Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketahanan Perbankan bagi Perekonomian

27 Juli 2018   14:12 Diperbarui: 21 Agustus 2018   14:30 1596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Steering Committee, Forum Studi dan Diskusi Ekonomi Universitas Gajdah Mada (FSDE UGM) 2018

Krisis finansial yang menghantam Indonesia pada tahun 1998 salah satunya disebabkan oleh kondisi perbankan yang buruk dan kemudian memicu terjadinya krisis perbankan. Pada saat itu, sistem pengawasan perbankan di Indonesia cukup lemah sehingga penyaluran kredit hanya terkonsentrasi pada satu grup debitur dan tentunya meningkatkan risiko kredit macet. Buruknya sistem perbankan saat itu memicu terjadinya bank run yang memperburuk perekonomian Indonesia pada tahun 1998. Krisis tersebut mengajarkan mengenai pentingnya melakukan penguatan di sektor perbankan agar tahan terhadap guncangan.

Upaya Bank Indonesia

Ketahanan sektor perbankan dapat dicapai melalui penguatan likuiditas. Bank Indonesia pun telah melonggarkan likuiditas perbankan melalui sejumlah instrumen kebijakan. Kebijakan ini ditetapkan bersamaan dengan keputusan Bank Indonesia untuk meningkatkan BI rate sebesar 50 basis poin dengan tujuan perbankan tidak perlu ikut menaikkan suku bunga kredit dan deposito dalam negeri.

Upaya Bank Indonesia tersebut berupa relaksasi pada loan to value (LTV) yang menyebabkan bank-bank memiliki keleluasaan dalam menetapkan uang muka pembelian rumah pertama. Relaksasi LTV ini mulai dilaksanakan pada 1 Agustus 2018 diharapkan akan mendorong kinerja sektor properti. Dalam mengatur pengelolaan likuiditas bank, Bank Indonesia pun menerbitkan ketentuan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) yang memungkinkan bank untuk memilih menyalurkan dana baik melalui kredit maupun pembelian obligasi korporasi. Adanya RIM bertujuan untuk mendukung bank dalam menyalurkan dana ke sektor riil sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan makroprundesial tersebut bersinergi dengan kebijakan Bank Indonesia berupa kenaikan rata-rata giro wajib minimum (GWM) menjadi 2% dari total komponen rasio GWM sebesar 6,5%. Kebijakan yang dimulai 16 Juli 2018 ini akan berdampak pada manajemen likuditas perbankan menjadi lebih longgar, mendorong fungsi intermediasi perbankan, serta mendukung upaya pendalaman pada pasar keuangan.

Langkah preventif

Penerapan kebijakan relaksasi LTV dan kenaikan rata-rata GWM ditujukan agar pasar merasakan dampak positif sebagai langkah antisipasi dari kebijakan kenaikan BI rate. Pasalnya, kenaikan bunga acuan akan berdampak pada suku bunga deposito dalam jangka waktu tiga hingga enam bulan dan pada suku bunga kredit dalam jangka waktu enam hingga sembilan bulan. Kenaikan pada suku bunga deposito dan suku bunga kredit tentunya akan berdampak pada penyaluran kredit dan perekonomian. Oleh karena itu, Bank Indonesia menerapkan relaksasi LTV dan relaksasi perhitungan rata-rata GWM lebih cepat dibandingkan trasmisi kenaikan BI rate ke suku bunga deposito dan suku bunga kredit. Meskipun dampak dari relaksasi LTV diperkirakan baru akan terasa pada sembilan bulan ke depan.

Perbankan saat ini

Kondisi sistem keuangan Indonesia saat ini cukup stabil. Hal ini tercermin pada data April 2018 yang menunjukkan likuiditas perbankan cukup baik dengan loan to deposit ratio (LDR) sebesar  90,43%. Selain itu, intermediasi pun turut membaik dengan pertumbuhan kredit sebesar 8,9% (yoy) dan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 8,1% (yoy) yang diproyeksikan meningkat hingga kisaran 9,0 -- 11,0%. Risiko kredit pun juga dalam kondisi stabil yang ditunjukkan oleh rasio non-performing loan (NPL) sebesar 2,8% (gross) dan 1,3% (net).

Meskipun dapat dikatakan kondisi perbankan saat ini cukup aman akan tetapi kenaikan BI rate merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi pasar di sektor perbankan. Langkah-langkah yang diambil Bank Indonesia pun diharapkan dapat memberikan sentimen positif terhadap pasar sehingga stabilitas perbankan dapat terjaga. Dengan begitu, Indonesia pun dapat terhindar dari bayang-bayang siklus krisis 10 tahunan.  

Untuk informasi lebih lanjut seputar rangkaian FSDE 2018:

Twitter: @FSDE_UGM

Instagram: @fsde.ugm

LINE : @yvf4139o

Facebook : Forum Studi dan Diskusi Ekonomi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun