Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Ekonomi Kebahagiaan

27 November 2018   09:08 Diperbarui: 27 November 2018   09:25 1567
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Zahra Putri (Ilmu Ekonomi 2017), Staf Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM 2018

Oleh: Zahra Putri (Ilmu Ekonomi 2017), Staf Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM 2018

"How sad to see a father with money and no joy. The man studied economics, but never studied happiness." -- Jim Rohn

Tingkat kesejahteraan suatu negara selama ini banyak menekankan pada indikator ekonomi, seperti pendapatan dan pertumbuhan ekonomi, masih belum cukup untuk menggambarkan tingkat kesejahteraan yang sesungguhnya. Tingkat kesejahteraan pada dasarnya tidak hanya diukur melalui indikator moneter atau material saja, tetapi juga diukur melalui indikator kesejahteraan subjektif atau kebahagiaan (BPS, 2017).

Easterlin (1974) dalam penelitiannya yang berjudul "Does Economic Growth Improve the Human Lot?" menemukan bahwa tingkat kebahagiaan tidak berubah meskipun terjadi peningkatan yang tinggi pada pendapatan nasional. 

Berangkat dari hal ini, lahirlah Easterlin Paradox yang diinisiasi oleh Richard Easterlin. Easterlin Paradox menyatakan bahwa pada awalnya tingkat kebahagiaan akan meningkat sejalan dengan meningkatnya pendapatan. 

Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, tingkat kebahagiaan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan yang dimiliki

Dengan adanya penemuan Easterlin Paradox tersebut, pemerintah semakin sadar bahwa indikator ekonomi tidaklah cukup untuk mencerminkan tingkat kebahagiaan suatu negara. 

Oleh karena itu, digunakan indikator kebahagiaan sebagai ukuran yang menggambarkan tingkat kesejahteraan karena kebahagiaan merupakan cerminan dari tingkat kesejahteraan relatif individu (Kapteyn, Smith dan Soest, 2010).

Indikator kebahagiaan dianggap penting bagi perumusan kebijakan publik untuk melengkapi indikator ekonomi yang selama ini digunakan dalam mempresentasikan tingkat kesejahteraan masyarakat. 

Terlebih lagi, berbagai penelitian telah membuktikan bahwa kebahagian penduduk akan berpengaruh secara signifikan terhadap keberhasilan pembangunan di masyarakat (Forgeard et al., 2011). Akibat hal ini, maka lahirlah cabang ilmu ekonomi yang terbilang masih baru, yaitu ekonomi kebahagiaan.

Apa itu Ekonomi Kebahagiaan?

Kebahagiaan dari perspektif ekonomi didefinisikan sebagai suatu kepuasaan terhadap kehidupan secara umum. Pakar ahli pertama pada teori kebahagiaan di bidang ekonomi adalah Adam Smith.

Adam Smith dalam the Theory of Moral Sentiments mengatakan, "how many people ruin themselves by laying out money on trinkets of frivolous utility?" Dari kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan tidaklah ditentukan oleh kekayaan yang dimiliki. 

Terlebih lagi, teori kebahagiaan lainnya, seperti yang dikemukakan oleh Robert Frank dan Daniel Kahneman, menyatakan bahwa kemewahan material tidak berhubungan dengan tingkat kebahagiaan individu.

Studi tentang kebahagiaan sendiri dalam perspektif ekonomi atau bisa disebut ekonomi kebahagiaan diprakarsai oleh Richard Easterlin (Graham, 2005). Meskipun Richard Easterlin telah menemukan adanya Easterlin Paradox, aspek pendapatan tetap dimasukkan dalam pengukuran kebahagiaan. Hal ini dikarenakan pendapatan merupakan indikator yang penting untuk mengukur kesejahteraan tetapi tidak cukup untuk menjadi sebuah syarat kebahagiaan (Graham, 2005). Dengan demikian, ekonomi kebahagiaan adalah sebuah studi yang mempelajari hubungan antara kebahagiaan dengan faktor pendapatan dan non-pendapatan yang mempengaruhinya. Semakin tinggi tingkat kebahagiaan maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan suatu masyarakat, begitu pula sebaliknya.

Apa Manfaat Mempelajari Ekonomi Kebahagiaan?

Ekonomi kebahagiaan tidak dimaksudkan untuk menggantikan pengukuran kesejahteraan yang hanya berbasis pendapatan tetapi untuk melengkapi pengukuran tersebut dengan berbagai aspek lainnya yang mempengaruhinya. 

Oleh karena itu, seringkali penelitian pada ekonomi kebahagiaan dilakukan dengan pertanyaan yang sederhana seperti "Dalam ukuran 0-100, seberapa puaskah Anda dengan kehidupan Anda?" atau "Apakah Anda bahagia?" 

Hal ini dilakukan agar penelitian tersebut dapat memberikan informasi tentang aspek yang benar-benar mempengaruhi tingkat kebahagiaan individu. 

Dengan mempelajari ekonomi kebahagiaan, kita dapat mengetahui berbagai faktor yang meningkatkan atau menurunkan tingkat kebahagiaan individu dan turut memberikan cara untuk meningkatkan kebahagiaan.

Aspek-Aspek dalam Indeks Kebahagiaan

Tingkat kebahagiaan secara umum menurut World Happiness Report diukur dengan menggunakan 6 variabel: pendapatan perkapita, angka harapan hidup, dukungan sosial, kebebasan, persepsi korupsi dan tingkat kedermawanan. 

Keseluruhan variabel tersebut memiliki hubungan yang positif dengan tingkat kebahagiaan. Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin besar nilai keseluruhan variabel tersebut maka semakin besar pula tingkat kebahagiaan suatu negara.

Di sisi lain, tingkat kebahagiaan di Indonesia diukur oleh BPS berdasarkan indeks kebahagiaan yang didapat dari Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK). 

Indeks kebahagiaan diukur dengan subjektif (bergantung pada individu masing-masing) terhadap kondisi objektif (indikator-indikator) yang telah ditentukan. Indeks kebahagiaan Indonesia mencakup pada 19 indikator yang berasal dari 3 dimensi yaitu kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (afeksi) dan makna hidup (eudaimonia). Dimensi kepuasan hidup terbagi lagi menjadi  dua sub dimensi yaitu secara personal dan secara sosial.

Dimensi kepuasan hidup secara personal terdiri dari indikator pendidikan dan keterampilan, pekerjaan, pendapatan, kesehatan dan kondisi rumah dan fasilitas rumah. Di sisi lain, dimensi kepuasan hidup secara sosial terdiri dari hubungan sosial, keadaan lingkungan dan kondisi keamanan. Selanjutnya dimensi perasaan terdiri oleh indikator perasaan senang, tidak khawatir dan tidak tertekan. 

Kemudian, dimensi makna hidup terdiri oleh indikator kemandirian, penguasaan lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, tujuan hidup, dan penerimaan diri (BPS, 2017). 

Pada akhirnya, tingkat kebahagiaan yang didapat merupakan gambaran umum tingkat kepuasan dan kesejahteraan penduduk dengan turut memasukkan aspek perasaan dan makna hidup seseorang.

Tingkat Kebahagiaan Indonesia

Pada tahun 2017, indeks kebahagiaan Indonesia berdasarkan hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan sebanyak 70,69 pada skala 0-100 (BPS, 2017).  Indeks kebahagiaan Indonesia pada tahun 2017 mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2014 yang berjumlah 68.28.

 Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan metode  penghitungan indeks kebahagiaan. Pada tahun 2014, indeks kebahagiaan hanya menekankan pada 10 indikator sedangkan pada tahun 2017 menggunakan 19 indikator. 

Penambahan indikator ini dilakukan agar indeks kebahagiaan dapat benar-benar mencerminkan berbagai aspek yang membuat penduduk Indonesia bahagia. 

Meskipun terdapat perbedaan metode penghitungan, bila dibandingkan dengan indeks 2014 dan menggunakan metode yang sama, maka didapat indeks 2017 sebesar 69.51 meningkat sebesar 1.23 poin dibandingkan pada tahun 2014 (Katadata, 2017).

Selanjutnya, survei pengukuran tingkat kebahagiaan Indonesia 2017 menunjukkan beberapa hal. Pertama, masyarakat yang tinggal di perkotaan cenderung lebih bahagia dibandingkan dengan yang tinggal di desa. Nilai indeks kebahagiaan di perkotaan sebesar 71.64 sedangkan di pedesaan sebesar 69,57. 

Hal ini bisa dikarenakan oleh fasilitas kesehatan dan pendidikan yang lebih baik di kota dibandingkan desa. Kedua, tingkat pendidikan memiliki hubungan yang positif dengan tingkat kebahagiaan. 

Maka, semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula tingkat kebahagiaan begitu pula sebaliknya. Masyarakat berpendidikan tinggi memiliki indeks kebahagiaan sebesar 75,58 sedangkan berpendidikan rendah sebesar 61.69.

Bila mengikuti pengukuran berdasarkan World Happiness Report 2018, tingkat kebahagiaan Indonesia berada pada peringkat 4 terbawah negara anggota ASEAN, tidak termasuk di dalamnya Brunei.

Brunei tidak termasuk dalam penghitungan kebahagiaan oleh World Happiness Report dikarenakan keterbatasan data sosial seperti dukungan sosial,  tingkat kedermawanan dan tingkat kebebasan.

Tertinggalnya tingkat kebahagiaan Indonesia dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya disebabkan oleh indeks persepsi korupsi Indonesia yang sebesar 0.018, mengindikasikan Indonesia merupakan negara yang korup.

 Indeks Persepsi Korupsi menurut perhitungan World Happines Report menggunakan skala 0-1 dimana nilai 0 berarti paling korup sedangkan nilai 1 paling bersih. Tertinggal jauh dibandingkan dengan negara tetangga kita seperti Vietnam yang sebesar 0.079 dan Filipina sebesar 0.105 (WHR, 2018). Padahal, indeks persepsi korupsi juga dapat turut berkontribusi untuk meningkatkan kebahagiaan Indonesia jika nilainya dapat lebih besar.

Sebagaimana dikemukakan oleh Inglehart dan Baker (2000), seiring dengan berkembangnya suatu negara maka tuntutan masyarakat terhadap pemerintah yang tidak korup akan semakin tinggi agar masyarakat tersebut bahagia. 

Selanjutnya, Graham (2010) juga menyatakan bahwa tingginya tingkat korupsi diasosiasikan dengan tingkat kebahagiaan suatu negara yang semakin rendah. Indeks persepsi korupsi di suatu negara juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kebahagiaan bersamaan dengan tingkat dukungan sosial dan tingkat kebebasan (WHR, 2018).  

Indeks Kebahagiaan ASEAN dalam skala 0-10 2018

Sumber: Diolah dari World Happiness Report (2018)
Sumber: Diolah dari World Happiness Report (2018)
Apa yang Harus Dilakukan untuk Meningkatkan Kebahagiaan?

Untuk meningkatkan tingkat kebahagiaannya, pemerintah Indonesia harus lebih gencar dalam memberantas korupsi yang terjadi di Indonesia. Seringkali, tindakan suap atau korupsi tidak dipandang oleh pihak berwenang Indonesia sebagai praktik korup (UNODC, 2017).  

Oleh karena itu, meningkatkan pelatihan dan pengetahuan tentang jenis kegiatan korupsi merupakan hal penting sebagai dasar memberantas korupsi. 

Selanjutnya, tingkat korupsi juga dapat dikurangi dengan melonggarkan regulasi yang berbelit agar tidak terjadi praktik suap (World Bank, 2015). 

Tentunya, kontribusi dari semua golongan masyarakat diperlukan untuk memberantas korupsi sehingga tingkat kebahagiaan Indonesia akan meningkat.

Selanjutnya, pemerintah juga dapat meningkatkan kebahagiaan masyarakat yang tinggal di pedesaan dengan memberikan perhatian yang lebih terhadap desa. 

Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan fasilitas kesehatan, kualitas pendidikan, lapangan pekerjaan dan infrastruktur di pedesaan. 

Kemudian, berkaitan dengan tingkat pendidikan yang berhubungan positif dengan kebahagiaan, pemerintah dapat memberikan bantuan berupa penyediaan beasiswa dan biaya pendidikan sekolah dasar gratis.  

Dengan adanya berbagai dukungan pemerintah ini, tentunya tidak hanya meningkatkan tingkat produktivitas yang dihasilkan oleh Indonesia tetapi juga tingkat kebahagiaan. Pada akhirnya, tingkat kebahagiaan masyarakat Indonesia tentunya juga akan meningkat dan mencerminkan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Dari pemaparan diatas, kita dapat mengetahui bahwa faktor-faktor yang menentukan kebahagiaan dapat berbeda antara satu negara dengan negara lain. 

Maka dari itu, pengukuran kebahagiaan pun dapat diukur berdasarkan aspek yang berbeda-- bergantung pada aspek yang dianggap benar-benar membuat bahagia. 

Meskipun hal-hal yang membuat bahagia dapat berbeda satu sama lain tetapi kita dapat menyetujui satu hal, yaitu: kebahagiaan adalah hal yang penting untuk kehidupan. Jadi, jangan lupa bahagia!

Untuk kritik dan saran: himiespa.dp@gmail.com

Referensi

Arvin, M., & Lew, B. (2014). Does income matter in the happiness-corruption relationship?. Journal of Economic Studies, 41(3), 469-490.

BPS: Indeks Kebahagiaan Indonesia Naik, Orang Lajang Paling Bahagia. (2017, August 15). Retrieved October 18, 2018, from https://katadata.co.id/berita/2017/08/15/bps-indeks-kebahagiaan-indonesia-naik-orang-lajang-paling-bahagia

Easterlin, R. A. (1974). Does economic growth improve the human lot? Some empirical evidence. In Nations and households in economic growth (pp. 89-125).

Forgeard, M. J., Jayawickreme, E., Kern, M. L., & Seligman, M. E. (2011). Doing the right thing: Measuring wellbeing for public policy. International journal of wellbeing, 1(1)

Graham, C. (2005). Insights on Development from the economics of happiness. The World Bank Research Observer, 20(2), 201-231.

Graham, C. (2010). Adaptation amidst prosperity and adversity: Insights from happiness studies from around the world. The World Bank Research Observer, 26(1), 105-137

Inglehart, R., & Baker, W. E. (2000). Modernization, cultural change, and the persistence of traditional values. American sociological review, 19-51.

Kapteyn, A., Smith, J. P., & Van Soest, A. (2010). Life satisfaction. International differences in well-being, 70-104

Mookerjee, R., & Beron, K. (2005). Gender, religion and happiness. The Journal of Socio-Economics, 34(5), 674-685.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun