Mohon tunggu...
HIMIESPA FEB UGM
HIMIESPA FEB UGM Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi (HIMIESPA) merupakan organisasi formal mahasiswa ilmu ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada DI Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Money

Apakah Kurva Phillips Sudah Mati?

12 April 2018   20:17 Diperbarui: 17 Juli 2018   07:32 11207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh: M. Nabiel Arzyan (Ilmu Ekonomi 2016), dan Ewang Khoirul Asrori (Ilmu Ekonomi 2017), Staf Departemen Kajian dan Penelitian Himiespa FEB UGM 2018

Asal Mula Kurva Phillips

Kebijakan ekonomi suatu negara umumnya ditujukan untuk mencapai stabilitas harga, tingkat pengangguran yang rendah, dan pertumbuhan perekonomian yang tinggi (Friedman, 1968). 

Tingkat pengangguran hingga kini dipercaya saling berkorelasi dengan kenaikan harga secara umum (inflasi). Kurva Phillips menjelaskan hubungan negatif antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran. Ketika tingkat inflasi tinggi, maka tingkat pengangguran akan rendah dan begitu sebaliknya. 

Kurva Phillips hingga kini masih menjadi pegangan bagi para ekonom dunia dalam menentukan kebijakan dan langkah kedepan dalam perekonomian.

Pada tahun 1926, sebelum kurva Phillips diciptakan, ekonom asal Amerika Serikat, Irving Fisher, telah mengemukakan hubungan antara pengangguran dengan tingkat harga dalam tulisanya yang berjudul "A Statistical Relation Between Unemployment and Price Changes". 

Fisher menjadikan variabel harga sebagai variabel independen, tingkat pengangguran dipengaruhi oleh tingkat harga pasar. Ketika nilai uang jatuh sehingga menyebabkan inflasi, pengusaha menemukan bahwa penerimaannya pun meningkat, secara nominal, sebagai akibat kenaikan harga secara umum. 

Kenaikan pendapatan ini mendorong pengusaha untuk menambah tenaga kerja guna semakin meningkatkan output. Asumsi inilah yang digunakan untuk mengkorelasi hubungan antara tingkat harga dan tingkat pengangguran

Gambar 1. Grafik Hubungan Tingkat Pengangguran dengan Kenaikan Upah di Amerika Serikat Tahun 1926

Sumber: Irvin Fisher,
Sumber: Irvin Fisher,
Sedangkan Phillips beranggapan lain terkait hubungan antara tingkat pengangguran dengan tingkat harga. Phillips menjadikan variabel pengangguran sebagai variabel independen, serta menggunakan sebuah asumsi sederhana terkait dengan hukum permintaan dan penawaran. 

Ketika permintaan terhadap barang komoditas dan jasa meningkat relatif lebih tinggi dari penawarannya, maka permintaan tenaga kerja pun akan meningkat seiring kebutuhan perusahaan memproduksi produknya lebih banyak. 

Upah sebagai pendapatan masyarakat secara nominal juga meningkat dan mendorong daya beli masyarakat menjadi lebih tinggi. Ketika daya beli masyarakat secara nominal meningkat, pasar akan bereaksi dengan naiknya harga komoditas dan jasa secara umum (inflasi).

Melalui studinya di Inggris pada tahun 1861-1957, Phillips menemukan korelasi negatif terkait tingkat pengangguran dengan biaya upah, yaitu ketika tingkat pengangguran tinggi maka biaya yang harus dibayarkan pengusaha rendah dan begitu sebaliknya. 

Saat jumlah pengangguran sedikit, banyak tenaga kerja yang terserap bekerja dibawah perusahaan sehingga perusahaan harus mengeluarkan biaya upah lebih tinggi. Namun dari tradeoff ini, perusahaan akan memperoleh penerimaan yang lebih tinggi. Perusahaan dan pekerja saling membutuhkan dalam perekonomian.

Perkembangan teknologi kala itu masih belum menguasai industri. Tenaga kerja merupakan pemain utama pasar faktor produksi. Industri berusaha menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya guna merangsang perekonomian nasional. 

Ketika jumlah pengangguran sedikit, perekonomian akan mengalami keadaan full employment, yaitu keadaan saat faktor produksi yang telah digunakan optimum. Hal inilah yang mendorong kelebihan (overheat) kapasitas produksi sehingga mendorong inflasi di masyarakat.

Gambar 2. Kurva Phillips: Hubungan Pengangguran dan Tingkat Biaya Upah di Inggris (1861-1913)

Sumber: A.W, Phillips,.
Sumber: A.W, Phillips,.
Pada tahun 1958, Phillips mempublikasikan tulisanya yang berjudul "The Relation between Unemployment and the Rate of Change of Money Wage Rates in the United Kingdom". Karena tulisannya, banyak ekonom mempercayai bahwa hubungan antara tingkat pengangguran dan tingkat inflasi bersifat permanen. 

Asumsi ini menjadi pegangan pemerintah dan ekonom dalam mengambil kebijakan ekonomi. Pemerintah seolah-olah dapat memilih antara tingkat inflasi yang tinggi atau tingkat pengangguran yang tinggi. Pertanyaannya adalah, apakah pemerintah memilih mentolerir tingkat inflasi yang tinggi untuk menekan jumlah pengangguran atau pemerintah memilih tingkat pengangguran yang tinggi untuk menekan laju inflasi?

Pada tahun 1960, Paul Samuelson dan Robert Solow mengoptimalkan temuan Phillips dalam tulisanya yang berjudul "Analitical Aspect of Anti Inflation". Menggunakan data indeks harga inflasi (CPI) tahun 1900-1960 di Amerika Serikat. 

Dari data tersebut, ditemukan korelasi negatif antara tingkat pengangguran dan tingkat inflasi di Amerika Serikat. Temuan inilah yang sejatinya melabeli nama kurva Phillips sebagai teori dan pegangan kebijakan dalam ekonomi makro hingga saat ini.

Gambar 3. Kurva Phillips: Tingkat Pengangguran dan Inflasi di U.S tahun 1900-1960

Sumber : Blanchard (2017)
Sumber : Blanchard (2017)
Pada tahun 1970 hubungan negatif antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran di Amerika Serikat mulai menghilang. Ketika tingkat inflasi tinggi tingkat pengangguaran juga tinggi (stagfilasi). Hal ini mulai menunjukan hubungan positif antara tingkat inflasi dan tingkat pengangguran. Kurva Phillips dibeberapa negara mulai menghilang.

Kritik terhadap Kurva Phillips

Pada tahun 1968, Milton Friedman mengkritik jika korelasi negatif antara tingkat pengangguran dan inflasi hanya dapat terjadi jika pelaku pasar tidak berekspektasi terhadap tingkat inflasi. Adapun jika hubungan tersebut benar terjadi, hal itu hanya sementara. Mekanisme pasar pada jangka panjang akan menghilangkan fenomena tersebut. Kritik lain datang dari Paul Craig Roberts yang mempertanyaan keberadaan empiris dari kurva Phillips. Roberts bahkan berargumentasi jika kurva Phillips layaknya sebuah unicorn di mana banyak orang mempercayainya, namun tidak ada yang berhasil menemukannya.

Gambar 4. Grafik Hubungan Laju Inflasi dan Tingkat Pengangguran Amerika Serikat dan Malaysia (1980-2016)

grafik-hubungan-laju-inflasi-dan-tingkat-pengangguran-amerika-serikat-dan-jpg-5acf5834bde575719e582294.jpg
grafik-hubungan-laju-inflasi-dan-tingkat-pengangguran-amerika-serikat-dan-jpg-5acf5834bde575719e582294.jpg
Sumber: IMF (2018)
Sumber: IMF (2018)
Berdasarkan data inflasi dan pengangguran di Amerikat Serikat, dapat dilihat jika tidak terdapat hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran. Hubungan antara inflasi dan pengangguran justru membentuk garis yang sedikit cembung (direpresentasikan dalam garis tren inflasi). Adapun kurva Phillips pada grafik sama sekali tidak merepresentasikan data empiris antara inflasi dan pengangguran di Amerika Serikat. Sedangkan di Malaysia, kurva Phillips masih dapat dijumpai meskipun landai.

Kegagalan kurva Phillips dikarenakan adanya asumsi yang tidak relevan. Pertama, daya tawar dari para pekerja menurun. Pada masa kurva Phillips diuji,  pengusaha belum memiliki teknologi canggih sehingga perusahaan sangat bergantung pada pekerja. 

Pada tingkat pengangguran yang rendah, para pekerja memiliki daya tawar lebih untuk meminta kenaikan upah. Kenaikan upah tersebut pada akhirnya mendorong terjadinya inflasi. Di masa ini, perusahaan sudah memiliki teknologi canggih sehingga daya tawar pekerja tidak lagi besar.  

Kedua, para pelaku pasar sekarang cenderung memiliki ekspektasi terhadap tingkat inflasi (Friedman, 1968; Blanchard, 2017). Hal ini dikarenakan pelaku pasar cenderung menyesuaikan diri terhadap target inflasi yang ditetapkan oleh bank sentral (Insukindro & Sahadewo, 2010). Adanya ekspektasi akan tingkat inflasi mendatang memang memungkinkan terjadinya kurva Phillips dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, pengusaha akan menyesuaikan upah nominal para pekerjanya sehingga menghilangkan kurva Phillips.

Meski begitu, keberadaan empiris dari kurva Phillips masih misterius. Berdasarkan pengamatan pada beberapa negara maju dan berkembang, kurva Phillips masih dapat ditemui. Keberadaan kurva Phillips, ditandai dengan koefisien korelasi negatif, masih ditemui di sejumlah negara seperti Argentina, Jerman, Jepang, Malaysia, dan Spanyol. Fenomena ini seakan menolak anggapan jika kurva Phillips sudah mati.

Tabel 1. Kurva Phillips di Beberapa Negara Maju dan Berkembang

 

Sumber: Kalkulasi penulis (2018)
Sumber: Kalkulasi penulis (2018)
Kesimpulan

Kurva Phillips memiliki peranan penting karena sering dijadikan pemerintah sebagai landasan pengambilan kebijakan. Seiring perkembangan zaman, relevansi kurva Phillips perlu dipertanyakan kembali agar pemerintah tidak mengambil kebijakan yang salah. Kegagalan kurva Phillips terjadi karena 2 asumsi yang gagal. Pertama, turunnya daya tawar pekerja dan ekspektasi inflasi oleh pelaku pasar. Amerika Serikat, Brunei Darussalam, Indonesia,  Korea Selatan dan Vietnam adalah contoh negara yang tidak ditemukan bukti adanya kurva Phillips. Kedua, para pelaku pasar saat ini cenderung memiliki ekspektasi terhadap tingkat inflasi. Meski begitu, kurva Phillips justru masih dapat ditemukan di beberapa negara. Ke depannya, diperlukan studi lebih lanjut mengenai keberadaan dari kurva Phillips. Yang jelas, kurva Phillips belum sepenuhnya mati.

Untuk kritik dan saran: himiespa.dp@gmail.com

Daftar Pustaka

Blanchard, Olivier. (2017). Macroeconomics, 7th Edition. Pearson Education

Denman, James and McDonald, Paul. (1996). Unemployment Statistic in 1881 to the Present Day. https://www.iser.essex.ac.uk/research/publications/501632

Friedman, Milton. (1968). The Role of Monetary Policy. American Economic Review. 58 (1): pp. 1-1

Fisher, I. (1973). A Statistical Relation between Unemployment and Price Changes. Journal of Political Economy, 81 (2).

Gordon, Robert J. (2011). The History of Phillips Curve: An American Perspective. Northwestern University. http://facultyweb.at.northwestern.edu/economics/gordon

Humprey, Thomas M. (1985). The Early Historiy of the Phillips Curve. Federal Reserve Bank of Richmond. Economic Review.

Insukindro, I. and Sahadewo, G.A. (2010). Inflation Dynamics in Indonesia: Equilibrium

Correction and Forward-Looking Phillips Curve Approaches. Gadjah Mada

International Journal of Business. 12 (1), pp. 117-133

Phillips, A.W. (1958). The Relation between Unemployment and the Rate of Change of Money Wage Rates in the United Kingdom. Economica, 25 (100), pp 283-299.

Roberts, Paul C. (2018). Phillips Curve R.I.P. Retrieved from:

https://www.paulcraigroberts.org/2018/01/03/phillips-curve-r-p/

Summers, Lawrence. (2017). America needs its unions more than ever. Financial Times.

https://www.ft.com/content/180127da-8e59-11e7-9580-c651950d3672

Samuelson, Robert and Solow. (1960). Analytical Aspect of Anti-Inflation. Massachusetts Institute of Technology. American Economic Review, 50, 177-194.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun