Pernyataan ini tidak jauh berbeda dengan pemikiran beberapa ekonom pertumbuhan, seperti Robert Solow yang menggunakan spesifikasi model Cobb-Douglas. Namun, gagasan Solow sedikit berbeda, dimana tidak semua manusia merupakan tenaga kerja (N menjadi L). Solow juga lebih memperhatikan aset bersifat Kapital daripada Tanah (L menjadi K).
Argumen Solow yang beririsan dengan gagasan Malthus adalah terkait steady-state ketika break-even investment dengan model:
Manusia dibekali dengan akal dan pengetahuan agar dapat digunakan untuk menanggulangi masalah-masalah sumber daya. Malthus tidak memperhatikan aspek-aspek teknologi seperti kemajuan di bidang medika, sains, family planning (kontrasepsi), dan hal-hal lain yang mempengaruhi pengurangan tingkat fertilitas.
Beberapa program dunia yang merujuk pada Sustainable Development Goals (SDGs) dan green movement merupakan salah satu upaya untuk menghindari ramalan Malthus. Lebih lanjut, teori pertumbuhan New Endogenous Growth Theory yang diprakarsai oleh beberapa ekonom seperti Kenneth Arrow, Paul Romer, Robert Lucas, dan lain-lain mengatakan bahwa populasi tidak hanya membawa malapetaka.Â
Pertumbuhan dapat menjadi suatu berkah apabila dapat dikelola dengan baik. Bahkan, beberapa negara maju sedang mengalami perlambatan pertumbuhan yang sebagian disebabkan oleh berkurangnya tenaga kerja produktif. Sedangkan negara berkembang dengan tingkat populasi yang tinggi sedang diramalkan mengalami kondisi yang disebut dengan bonus demografi yang disebabkan melimpahnya tenaga kerja usia produktif di masa yang akan datang (populasi).Â
Namun tentunya, hal tersebut akan sangat bergantung terhadap tingkat human capital, knowledge dan produktivitas yang dimiliki oleh tenaga kerja dan penduduk di negara tersebut, yang mana salah satunya adalah Indonesia.
Jadi, pilih Thanos atau Avengers?