Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Maksimisasi Legitimasi

23 November 2018   14:42 Diperbarui: 27 November 2018   09:45 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Noah Ikkyu Swadhesi, Ilmu Ekonomi 2016, Wakil Kepala Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM 2018

Oleh: Noah Ikkyu Swadhesi, Ilmu Ekonomi 2016, Wakil Kepala Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM 2018

Dalam melakukan konsumsi manusia dihadapkan dengan berbagai macam pilihan. Ekonomi mengasumsikan suatu individu akan mengonsumsi barang yang memberikan utilitas tertinggi baginya. Individu tersebut akan melakukan trade-off atas barang yang utilitasnya lebih rendah untuk mendapatkan barang yang utilitasnya lebih tinggi.

Tetapi seringkali individu secara sengaja ataupun tidak sengaja mengonsumsi barang yang tidak memberikan utilitas tertinggi bagi mereka. Faktor ketidaksengajaan bisa diakibatkan oleh terbatasnya waktu dan ingatan yang manusia miliki (Samuelson & Nordhaus, 2010) atau adanya informasi yang tidak sempurna (Akerlof, 1970). Faktor ketidaksengajaan merupakan bahasan di lain waktu.Tulisan ini didedikasikan untuk membahas faktor kesengajaan yang mana sangat umum terjadi, terutama seiring dengan semakin meningkatnya penggunaan media sosial.

Materialisme dan Status Sosial

Secara global, semakin banyak individu yang mengadopsi gaya hidup materialisme (Ger & Belk, 1996). Pada awalnya materialisme dianggap sebagai fenomena yang terjadi pada masyarakat yang baru mengalami pertumbuhan ekonomi dan akan mengalami penurunan seiring dengan semakin bertumbuhnya perekonomian masyarakat tersebut (Inglehart, 1981). 

Akan tetapi, studi lebih lanjut yang dilakukan secara lintas budaya menunjukkan bahwa di masyarakat yang perekonomiannya sudah maju pun materialisme masih bertumbuh (Feather, 1998; Ger & Belk, 1996). Bahkan jumlah individu yang mengejar kehidupan materialistis bertumbuh secara eksponen (Kilbourne & Pickett, 2008). Eastman, Goldsmith, dan Flynn (1999) mengatakan bahwa fenomena ini didorong oleh keinginan untuk meraih status sosial di masyarakat.

Bukanlah sesuatu yang mengherankan bahwa gaya hidup materialistis diadopsi kebanyakan orang. Bagaimanapun, kepemilikan akan materi merupakan sebuah indikasi bahwa suatu individu telah menjalani kehidupannya secara efisien dan produktif (Trigg, 2001) dan juga sebagai penanda kesejahteraan (Burroughs & Rindfleisch, 2002). Karenanya, materi -- barang -- seringkali digunakan untuk menunjukkan identitas individu kepada masyarakat di sekitarnya (Micken & Roberts, 1992). Meskipun tidak jarang identitas yang ditunjukkan berbeda dengan kondisi sebenarnya.

Konsumsi untuk Legitimasi Sosial

Thorstein Veblen dalam bukunya The Theory of the Leisure Class (1899) memberikan istilah conspicuous consumption. Suatu individu melakukan conspicuous consumption ketika tujuan konsumsinya adalah menunjukkan kekayaan untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi. 

Veblen juga mengatakan bahwa preferensi konsumen ditentukan oleh kedudukannya pada hierarki sosial, suatu individu akan meniru pola konsumsi individu pada hierarki sosial yang lebih tinggi. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, conspicuous consumption tidak terbatas hanya pada kelas bawah meniru pola konsumsi kelas atas. Ada kalanya ketika kelas atas meniru pola konsumsi kelas bawah untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi (Bourdieu, 1984).

 Hal ini dikarenakan pada era modern gaya hidup memiliki pengaruh yang lebih besar, dibandingkan dengan hierarki sosial, terhadap perilaku konsumen (Featherstone, 1991; McIntyre, 1992). Corneo dan Jeanne (1977) mengungkapkan dua motif untuk melakukan conspicuous consumption: keinginan untuk tidak diidentifikasikan dengan orang miskin dan keinginan untuk diidentifikasikan dengan orang kaya.

Satu hal yang tidak ada pada zaman Veblen adalah media sosial. Munculnya media sosial baru-baru ini menjadi 'pupuk' bagi perkembangan conspicuous consumption. Media sosial menjadi sebuah wadah baru bagi individu untuk bisa mengungkapkan, merepresentasikan, dan memberi impresi atas dirinya (Rui & Stefanone, 2013). Di media sosial, suatu individu memiliki kontrol lebih akan persepsi yang didapatkan orang terhadap dirinya dibandingkan dengan di dunia nyata (Kramer & Winter, 2008). Individu juga memiliki kesempatan lebih untuk menyeleksi bagian mana dari kehidupannya yang akan ditunjukkan kepada orang lain (Ellison, Heino, & Gibbs, 2006). Keberadaan media sosial memperlancar individu untuk mencapai tujuan dari conspicuous consumption, status sosial yang lebih tinggi.

Lantas?

Mengapa kita harus peduli terhadap konsumsi orang lain? Bukankah mereka mengonsumsi menggunakan uang yang didapatkan melalui kerja keras mereka sendiri? Apa urusan anda mengatur konsumsi orang lain? Dalam konteks ini ada satu konsep ekonomi yang dapat menjadi pembenaran untuk mengurusi konsumsi orang lain. Konsep tersebut bernama kesejahteraan.

Dalam penelitiannya, Frank (1985) menyatakan bahwa conspicuous consumption menyebabkan inefisiensi dalam bentuk penurunan permintaan individu pada barang yang lebih memiliki nilai intrinsik. 

Dengan menggunakan pendekatan quasilinear, Ireland (1994) menyatakan bahwa conspicuous consumption menyebabkan kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhannya menurun karena pendapatannya sudah terlebih dulu digunakan untuk memenuhi tuntutan kelas sosial, terkecuali individu pada kelas sosial terbawah yang tidak akan melakukan conspicuous consumption sama sekali. Justru mereka yang berada pada kelas menengah dan bawah yang mengalami penurunan kesejahteraan paling besar. 

Hal ini dikarenakan nominal uang yang perlu mereka keluarkan untuk conspicuous consumption relatif kecil sehingga mereka semakin tertarik untuk melakukannya. Misalkan, individu yang miskin hanya perlu membeli motor bebek untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi, sedangkan bagi individu yang menengah tidak cukup hanya dengan membeli motor bebek, ia harus membeli mobil untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi. Pernyataan Ireland didukung oleh Charles, Hurst, dan Roussanov (2007) yang menemukan bahwa hampir 60% dari pengeluaran untuk conspicuous consumption dialihkan dari pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, sandang, dan pangan.

"It frequently happens that an element of the standard of living which set out with being primarily wasteful, ends with becoming, in the apprehension of the consumer, a necessary of life."

Thorstein B. Veblen, The Theory of the Leisure Class

Meski terlihat sepele, conspicuous consumption sesungguhnya memiliki dampak yang signifikan pada ekonomi. Conspicuous consumption menjadikan pola konsumsi bukan lagi trade-off atas barang yang utilitasnya lebih rendah dengan barang yang utilitasnya lebih tinggi, melainkan trade-off atas barang yang memberikan status sosial dengan barang yang memberikan utilitas yang lebih tinggi (Corneo dan Jeanne, 1997). 

Sayangnya, tidak jarang status sosial mengalahkan utilitas. Conspicuous consumption berdampak negatif bagi kesejahteraan masyarakat. Karenanya, ada baiknya kita berpikir sekali, dua kali, bahkan tiga kali, sebelum kita memutuskan untuk mengonsumsi sebuah barang. Apakah barang tersebut dibeli karena utilitasnya atau status sosial yang diberikannya?

Untuk kritik dan saran: himiespa.dp@gmail.com

Referensi

  1. Akerlof, G. A. (1970). The Market for "Lemons": Quality Uncertainty and the Market Mechanism. The Quarterly Journal of Economics,84(3), 488-500.
  2. Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. London: Routledge.
  3. Burroughs, J. E., & Rindfleisch, A. (2002). Materialism and Well-Being: A Conflicting Values Perspective. Journal of Consumer Research,29(3), 348-370. doi:10.1086/344429
  4. Charles, K. K., Hurst, E., & Roussanov, N. (2007). Conspicuous Consumption and Race. doi:10.3386/w13392
  5. Corneo, G., & Jeanne, O. (1997). Conspicuous Consumption, Snobbism and Conformism. Journal ofPublic Economics,66(1), 55-71. doi:10.1016/s0047-2727(97)00016-9
  6. Eastman, J. K., Goldsmith, R. E., & Flynn, L. R. (1999). Status Consumption in Consumer Behavior: Scale Development and Validation. Journal of Marketing Theory and Practice,7(3), 41-52. doi:10.1080/10696679.1999.11501839
  7. Ellison, N., Heino, R., & Gibbs, J. (2006). Managing Impressions Online: Self-Presentation Processes in the Online Dating Environment. Journal of Computer-Mediated Communication,11(2), 415-441. doi:10.1111/j.1083-6101.2006.00020.x
  8. Feather, N. T. (1998). Attitudes toward High Achievers, Self-Esteem, and Value Priorities for Australian, American, and Canadian Students. Journal of Cross-Cultural Psychology,29(6), 749-759. doi:10.1177/0022022198296005
  9. Featherstone, M. (1991). Consumer Culture and Postmodernism. London: Sage.
  10. Frank, R. H. (1985). The Demand for Unobservable and Other Nonpositional Goods. American Economic Association,75(1), 101-116. Retrieved September 20, 2018, from http://www.jstor.org/stable/1812706
  11. Ger, G., & Belk, R. W. (1996). Cross-cultural Differences in Materialism. Journal of Economic Psychology,17(1), 55-77. doi:10.1016/0167-4870(95)00035-6
  12. Inglehart, R. (1981). Post-Materialism in an Environment of Insecurity. American Political Science Review,75(04), 880-900. doi:10.2307/1962290
  13. Ireland, N. J. (1994). On Limiting the Market for Status Signals. Journal of Public Economics,53(1), 91- 110. doi:10.1016/0047-2727(94)90015-9
  14. Kilbourne, W., & Pickett, G. (2008). How Materialism Affects Environmental Beliefs, Concern, and Environmentally Responsible Behavior. Journal of Business Research,61(9), 885-893. doi:10.1016/j.jbusres.2007.09.016
  15. Kramer, N. C., & Winter, S. (2008). Impression Management 2.0. Journal of Media Psychology,20, 106- 116. doi:10.1027/1864-1105.20.3.106
  16. McIntyre, R. (1992). Consumption in Contemporary Capitalism: Beyond Marx and Veblen. Review of Social Economy,50(1), 40-60. Retrieved October 22, 2018, from http://www.jstor.org/stable/29769594
  17. Micken, K. S., & Roberts, S. D. (1999). Desperately Seeking Certainty: Narrowing the Materialism Construct. Advances in Consumer Research,26, 513-518. Retrieved September 20, 2018, from http://www.acrwebsite.org/volumes/8311/volumes/v26/NA-26
  18. Rui, J., & Stefanone, M. A. (2013). Strategic Self-presentation Online: A Cross-cultural Study. Computers in Human Behavior,29(1), 110-118. doi:10.1016/j.chb.2012.07.022
  19. Samuelson, P. A., & Nordhaus, W. D. (2010). Economics. Boston: McGraw-Hill.
  20. Trigg, A. B. (2001). Veblen, Bourdieu, and Conspicuous Consumption. Journal of Economic Issues,35(1), 99-115. doi:10.1080/00213624.2001.11506342
  21. Veblen, T. (1899). The Theory of the Leisure Class: An Economic Study of Institutions. London: Macmillan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun