Oleh: M. Nabiel Arzyan, Ilmu Ekonomi 2016, Staf Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM 2018
"It doesn't matter whether a cat is black or white, as long as it catches mice."
Kalimat tersebut dilontarkan oleh Deng Xiaoping, tokoh komunis Tiongkok, yang melakukan liberalisasi perdagangan di Tiongkok pada tahun 1978. Kalimat tersebut menyiratkan bahwa kebijakan ekonomi jangan dipandang dari perspektif ideologi, melainkan murni kebijakan. Tiongkok yang menganut sistem politik komunis harus menerapkan perdagangan bebas agar tetap mampu "menangkap tikus".Â
Beberapa dekade kemudian, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, mencoba meniru kebijakan dari Deng Xiaoping. AS yang terkenal dengan perdagangan bebas beralih menjadi proteksionis. Trump seolah ingin menerapkan "cat theory" yang sempat membawa ekonomi Tiongkok tumbuh 2 digit. Dewasa ini, Amerika Serikat melancarkan perang dagang dengan Tiongkok sebagai bukti dari kebijakan proteksionis.
Perang Dagang
Pada Maret 2018 lalu, Trump mengumumkan jika AS akan mengenakan tarif impor 25 persen pada baja dan 10 persen pada aluminum. Kebijakan tersebut diambil untuk mengurangi impor baja dan aluminum dari negara lain. Namun, baja dan aluminum dari Kanada dan Meksiko mendapatkan pengecualian. Selain itu, secara spesifik pemerintah AS juga menerapkan tarif impor terhadap 1300 produk dari Tiongkok senilai 60 milyar USD per tahunnya.Â
Tiongkok pun tidak tinggal diam. Pemerintah Tiongkok merespon dengan mengenakan tarif impor terhadap 128 produk dari AS yang setara dengan 3 milyar USD per tahunnya. Â Berbagai produk AS sendiri mendapatkan tarif yang bervariasi. Misalnya daging babi dan aluminum mendapatkan tambahan tarif 25 persen sedangkan produk anggur dan buah 15 persen. Adanya perang tarif antara 2 negara ekonomi terbesar berpotensi mengubah pola perdagangan internasional. Selain itu, negara lain juga berpotensi terseret kepada arus "neo-proteksionisme".
Bermula dari Defisit
Sejak liberalisasi perdagangan di tahun 1980an, neraca perdagangan AS justru mengalami tren defisit yang memburuk. Defisit neraca perdagangan AS pada tahun 1986 sebesar 145 milyar USD meningkat drastis menjadi 811 milyar USD pada 2017. Defisit perdagangan bisa bermanfaat bagi konsumen AS karena mampu membeli produk dengan harga yang lebih murah. Di sisi lain, defisit perdagangan juga bisa diartikan produsen AS kalah kompetitif dengan produsen luar.Â
Melihat hal tersebut, Donald Trump sangat menyoroti industri domestik yang kalah bersaing. Tiongkok sendiri merupakan negara penyumbang defisit perdagangan terbesar bagi AS. Sejak tahun 1986, AS memiliki tren defisit neraca perdagangan dengan Tiongkok yang terus memburuk. Pada 2017, AS memiliki defisit perdagangan dengan Tiongkok sebesar 375 milyar USD. Jauh lebih tinggi dibandingkan defisit Amerika Serikat dengan Jepang (69 milyar USD), Meksiko (71 milyar USD), ataupun Uni Eropa (151 milyar USD).
Dampak ke Indonesia?