Oleh: Drewya Cinantyan Prasasya (Ilmu Ekonomi 2017), Yusuf Fajar Mukti (Ilmu Ekonomi 2017), dan Zahra Putri (Ilmu Ekonomi 2017), Staf Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM
Lihat infografis selengkapnya disini Infografis Ekonomi Kreatif
Ekonomi kreatif (ekraf) adalah konsep yang pertama kali dikembangkan oleh John Howkins dalam bukunya The Creative Economy: How People Make Money from Ideas pada tahun 2001. Howkins menjelaskan konsep ini sebagai "Transaksi produk-produk kreatif berupa barang atau jasa ekonomi yang dihasilkan dari kreativitas dan memiliki nilai ekonomi." (P.8) Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008), merumuskan ekonomi kreatif sebagai upaya pembangunan ekonomi secara berkelanjutan melalui kreativitas dengan iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumber daya yang terbarukan. Definisi selanjutnya disampaikan oleh UNCTAD (2010), merumuskan bahwa ekonomi kreatif menggabungkan konsep kreativitas, budaya, ekonomi dan teknologi di dunia kontemporer yang didominasi oleh gambar, suara, teks dan simbol. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ekonomi kreatif adalah konsep ekonomi yang memadukan antara kreativitas, budaya, ekonomi dan teknologi yang nantinya akan menghasilkan produk-produk kreatif dan memiliki nilai tambah untuk suatu perekonomian secara umum.
Ekonomi kreatif merupakan konsep ekonomi yang penting untuk perekonomian Indonesia karena berkontribusi terhadap perekonomian nasional melalui Produk Domestik Bruto (PDB), ketenagakerjaan, penciptaan lapangan usaha, ekspor dan lain sebagainya. Data statistik menunjukkan bahwa kinerja ekonomi kreatif mengalami kenaikan setiap tahunnya. Â Produk Domestik Bruto (PDB) ekonomi kreatif tahun 2016 berdasarkan harga konstan 2010 mencapai Rp673,43 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp644,44 triliun atau mengalami kenaikan sebesar 4,5%. Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi kreatif juga mengalami kenaikan pada tahun 2016, dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya naik sebesar 2,13%. Artinya, ekonomi kreatif memiliki potensi besar yang masih dapat terus dikembangkan. Selain itu, pertumbuhan jumlah produksi ekonomi kreatif dari tahun ke tahun menunjukkan minat masyarakat terhadap ekonomi kreatif yang terus naik setiap tahunnya. Tidak hanya berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia, ekonomi kreatif juga dapat meningkatkan kualitas hidup, toleransi sosial serta pemerataan kesejahteraan. Oleh karena itu, ekonomi kreatif sangatlah penting dan perlu dikembangkan agar perekonomian Indonesia dapat lebih baik lagi kedepannya.
Ekonomi kreatif memiliki 16 subsektor yaitu kuliner, fesyen, kriya, TV & Radio, penerbitan, arsitektur, aplikasi & game developer, periklanan, musik, fotografi, seni pertunjukan, desain produk, seni rupa, film animasi dan video, desain interior dan desain komunikasi visual. Namun, dari keenambelas subsektor tersebut, terdapat 3 sektor yang mendominasi dalam hal jumlah unit usahanya yaitu sektor kuliner sebesar 5.550.709 unit (67,66%), fesyen 1.231.394 unit (15,01%), dan kriya 1.194.477 unit (14,56%). Sedangkan subsektor lainnya secara keseluruhan hanya berjumlah  227.246 unit (2,77%).
Kemudian, dari 16 subsektor ekonomi kreatif, terdapat 4 sektor yang memiliki pertumbuhan yang pesat yaitu sektor desain komunikasi dan visual (10,28%), sektor musik (7,26%), sektor animasi video (6,68%) dan sektor arsitektur (6,62%). Pertumbuhan pesat di 4 sektor tersebut dipengaruhi oleh masifnya penetrasi teknologi informasi dan komunikasi khususnya sosial media. Sayangnya, keseluruhan usaha ekraf masih terkonsentrasi di Jawa dikarenakan sarana dan prasarana, serta kondisi lingkungan yang lebih memadai (Badan Pusat Statistik, 2016).
Pada tahun 2016, tiga sektor ekonomi kreatif yang memiliki kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah kuliner dengan kontribusi sebesar 41,69%, disusul dengan sektor fesyen, yaitu sebesar 18,15% dan kriya dengan kontribusi sebesar 15,70%. Berdasarkan statistik, dapat dilihat bahwa sektor kuliner memberikan kontribusi terbesar, alasan mendasar dari fakta tersebut dikarenakan kuliner merupakan kebutuhan dasar dan utama yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, industri makanan selalu dapat memberikan kontribusi besar terhadap PDB, walaupun apabila dilihat dari rata-rata pertumbuhan Nilai Tambah Bruto (NTB) industri kuliner masih dibawah industri ekonomi kreatif lainnya (Bekraf, 2017).
Selanjutnya, jika dilihat dari negara tujuan ekspor, pada tahun 2016, tujuan ekspor ekonomi kreatif didominasi oleh Amerika serikat (31,72%), diikuti oleh Jepang (6,74%), Taiwan (4,99%), Swiss (4,95%), dan Jerman (4,56%). Total ekspor ini didominasi oleh subsektor fesyen (56%), kriya (37%) dan kuliner (6%). Negara tujuan utama ekspor fesyen adalah Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman. Pada tahun 2016, komoditas fesyen yang paling banyak diekspor ke Amerika serikat adalah sepatu olahraga senilai US$732,78 juta, disusul oleh jersey, sweater, dan cardigan senilai US$455,11 juta. Kemudian jas, jaket, blazer, gaun, rok, dan celana pendek senilai US$393,11 juta (Badan Pusat Statistik dan Badan Ekonomi Kreatif, 2016).
Pada 2016, komoditas kriya yang paling banyak diekspor adalah industri barang perhiasan dari logam mulia untuk keperluan pribadi yang nilai ekspornya naik secara signifikan sejak tahun 2014. Negara tujuan utama ekspor dari komoditas kriya tersebut adalah Swiss. Hal tersebut dikarenakan hasil dari negosiasi antara Kementrian Perdagangan Indonesia dan Menteri Perdagangan Swiss ketika bertemu di Davos pada Januari 2015 silam, kedua pihak tersebut bernegosiasi agar Swiss dapat membantu ekspor Indonesia. Hasilnya, Swiss membuka pintu ekspor dari Indonesia (Setyowati, 2015). Negara Swiss sendiri memang membutuhkan logam mulia untuk keperluan bahan baku perusahan-perusahaan arloji yang menguasai hampir separuh nilai produksi arloji di dunia. Karena itu, tidak heran bahwa tingkat permintaan logam mulia di Swiss tingi. Menurut Muliaman (2018), Duta Besar Indonesia untuk Swiss, Swiss memang dapat menjadi negara dengan peluang ekspor yang besar, dikarenakan penduduk Swiss memiliki pendapatan per kapita tinggi tetapi kebutuhan domestiknya masih belum terpenuhi. Sedangkan, untuk pengekspor perhiasan terbesar, terutama logam mulia, berasal dari Provinsi Jawa Timur. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur, Teguh Pramono, mengatakan bahwa perhiasan dari Jawa Timur diminati karena modelnya yang selalu baru, harga relatif murah, serta kualitas yang cukup baik.
Pada tahun 2016, sektor kuliner paling banyak diminati oleh negara China dengan minat terbesar ditaruh pada produk seperti sarang burung walet, kopi, biskuit, makanan ringan, mi instan, serta santan kelapa instan. Nilai ekspor makanan olahan Indonesia ke China pada 2016 sebesar US$1,1 miliar. Salah satu alasan mengapa perdagangan industri makanan dan minuman antara Indonesia dan China sangat kuat adalah adanya sesi one-on-one business meeting, yaitu merupakan pertemuan empat mata, antara Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, Arlinda dan pihak China sehingga pendekatan antara dua  pihak tersebut lebih optimal. Pertemuan tersebut bertujuan agar dapat membangun jejaring bisnis baru dan menyeimbangkan posisi neraca perdagangan antara China dan Indonesia.
Selanjutnya, dari aspek tenaga kerja, pengusaha ekonomi kreatif didominasi oleh perempuan, terutama di sektor kuliner dan fesyen. Salah satu faktor penyebabnya adalah stigma sebagian besar masyarakat yang masih menganggap bahwa pekerja kreatif itu bukan pekerjaan yang diperuntukkan untuk laki-laki. Pada tahun 2011-2016, jumlah tenaga kerja yang bergerak di ekonomi kreatif mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 4,69% per tahun. Pada tahun 2016, tenaga kerja ekonomi kreatif berkontribusi sebesar 14,28% terhadap total tenaga kerja nasional. Hal itu menunjukkan bahwa ekonomi kreatif mempunyai peran yang signifikan pada penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Sayangnya, kegiatan ekonomi kreatif di Indonesia masih terpusat di pulau Jawa (65,37%), terutama di Provinsi Jawa Barat. Hal ini mencerminkan bahwa persebaran kualitas sumber daya manusia yang masih tidak merata di Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2016).