengan Etiopia, ICRW (2016) menemukan bahwa di Nikaragua terdapat 45% anak perempuan menikah tanpa pernah menempuh pendidikan, 28% anak perempuan dengan pendidikan dasar, 16% anak perempuan dengan pendidikan menengah, dan 5% anak perempuan dengan pendidikan tinggi.
Banyak anak perempuan terpaksa tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi karena menikah pada usia muda, sehingga kemampuan dan keahlian mereka menjadi terbatas. Keterbatasan ini berdampak terhadap potensi lapangan kerja yang mampu dimasuki. Kegagalan memasuki lapangan kerja dengan penghasilan tinggi pun menjadi besar.
Bersamaan dengan hal tersebut, keharusan mengurus rumah tangga berpotensi memengaruhi jenis pekerjaan yang dapat dilakukan. Mereka akan pasrah terhadap kondisi sehingga rela bekerja berpenghasilan rendah dan situasi kerja fluktuatif (Wodon, Savadogo, & Kes, 2017).Â
Banyak anak perempuan  berpendidikan rendah dan tidak dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi karena menikah pada usia muda serta diperparah dengan keterbatasan kemampuan dan keahlian. Selain itu, perkawinan anak dapat memengaruhi peran perempuan di pasar tenaga kerja dan jumlah jam kerja.
Di usia muda, mereka seharusnya masih produktif. Akan tetapi, mereka harus mengandung dan mengurus keluarga. Hal ini memengaruhi keputusan mereka untuk bekerja. Apabila mereka memutuskan untuk bekerja, terdapat stigma bahwa perempuan muda yang sudah memiliki anak akan dianggap kurang mampu bekerja dengan baik.
Hal ini disebabkan oleh potensi perempuan muda untuk mengambil cuti hamil, mengingat usia mereka yang masih muda dan mampu memiliki anak lagi. Perempuan muda yang sudah menikah akan kesulitan mendapatkan pekerjaan sehingga mereka akan mendapatkan pekerjaan "seadanya" dan gaji yang cenderung rendah (Wodon, Savadogo, & Kes, 2017).
Bagaimana cara mengatasi perkawinan anak?
Beberapa cara dalam mengatasi perkawinan anak, antara lain: mengatur standar umur minimum untuk menikah dalam undang-undang dan memberdayakan perempuan seperti pelatihan terkait keuangan mikro untuk mendukung peningkatan pendapatan keterampilan kejuruan, komunikasi, kesehatan, dan pengambilan keputusan.