Hal tersebut didasarkan karena pelaku pasar memiliki ekspektasi kurs mata uang di masa depan sehingga fundamental ekonomi dapat ikut berubah. Sebagai contoh adalah apresiasi mata uang suatu negara dapat mengerem laju inflasi karena biaya impor lebih murah serta tingkat upah stabil. Umpleby (2007) lebih meyakini jika kaitan antara kurs mata uang dan fundamental ekonomi membentuk suatu siklus yang tidak pernah putus.
Gambar 1. Siklus Kurs Mata Uang dan Fundamental Ekonomi
Tindakan spekulatif terhadap kurs mata uang sendiri dipengaruhi oleh adanya potensi profit dalam spekulasi. Profit tersebut dipengaruhi oleh perubahan tingkat suku bunga, perubahan kurs mata uang, dan apresiasi modal di kurs mata uang lokal. Kenaikan tingkat suku bunga dan apresiasi kurs mata uang akan mengurangi aliran dana spekulatif dan sebaliknya (Soros, 2003). Meski begitu, faktor kurs mata uang dinilai lebih dominan dibandingkan tingkat suku bunga.
Akankah Krisis Terjadi Lagi?
Bisa jadi iya ataupun tidak. Ekonom tentu bukanlah sosok yang harus memprediksi masa depan secara tepat. Yang perlu dilakukan adalah melakukan kebijakan berdasarkan kemungkinan yang akan terjadi dengan sumber daya yang ada. Kita perlu memperhatikan kerangka berpikir reflexivity yang tidak hanya mengandalkan faktor-faktor ekonomi, melainkan juga non-ekonomi seperti psikologi, politik, dan lainnya.
Ekonom papan atas internasional, Nouriel Roubini dan rekannya Brunello Rosa, sendiri membuat pernyataan yang menarik. Pada tahun 2020, ekonomi global akan mengalami resesi dan krisis finansial. Menurut mereka, ada beberapa sebab mengapa 2020 akan terjadi krisis.
Di antaranya adalah kebijakan fiskal Amerika Serikat yang kelewat ekspansif sehingga menyebabkan ekonomi mengalami overheating. Selain itu, isu perang dagang yang menghambat perdagangan Tiongkok, Meksiko, ataupun Kanada menyebabkan ekonomi global melambat, meningkatkan inflasi serta ketidakpastian di pasar keuangan.
Lalu, bagaimana nasib Indonesia? Dalam konteks Indonesia, Indonesia memang mengalami tren pelemahan Rupiah. Per 5 September 2018, kurs Rupiah terhadap US Dollar sudah melemah 5 persen (ytd). Indonesia mengalami defisit current account yang mulai melanda sejak 2012.
Pada kuartal I 2018, Indonesia mencatat defisit current account sebesar 5,5 milyar USD (2,15 persen dari PDB). Defisit tersebut semakin melebar dibandingkan kuartal I 2017 yang dipicu peningkatan impor. Meski begitu, defisit tersebut masih aman karena di bawah 3 persen dari PDB.
Indonesia tetap harus mewaspadai fenomena eksternal seperti isu perang dagang, ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed, serta gejolak ekonomi di Argentina dan Turki. Berbagai sentimen negatif mampu mempengaruhi faktor non-ekonomi seperti psikologi ataupun politik. Terlebih, potensi efek contagion dari krisis di negara lain bisa saja berdampak bagi Indonesia. Faktor-faktor non-ekonomi lah yang justru bisa menjadi bahaya sebagaimana kata Soros.