Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Uang Tip, Rasional dan Perlukah?

2 Juli 2018   14:34 Diperbarui: 17 Juli 2018   07:36 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Oleh: Zahra Putri (Ilmu Ekonomi 2017), Staf Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM 2017

Oleh: Zahra Putri, Ilmu Ekonomi 2017, Staf Departemen Kajian dan Penelitian, Himiespa FEB UGM

''Economists do not have a good theory of tipping. Normally, we assume that consumers pay as little as they have to when buying the products they want. Yet, when buying meals, haircuts and taxi services, most consumers voluntarily pay more than they are legally required. Why does this happen? Why is it more true for some services than for others? Why do tipping customs vary from country to country? I have no idea.'' (Mankiw, 2007)

 Pemberian tip merupakan hal umum yang dilakukan oleh warga Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh MasterCard pada tahun 2014, 3 dari 10 warga Indonesia biasa memberikan uang tip, khususnya di restoran. Selanjutnya, pada bulan September 2017, total tip yang sudah diterima pengemudi Go-Jek melalui fitur Go-Pay mencapai 5 juta dolar AS atau sekitar Rp66.2 miliar (Kurs dolar AS ke rupiah= Rp13.229, September 2017).

 Asal-Usul Tip

Brenner (2001) dan Schein et al. (1984) mengemukakan bahwa kata tip berasal dari akronim "To Insure Promptitude" yang berarti untuk memastikan layanan yang cepat. Tidak seperti Brenner (2001) dan Schein et al (1984), Hemenway (1993) berpendapat bahwasanya kata tip berasal dari bahasa latin yaitu stipend yang berarti uang saku.

Praktik pemberian tip sudah berlangsung sejak lama. Hemenway (1993) menyatakan praktik pemberian tip sudah ada sejak era Romawi bahkan bisa saja telah ada lebih awal dari era Romawi. Sebaliknya, Segrave (1998) berpendapat bahwa pemberian tip telah dimulai pada Abad Pertengahan Akhir. Pemberian tip pada Abad tersebut diberikan oleh para tuan manor kepada para buruh. Tip yang diberikan berupa koin sebagai bentuk apresiasi atau bantuan atas kesulitan yang sedang dihadapi oleh para buruh seperti penyakit.

Praktik pemberian tip masih berjalan hingga kini dikarenakan tip merupakan cara paling efisien untuk memantau kualitas kerja pelayan (Lynn, 2015). Dengan adanya tip, biaya perusahaan untuk mengontrol mutu layanan pekerja dapat berkurang. Hal ini dikarenakan pekerja yang kerjanya bagus akan mendapatkan tip yang lebih besar dibandingkan pekerja yang tidak bagus kerjanya (Lynn&McCall, 2000).

Rasionalkah?

Pada dasarnya, pemberian tip merupakan hal yang tidak diwajibkan. Secara rasional, individu akan mencoba untuk membayar sedikit mungkin untuk suatu transaksi, sehingga pemberian tip kerap dianggap irasional oleh banyak ekonom (e.g., Ben-Zion& Karni, 1977; Landsburg, 1993). Para ekonom tersebut menganggap dengan adanya tip, individu mengorbankan uang yang seharusnya tidak perlu dikorbankan.

Tetapi, motif pemberian tip ini menarik untuk dimengerti. Terlebih bahwa pilihan memberikan tip sudah menjadi bagian dari keputusan ekonomi sehari-hari. Motif dalam keputusan pemberian tip dapat dianalisis melalui perspektif ilmu ekonomi, khususnya psikologi ekonomi, sebuah studi ilmu yang mempelajari mekanisme psikologis pada individu dan kelompok dalam aktivitas ekonomi yang dilakukan.

Motif dalam Keputusan Pemberian Tip

Salah satu motif dalam pemberian tip adalah untuk mendapatkan kesenangan atau utilitas tersendiri. Hal ini berdasarkan teori Warm Glow yang dicetuskan oleh James Andreoni pada tahun 1989. Teori ini menyatakan bahwa individu yang memberikan donasi, amal atau berbagi dengan sesama akan mendapatkan kepuasan relatif berupa perasaan positif (Andreoni, 1989). Dengan demikian, teori ini dapat menjelaskan bahwa kebanyakan individu tidak hanya mendapatkan utilitas dari apa yang sudah dikonsumsi tetapi juga perasaan positif dengan memberikan tip.

Namun, perspektif ekonomi neo-klasik memiliki pandangan yang berbeda. Neo-klasik berpendapat pemberian tip dilatarbelakangi untuk menjamin mutu layanan masa depan (Ben-Zion & Karni, 1977). Pendapat ini dalam perilaku ekonomi disebut altruisme egoistik. 

Altruisme egoistik mengemukakan bahwa bantuan seperti tip didorong oleh harapan akan manfaat yang diterima di masa depan. Dalam hal ini, manfaat yang diharapkan berupa mutu layanan yang lebih baik kedepannya. Tetapi, pandangan ini menuai perdebatan. Parret (2006) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang lemah antara tip dengan kualitas layanan yang diberikan di masa depan. Sama dengan Parret (2007), survey yang telah dilakukan pada 597 konsumen restoran oleh Azar (2007), menunjukkan bahwa pemberian tip bukanlah didasari oleh layanan masa depan.

Motif selanjutnya yang paling memengaruhi dalam pemberian tip adalah keinginan untuk memperoleh penghargaan sosial (Lynn, 2015). Azar (2007) pada tulisannya yang berjudul "Why pay extra? Tipping and the Importance of Social Norms and Feelings in Economic Theory", berpendapat bahwa praktik pemberian tip dilatarbelakangi oleh keinginan untuk dihargai individu lainnya. Kemudian, penelitian tentang pemberian amal oleh Dan Ariely, Anat Bracha dan Stephan Meier (2009) menemukan hasil yang sama. Penelitian tersebut mendapatkan bahwa pemberian amal dilakukan untuk mendapatkan apresiasi dari orang lain

Tidak semua warga Indonesia memberikan tip. Tentunya, keputusan ini dapat dijelaskan pula melalui perspektif psikologi ekonomi. Salah satu motif individu tidak memberikan tip dikarenakan untuk menghemat uang yang dimiliki. 

Sesuai dengan pendapat para ekonom pada umumnya (e.g., Ben-Zion& Karni, 1977; Landsburg, 1993), mengemukakan bahwa individu yang rasional akan membayar sedikit mungkin dalam suatu transaksi untuk menghemat uang. Dengan demikian, uang tersebut dapat digunakan untuk kebutuhan lainnya. Selain dari itu, motif yang melandasi keputusan tidak memberikan tip adalah memperlakukan para pelayan equal dengan konsumen (Lynn, 2015). Dengan adanya tip, terkadang konsumen menganggap memiliki kekuatan dan status yang lebih tinggi dibandingkan pelayan sehingga acap kali memperlakukan pelayan seenak hati.

Akankah Tip Menyebabkan Deadweight Loss?

Deadweight loss adalah jumlah biaya yang ditanggung masyarakat jika pasar tidak beroperasi secara efisien. Tip menyebabkan deadweight loss atau tidak masih menjadi sebuah perdebatan. Terdapat dua pandangan terhadap perdebatan ini (Lin, 2007). Pandangan pertama menganggap terdapat hubungan subtitusi antara tip dengan permintaan akan layanan yang diminta. Lalu, pandangan kedua menganggap bahwa tip dan layanan yang diminta merupakan barang yang saling berkomplementer.

Pandangan pertama mengemukakan bahwa tip dan layanan yang diminta merupakan barang yang saling bersubtitusi. Dengan demikian, hubungan antara kedua barang tesebut bersifat negatif. Semakin tinggi harga suatu tip, semakin rendah keinginan untuk membeli suatu layanan, begitu pula sebaiknya. Selama efek subtitusi ini ada, akan tercipta deadweight loss karena masyarakat tidak bisa mengonsumsi kedua barang tersebut secara optimal. 

Di lain sisi, individu menganggap bahwa tip dan layanan yang diminta merupakan barang komplementer. Jika individu menginginkan sebuah layanan, maka ia juga akan membayar tip. Dengan demikian, individu mengonsumsi dua barang sekaligus, yaitu tip dan layanan yang diminta. Selama individu menganggap bahwa tip dan layanan berhubungan komplementer, tidak akan terjadi efek subtitusi antara tip dan layanan yang diberikan. Oleh karena itu, selama efek subtitusi tidak ada, tidak terjadi deadweight loss di masyarakat.

Epilog

Pemberian tip memang kerap dianggap irasional. Namun terlepas dari keirasionalannya, pembahasan ini setidaknya dapat menjelaskan motif pemberian tip, yakni untuk mendapat utilitas, menjamin kualitas layanan dan memperoleh pengakuan sosial. Sebaliknya, keputusan tidak memberikan tip dikarenakan menghemat uang yang dimiliki dan memperlakukan para pelayan sama rata dengan konsumen. Analisis tentang motif keputusan pemberian tip memang lebih banyak ditelaah dalam aspek psikologis. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang tidak bisa diukur dalam perspektif ekonomi, seperti rasa bahagia yang didapat oleh penerima dan pemberi tip.

Pemberian uang tip sendiri memiliki kerugian dan manfaatnya masing-masing. Tergantung bagaimana individu menanggapi tip itu sendiri, sebagai barang subtitusi atau komplementer. Lalu perlukah kita memberikan tip? Mengutip kata Adam Smith dalam the Theory of Moral Sentiment "How selfish soever man may be supposed, there are evidently some principles in his nature, which interest him in the fortunes of others, and render their happiness necessary to him, though he derives nothing from it, except the pleasure of seeing it." Kebahagiaan melihat penerima tip bahagia sudah cukup bagi penulis pribadi untuk memberikan tip.

Untuk kritik dan saran: himiespa.dp@gmail.com

Referensi

Altman, M. (2012). Behavioral economics for dummies. Toronto: J. Wiley & Sons Canada.

Andreoni, J. (1990). Impure Altruism and Donations to Public Goods: A Theory of Warm-Glow Giving. The Economic Journal,100(401), 464. doi:10.2307/2234133

Azar, O. H. (2003). The Implications of Tipping for Economics and Management. SSRN Electronic Journal. doi:10.2139/ssrn.339240

Azar, O. H. (2007). Do people tip strategically, to improve future service? Theory and evidence. Canadian Journal of Economics/Revue Canadienne Dconomique,40(2), 515-527. doi:10.1111/j.1365-2966.2007.00419.x

Azar, O. H. (2007). Why pay extra? Tipping and the importance of social norms and feelings in economic theory. The Journal of Socio-Economics,36(2), 250-265. doi:10.1016/j.socec.2005.11.046

Khalil, E. L. (2004). What is altruism? Journal of Economic Psychology,25(1), 97-123. doi:10.1016/s0167-4870(03)00075-8

Lin, T. C. (2007). Economic behavior of restaurant tipping. Economic Bulletin, 4(2), 1-10.

Lynn, M. (2015). Service gratuities and tipping: A motivational framework. Journal of Economic Psychology,46, 74-88. doi:10.1016/j.joep.2014.12.002

Lynn, M. (2017). The Effects of Tipping on Consumers Satisfaction with Restaurants. Journal of Consumer Affairs. doi:10.1111/joca.12171

Parrett, M. (2006). An Analysis of the Determinants of Tipping Behavior: A Laboratory Experiment and Evidence from Restaurant Tipping. Southern Economic Journal,73(2), 489. doi:10.2307/20111903

Survei: Sepertiga Masyarakat Indonesia Biasa Memberi Tip. (2014, April 17). Retrieved May 18, 2018, from http://www.beritasatu.com/ekonomi/178650-survei-sepertiga-masyarakat-indonesia-biasa-memberi-tip.html

Wen, T. (2017, November 27). Capital - The psychology that motivates tipping. Retrieved May 18, 2018, from http://www.bbc.com/capital/story/20171122-the-psychology-that-motivates-tipping 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun